Anies dan Batunya

Dalam kegaduhan demokrasi liberal ala Amerika ini, justru melahirkan pemimpin intelektual seperti Anies Baswedan, yang bakat berbicaranya melebihi Menteri Penerangan Harmoko.

Rabu, 21 Agustus 2019 | 10:55 WIB
0
982
Anies dan Batunya
Patung batu di Bunderan HI (Foto: Facebook/Anton DH Nugrahanto)

Jakarta pernah dipimpin seorang seniman besar, namanya Henk Ngantung. Tugas Gubernur Henk Ngantung saat itu adalah menjadikan Djakarta sebagai kota kebudayaan yang memiliki watak seni progresif dimana ada perpaduan antara ruang kota dengan karya seni yang ada di dalam kota.

Boulevard Thamrin dijadikan sebagai pintu masuk dari pusat kebudayaan nasional yang letaknya di Monas, dan diantara taman taman yang ada di boulevard Thamrin rencananya akan dibangun patung patung kelas internasional dari para pemahat nomor satu dunia.

Kota Djakarta di arahkan oleh Presiden Sukarno, sebagai pusat kebudayaan Asia, di mana ada perpaduan kebudayaan modern dengan kekuatan kebudayaan luhur Nusantara yang artistik dan bernilai tinggi. Maka dibangunlah sebagai langkah pertama, Hotel Indonesia yang modern dan berasitektur post modern, dibangunlah patung selamat datang yang terkenal itu, lalu ada Monas yang oleh Bung Karno dijadikan puncak dari segala puncak kebudayaan nasional.

Monas adalah museum besar yang tepat di pintu keluarnya akan terbaca tulisan "Sekarang kalian bisa meninggalkan Museum, tapi tidak dengan sejarah, karena sejarah melekat pada hidup kalian", itu keinginan Bung Karno dalam desain interior Monas. Sayang Henk Ngantung dilengserkan karena kasus Gestok 1965 yang membuat sejarah Indonesia berubah total.

Di masa Suharto yang cenderung berusaha menjadi antitesis apapun dalam soal kekuasaan dengan Bung Karno, kawasan Monas juga menjadi ajang pembangunan patung patung kebudayaan, yang terkenal tentunya patung kereta kuda Arjuna Wiwaha atau Patung Asta Brata.

Memandang ruang dalam perspektif Orde Baru, adalah ruang kecemburuan yang berlebih terhadap masa masa kekuasaan Bung Karno yang aura getarannya masih jadi idola utama rakyat di masa Orde Baru.

Tugu Monas masih disimbolkan pada figur Bung Karno, sementara Suharto ingin membuat masterpiece dalam pengisian ruang utama Ibukota. Namun ada semacam rasa takut untuk masuk ke dalam area Monas, ia tahu diri dan berdiri di pinggiran dekat dengan gedung gedung Pemerintahan dan BUMN yang mengitari Monas, di sana dibuatlah patung Arjuna naik kereta itu, seraya sebagai orang Jawa mengingat pertempuran melawan Adipati Karna adalah pertempuran dengan nilai nilai baik, dan itu dikatakan oleh Batara Kresna yang tersusun dalam puisi sarat makna "Bhagavad Gita".

Nilai nilai baik yang mengorbankan jutaan nyawa dalam padang Kurusetra mengepung Adipati Karno yang kerepotan karena keretanya terperosok dimana sais kereta Prabu Salya susah payah mengangkat roda, saat itu juga panah Pasopati diarahkan ke leher Adipati Karno, dan menebas leher putra sang matahari itu, Karna tewas seketika. Pasopati dalam bayang bayang ingatan kolektif rakyat adalah Supersemar yang menyingkirkan Bung Karno dari Istana. Entahlah, karena ketika penguasa mendirikan monumennya, maka makna dibalik peristiwa kerap jadi omongan omongan rakyat. Tapi kemudian jaman berlalu, Suharto jatuh dan masa liberal menguasai Republik.

Dalam kegaduhan demokrasi liberal ala Amerika ini, justru melahirkan pemimpin intelektual seperti Anies Baswedan, yang bakat berbicaranya melebihi Menteri Penerangan Harmoko, bila Harmoko bicara 'persetan logika' semua tiarap dan menjadi Pak Turut dengan stempel "Menurut Petunjuk Bapak Presiden", maka kekuatan bicara Harmoko menjadi mantra mantra yang melebihi tukang obat di Pasar Senen, tempat Harmoko dulu ngumpul dengan kawan kawan lamanya sesama wartawan ibukota.

Harmoko punya kemampuan bicara di balik kengerian ancaman dicabutnya SIUPP koran, demikian juga Anies dan dalam olah kemampuan jungkir balik logika tak ada yang mampu menandingi Anies. Dia bukan saja menciptakan kebingunan intelektual, tapi juga membutakan penafsiran penafsiran atas sebuah karya. Bisa dikatakan karya Anies adalah kegelapan penafsiran yang disambut oleh akal jorok rakyat seperti dalam patung bambu getah getih, dan kemudian ada tumbukan batu batu pengganti patung bambu.

Akal rakyat tak mampu menafsirkan apa makna itu, karena Anies sudah menjadi Abunawas dalam menjebak pikiran rakyat, apakah patung batu dikurung kawat adalah sindiran "singkirkan kepala batu" atau apa, bagaimana memaknai patung batu Anies, dalam patung batu itu.

Anies sepertinya sudah melampaui alam pikiran Wittgenstein bahwa "bahwa benda menciptakan tanda tanda" tapi batu itu sudah bukan tanda tanda apapun...

itulah hebatnya Anies, menjawab bully dengan karya...

Tumpukan batu di tengah ibukota.

***

Anton DH Nugrahanto