Tuhan (Tidak) Ikut Main Bola

Hanya untuk ke sekian kalinya, ketika berkali-kali mentok kalah. Kok yang disalahkan untuk ke sekian kalinya adalah pihak ketiga, dengan teori konspirasinya.

Minggu, 15 Desember 2019 | 10:10 WIB
0
922
Tuhan (Tidak) Ikut Main Bola
Emha Ainun Nadjib (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Saat final sepakbola Sea Games 2019, saya tidak menonton dan memilih nyangkul di kebun. Mumpung sehat, mumpung hujan, mumpung niat. Bukan takut melihat hasil pertandingan, lalu ikut berdebar-debar. Tidak, saya sama sekali tidak nasionalis kalau sudah menyangkut bola, apalagi melihat fakta yang ada.

Saya sendiri sudah hampir yakin: Indonesia pasti kalah. Karena apa? Saya melihat rekam jejak-nya Tim Nasional Indonesia sejak tahun 1991, yang tak pernah lagi memenangi medali emas. Era terakhir, saat sepakbola masih main bola saya pikir. Judi sudah dikenal, tapi itu di dalam negeri belum lagi lintas negara kayak saat ini.

Tapi bagian yang mungkin agak sulit diterima adalah bahwa sepakbola Indonesia di usia muda, sudah dikangkangi oleh trend yang sedang menjamur saat ini. Agama masuk dalam dunia sepakbola!

Tentu saja, kesebelasan Indonesia masih Bhinneka Tunggal Ika yang diwakili oleh pemain dari berbagai daerah yang lintas SARA. Tapi gaya para pemain-nya yang over unjuk spiritualias, banyak yang tidak melihatnya sebagai masalah. Saya sangat! Bagi saya setiap kali tiba di final, musuh kita adalah pemain yang niatnya hanya main bola. Pemain kita niatnya terlalu banyak....

Lalu apa masalahnya? Tidak ada, jika mereka akhirnya bisa memenangi sesuatu. Jika sepakbola dianggap sebagai bagian dari bekerja, usaha, atau aktivitas apapun ia bisa menggunakan saja jargon: Era et Labora, Bekerja sambil Berdoa (boleh juga dibalik).

Kemarin lalu, bahkan jargon kampanye presiden terpilih, juga begitu: Karya dan Doa. Entah ini, sungguh-sungguh atau hanya sekedar kelakar atau ejekan. Untuk menggambarkan yang satu sukanya berkarya, yang satu senengnya berdoa. Atau realitanya, memang demikian kombinasi ampuh untuk memenangkan hati rakyat pasangan nasionalis dan relijius.

Jauh waktu sebelumnya, ilmuwan terbesar di dunia sudah mengingatkan bahwa Ilmu tanpa Agama Buta, Agama Tanpa Ilmu Lumpuh. Disini sekali lagi ilmu juga bisa diganti apa saja, tapi agama-nya bernilai tetap. Pun di dunia sepakbola, pemain terbesar dan terbaik abad ini maksudnya era 2000-a: Lionel Messi juga melakukannya.

Setiap ia mencetak gol, ia seolah menunjuk langit, menggerakkan tangan ke atas seolah melakukan ruku'. Karenanya di banyak wilayah pedesaan Indonesia, Messi disalahahami sebagai seorang muslim. Padahal tubuhnya penuh tatto, ia baru resmi kawin setelah beranak tiga, dan konon sangat dekat Yahudi. Tapi tetaplah ia seorang yang tahu bersyukur, berterimakasih pada Tuhan atas berkah bakat, keberuntungan dan kehebatannya.

Tapi dalam kasus semalam, tahukah bahwa kesebelasan Indonesia sejak sebagai Tim U-19 digodog di Jogjakarta sejak beberapa tahun yang lalu ditukangi oleh pasangan sejenis itu. Pilihan Jogja sendiri, saya pikir hanya karena dua hal: ada tempat latihan yang representatif dan banyak hotel untuk menginap. Selebihnya, bagi saya Jogja itu secara aura sama sekali tidak cocok untuk olahraga bernama sepakbola.

Sepakbola Jogja itu masa lalu (Hari ini Danais, Masa Depan merdeka. hehehe). Di tim kepelatihan di bawah Indra Sjafri, di tim non-teknis ditangani oleh Cak Nun. Dalam banyak kesempatan, termasuk semalam, Cak Nun mengklaim bahwa banyak pemain Timnas adalah bagian dari Jemaah Maiyah-nya.

Ada yang salah? Sekali lagi tidak! Cak Nun juga berupaya sangat maksimal, konon ia tak kurang memerintahkan anaknya Sabrang, frontment band Letto untuk menciptakan lagu khusus untuk menyemangati setiap kali tim-nya Indra Sjafri bertanding.

Cak Nun juga rajin menyambangi bukan saja setiap kali timnya berlatih, tapi juga saat bertanding. Termasuk di final semalam, di tengah kondisi fisiknya yang belum sepenuhnya pulih. Ia dengan istrinya terbang ke Filipina untuk memberikan dukungan langsung. Sedemikian cintanya atau (sedemikian) tergantungnya, timnas asuhan Indra Sjafrri terhadap dirinya: saya tentu tidak tahu. Tapi hasilnya sudah kita ketahui bersama. Ambyar.

Sekali (lagi) menjadi spiritualis dalam sepakbola itu baik-baik saja. Konon kalau (pun) tidak menang tidak apa, yang penting kan sudah beragama dan memberi contoh. Hanya untuk ke sekian kalinya, ketika berkali-kali mentok kalah. Kok yang disalahkan untuk ke sekian kalinya adalah pihak ketiga, dengan teori konspirasinya. Typical dan stereotyping!

Hayah mosok ya nyalahin Tuhan? Kan Tuhan tidak ikut main bola....

***