Setengah abad setelah polemik kebudayaan di Jepang, STA menghentak jagad pemikiran di Indonesia lewat tulisannya, "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru".
Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, tanggal 5-9 Desember, tentu tidak bisa dilupakan "Polemik Kebudayaan" tahun 1930-an, ketika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan kawan-kawannya terlibat perdebatan tentang jatidiri, kebudayaan, dan kiblat Indonesia saat itu.
Inilah salah satu debat paling akbar dalam sejarah intelektual Indonesia, yang gema dan relevansinya masih terasa hingga kini.
Berawal dari pemikiran STA bahwa Indonesia harus berorientasi ke Barat yang modern, dinamis, dan rasional berlandaskan spirit ilmu pengetahuan. Bukan Indonesia sebagai kelanjutan Majapahit atau Sriwijaya, yang bertumpu pada budaya tradisional, irasional, dan statis.
Pendirian STA langsung ditanggapi Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Soetomo dan cendekiawan lainnya, yang berpendirian sebaliknya bahwa Indonesia yang dituju seharusnya tetap berlandaskan nilai-nilai, tradisi, dan warisan budaya masyarakat Indonesia sendiri.
Polemik secara tertulis antara dua kubu itu berlangsung intens selama 4 tahun (1935-1939)!
MIN'YUSHA vs SEIKYOSHA
Setengah abad sebelumnya, polemik yang sama intens dan serupa substansinya, terjadi di Jepang, pasca negeri itu dibuka paksa Commodore Perry tahun 1835.
Takluknya samurai Jepang oleh Amerika menimbulkan krisis dahsyat dalam semua aspek kehidupan orang Jepang, meninggalkan trauma psikogis luar biasa. Konon banyak orang melakukan harakiri.
Seluruh kebanggaan jatidiri nasional Jepang seakan runtuh, samurai kalah oleh senapan, Tokugawa yang agung kalah oleh kaum "barbar" dari Barat!
Dalam krisis seperti itu, muncul kesadaran kritis pada sekelompok generasi baru Jepang bahwa untuk mengimbangi Barat, haruslah dengan berorientasi dan menyerap spirit Barat itu sendiri: modernisasi yang bertumpu pada ilmu pengetahuan !
Kelompok baru ini, MIN'YUSHA, dengan jurubicaranya, Tokutomi Soho, menyatakan satu-satunya cara agar bisa bangkit adalah dengan jalan westernisasi seluruh kehidupan masyarakat Jepang, dan meninggalkan tatanan tradisional yang lama.
Tentu, pandangan ini mendapat reaksi dari kelompok lain, SEIKYOSHA, yang ingin tetap mempertahankan warisan budaya lama. Bagi kelompok ini, Jepang tetap bisa maju sejajar Barat tanpa harus meninggalkan tradisi budayanya.
"Polemik kebudayaan" antara dua kubu generasi baru cendekiawan Jepang itu sungguh luar biasa, kalau dipahami dalam konteks transformasi fundamental Jepang pada fase transisi awal Restorasi Meiji.
Seperti dinyatakan seorang sejarawan, proses perubahan Jepang pada era Meiji (1868-1912) adalah "...transformasi paling dahsyat yang pernah dijalani suatu bangsa dalam kurun waktu yang sangat singkat.."!
Kita semua tahu hasil akhir dari proses transformasi yang dahsyat itu: suatu Jepang baru yang modern dan berjaya!Jepang baru yang mampu mengalahkan Eropa (Russia) dan menggentarkan Barat dalam Perang Dunia II; dan sesudah itu Jepang muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia yang produk industrinya merajai pasar global sejak dekade 1960-an !
Tapi paling fenomenal adalah kenyataan bahwa Jepang baru yang modern, salah satu negara industri kuat di dunia, meraih semua kejayaan itu tanpa meninggalkan basis warisan kebudayaannya!!
Samurai bangkit kembali !!
FAUST vs ARJUNA
Setengah abad setelah polemik kebudayaan di Jepang, STA menghentak jagad pemikiran di Indonesia lewat tulisannya, "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru" (Poejangga Baroe, 2 Agustus 1935).
"Semboyan yang tegas !" kata STA, ketika dia menegaskan orientasinya: kebudayaan Barat yang modern progresif, bukan kebudayaan Timur warisan nenek moyang yang pasif, statis.
Pendirian STA mendapat sangahan dari Sanusi Pane dkk, dari yang masih mengagungkan kebudayaan lama yang "adiluhung", maupun yang berpendirian Indonesia bisa maju menyerap nilai-nilai Barat tanpa meninggalkan warisan budaya lama.
Perdebatan pemikiran intelektual berbobot ini kemudian dibukukan dengan editor Achdiat K Mihardja, POLEMIK KEBUDAYAAN (BP, 1952).
Namun dlihat dari perspektif kini, sesungguhnya kedua kubu itu berada dalam paradigma yang sama, terjebak pada dikotomi Barat-Timur. Seolah-olah masyarakat dan gerak kebudayaan itu --tradisional dan modern-- , adalah sesuatu yang dikotomis, bukan continuum.
Memang sebagian di antara mereka akhirnya mulai melihat dalam paradigma yang lain: kemungkinan integrasi antara Barat (modern) dan Timur (tradisional). Seperti Sanusi Pane yang merindukan perpaduan Faust dan Arjuna.
Adalah Sutan Sjahrir yang pada 1940an keluar dari paradigma itu, ketika dia menyatakan:
"....kita tidak perlu mengambil yang satu atau yang lain, kita boleh menolak kedua-duanya, oleh sebab keduanya harus silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam......!"
Tak lama setelah pernyataan Sjahrir itu, sekelompok seniman muda memberikan pernyataan lebih tegas:
"....kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat...!" (dalam majalah SIASAT, 22 September 1950).
Generasi yang lebih muda dari generasi STA dkk itu seakan mengiyakan ucapan penulis Perancis, Rene Char: "notre heritage n'est precede d'aucun testament" ("warisan yang kita terima tanpa surat wasiat").
Mereka merasa tidak perlu terbebani dengan "warisan" masa lampau, tapi juga tidak silau terhadap Barat.
Menarik juga mengikuti pendapat Mohammad Hatta dalam pidatonya pada Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung, 7 Oktober 1951 berjudul "Ke Mana Arah Kebudayaan Kita?".
Hatta menyatakan menghadapi kebudayaan asing kita harus adapteren bukan sekedar adopteren, "tidak menelan bulat-bulat, melainkan menyesuaikan", mengambil ISI-nya bukan KULIT-nya. Lebih mengutamakan aktivitas berpikir dan berbuatnya, bukan hanya mengambil produk budayanya.
Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 yang digelar 5-9 Desember, dimaksud untuk menyusun "Strategi Kebudayaan", sesuai amanat UU 5/2017.
Mampukah KKI 2018 ini menghasilkan sesuatu yang menggetarkan, seperti halnya "Polemik Kebudayaan" tahun 1930-an ?!!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews