Di abad 21 ini, kita butuh manusia-manusia spiritual. Mereka harus menjadi pemimpin politik sekaligus ekonomi. Mereka harus menjadi tokoh masyarakat.
Sejak kecil, saya sudah suka pada hal-hal spiritual. Saya aktif terlibat di dalam agama yang diberikan oleh orang tua saya. Saya juga belajar ajaran berbagai agama. Namun, ketika melihat ajaran berbagai agama, dan melihat perilaku nyata orang-orang beragama, saya suka bingung. Mengapa berbeda sekali?
Ada agama yang mengajarkan damai dan kerukunan. Tapi, perilaku umatnya sangat agresif (penuh kekerasan), sombong dan menindas hak-hak asasi manusia. Ada agama yang mengajarkan kesederhanaan dan cinta. Namun, perilaku umatnya suka pamer kekayaan, dan manipulatif. Saya bingung.
Dalam perjalanan, saya menemukan. Agama ternyata berbeda dengan religiositas, dan dengan spiritualitas. Inilah akar kemunafikan yang saya temukan dalam hidup sehari-hari. Apa perbedaan antara agama, religiositas dan spiritualitas?
Agama, Religiositas dan Spiritualitas
Pertama, agama adalah organisasi. Sebagaimana semua organisasi, pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan pun terjadi. Ada uang bermain di dalamnya. Manipulasi dan intimidasi juga kerap terjadi.
Di Indonesia, kita sudah kenyang dengan pengalaman semacam ini. Agama digunakan oleh para mafia untuk menciptakan perpecahan. Agama juga dikendarai oleh partai politik busuk untuk merebut kekuasaan secara tidak jujur. Pilkada Jakarta 2017 lalu, pemenjaraan Ahok serta beberapa kasus lainnya masih menyisakan trauma tentang bagaimana agama ditunggangi para mafia.
Kedua, religiositas adalah jantung hati agama. Ini menyangkut pengetahuan dan penghayatan seseorang pada agama tertentu. Orang yang religius berarti menghayati betul ajaran agamanya, dan menerapkannya secara sungguh di dalam hidup sehari-hari. Namun, ada masalah disini.
Orang yang religius masih terbatas pada ajaran agama tertentu. Ia masih menjadi manusia partikular. Pandangannya masih sempit, karena terpukau pada ajaran agama tertentu. Ia masih sektarian.
Ketiga, bentuk berikutnya adalah spiritualitas. Ia adalah pemahaman orang akan jati dirinya sejatinya, sebelum semua identitas sosial muncul. Menjadi manusia spiritual berarti menjadi manusia universal. Ajaran berbagai agama dipelajari, namun orang tidak terjebak di dalam salah satunya.
Manusia spiritual adalah manusia semesta. Ia melihat dirinya sebagai warga semesta yang melintasi semua batas-batas buatan manusia (seperti negara, etnis, ras, dan agama). Moralitasnya bukan sekumpulan hukum yang tak lagi cocok dengan jaman, melainkan nurani. Baik dan buruk selalu menyesuaikan dengan keadaan disini dan saat ini.
Baca Juga: Kontroversi Disertasi, Negara yang Tak Lagi Mengurusi Beda Tafsir Agama
Manusia spiritual juga melihat alam sebagai bagian dari dirinya. Ia tak akan melakukan hal-hal yang merusak alam. Moralitas hijau (yang berpihak pada kelestarian biodiversitas kehidupan) selalu menjadi bagian dari nurani alamiahnya.
Identitas Seluas Semesta
Hidup seseorang amat tergantung pada cara pandangnya. Cara pandang seseorang amat tergantung pada identitasnya. Jika identitasnya sempit, maka cara pandangnya juga sempit. Hidupnya pun juga sempit.
Sebaliknya, manusia spiritual adalah manusia semesta. Identitasnya seluas semesta. Cara pandangnya seluas semesta. Hidupnya pun, dengan demikian, seluas semesta.
Kemunafikan terjadi, ketika orang hanya menjadi orang beragama. Ia tak paham dan tak menghayati ajaran agamanya. Hidupnya sempit dan korup. Ia hanya mengabdi kekuasaan buta, dan menggunakan agama untuk mencapai itu.
Di Indonesia, menjadi manusia religius sebenarnya cukup. Orang sungguh menghayati ajaran agamanya dalam hidup sehari-hari. Namun, orang semacam ini belum menyentuh dimensi terdalam kehidupan. Spiritualitas sudah mengetuk, namun pintu belum dibuka olehnya.
Di abad 21 ini, kita butuh manusia-manusia spiritual. Mereka harus menjadi pemimpin politik sekaligus ekonomi. Mereka harus menjadi tokoh masyarakat. Hanya dengan begitu, perdamaian di dunia yang semakin majemuk dan kompleks ini mungkin terwujud.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews