Kilas Balik  Min'yusha vs Seikyosha dan Faust vs Arjuna

Setengah abad setelah polemik kebudayaan di Jepang, STA menghentak jagad pemikiran di Indonesia lewat tulisannya, "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru".

Jumat, 2 Agustus 2019 | 08:10 WIB
0
388
Kilas Balik  Min'yusha vs Seikyosha dan Faust vs Arjuna
Sutan Takdir Alisjahbana (Foto: Indonesian Writers)

Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, tanggal 5-9 Desember, tentu tidak bisa dilupakan "Polemik Kebudayaan" tahun 1930-an, ketika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan kawan-kawannya terlibat perdebatan tentang jatidiri, kebudayaan, dan kiblat Indonesia saat itu.

Inilah salah satu debat paling akbar dalam sejarah intelektual Indonesia, yang gema dan relevansinya masih terasa hingga kini.

Berawal dari pemikiran STA bahwa Indonesia harus berorientasi ke Barat yang modern, dinamis, dan rasional berlandaskan spirit ilmu pengetahuan. Bukan Indonesia sebagai kelanjutan Majapahit atau Sriwijaya, yang bertumpu pada budaya tradisional, irasional, dan statis.

Pendirian STA langsung ditanggapi Sanusi Pane, Poerbatjaraka, Soetomo dan cendekiawan lainnya, yang berpendirian sebaliknya bahwa Indonesia yang dituju seharusnya tetap berlandaskan nilai-nilai, tradisi, dan warisan budaya masyarakat Indonesia sendiri.

Polemik secara tertulis antara dua kubu itu berlangsung intens selama 4 tahun (1935-1939)!

MIN'YUSHA vs SEIKYOSHA 

Setengah abad sebelumnya, polemik yang sama intens dan serupa substansinya, terjadi di Jepang, pasca negeri itu dibuka paksa Commodore Perry tahun 1835.

Takluknya samurai Jepang oleh Amerika menimbulkan krisis dahsyat dalam semua aspek kehidupan orang Jepang, meninggalkan trauma psikogis luar biasa. Konon banyak orang melakukan harakiri.

Seluruh kebanggaan jatidiri nasional Jepang seakan runtuh, samurai kalah oleh senapan, Tokugawa yang agung kalah oleh kaum "barbar" dari Barat!

Dalam krisis seperti itu, muncul kesadaran kritis pada sekelompok generasi baru Jepang bahwa untuk mengimbangi Barat, haruslah dengan berorientasi dan menyerap spirit Barat itu sendiri: modernisasi yang bertumpu pada ilmu pengetahuan !

Kelompok baru ini, MIN'YUSHA, dengan jurubicaranya, Tokutomi Soho, menyatakan satu-satunya cara agar bisa bangkit adalah dengan jalan westernisasi seluruh kehidupan masyarakat Jepang, dan meninggalkan tatanan tradisional yang lama.

Tentu, pandangan ini mendapat reaksi dari kelompok lain, SEIKYOSHA, yang ingin tetap mempertahankan warisan budaya lama. Bagi kelompok ini, Jepang tetap bisa maju sejajar Barat tanpa harus meninggalkan tradisi budayanya.

"Polemik kebudayaan" antara dua kubu generasi baru cendekiawan Jepang itu sungguh luar biasa, kalau dipahami dalam konteks transformasi fundamental Jepang pada fase transisi awal Restorasi Meiji.

Seperti dinyatakan seorang sejarawan, proses perubahan Jepang pada era Meiji (1868-1912) adalah "...transformasi paling dahsyat yang pernah dijalani suatu bangsa dalam kurun waktu yang sangat singkat.."!

Kita semua tahu hasil akhir dari proses transformasi yang dahsyat itu: suatu Jepang baru yang modern dan berjaya!

Jepang baru yang mampu mengalahkan Eropa (Russia) dan menggentarkan Barat dalam Perang Dunia II; dan sesudah itu Jepang muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia yang produk industrinya merajai pasar global sejak dekade 1960-an !

Tapi paling fenomenal adalah kenyataan bahwa Jepang baru yang modern, salah satu negara industri kuat di dunia, meraih semua kejayaan itu tanpa meninggalkan basis warisan kebudayaannya!!
Samurai bangkit kembali !!

FAUST vs ARJUNA

Setengah abad setelah polemik kebudayaan di Jepang, STA menghentak jagad pemikiran di Indonesia lewat tulisannya, "Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru" (Poejangga Baroe, 2 Agustus 1935).
"Semboyan yang tegas !" kata STA, ketika dia menegaskan orientasinya: kebudayaan Barat yang modern progresif, bukan kebudayaan Timur warisan nenek moyang yang pasif, statis.

Pendirian STA mendapat sangahan dari Sanusi Pane dkk, dari yang masih mengagungkan kebudayaan lama yang "adiluhung", maupun yang berpendirian Indonesia bisa maju menyerap nilai-nilai Barat tanpa meninggalkan warisan budaya lama. 

Perdebatan pemikiran intelektual berbobot ini kemudian dibukukan dengan editor Achdiat K Mihardja, POLEMIK KEBUDAYAAN (BP, 1952).

Namun dlihat dari perspektif kini, sesungguhnya kedua kubu itu berada dalam paradigma yang sama, terjebak pada dikotomi Barat-Timur. Seolah-olah masyarakat dan gerak kebudayaan itu --tradisional dan modern-- , adalah sesuatu yang dikotomis, bukan continuum.

Memang sebagian di antara mereka akhirnya mulai melihat dalam paradigma yang lain: kemungkinan integrasi antara Barat (modern) dan Timur (tradisional). Seperti Sanusi Pane yang merindukan perpaduan Faust dan Arjuna.

Adalah Sutan Sjahrir yang pada 1940an keluar dari paradigma itu, ketika dia menyatakan:

"....kita tidak perlu mengambil yang satu atau yang lain, kita boleh menolak kedua-duanya, oleh sebab keduanya harus silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam......!"

Tak lama setelah pernyataan Sjahrir itu, sekelompok seniman muda memberikan pernyataan lebih tegas:

"....kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat...!" (dalam majalah SIASAT, 22 September 1950).

Generasi yang lebih muda dari generasi STA dkk itu seakan mengiyakan ucapan penulis Perancis, Rene Char: "notre heritage n'est precede d'aucun testament" ("warisan yang kita terima tanpa surat wasiat"). 
Mereka merasa tidak perlu terbebani dengan "warisan" masa lampau, tapi juga tidak silau terhadap Barat.

Menarik juga mengikuti pendapat Mohammad Hatta dalam pidatonya pada Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung, 7 Oktober 1951 berjudul "Ke Mana Arah Kebudayaan Kita?".

Hatta menyatakan menghadapi kebudayaan asing kita harus adapteren bukan sekedar adopteren, "tidak menelan bulat-bulat, melainkan menyesuaikan", mengambil ISI-nya bukan KULIT-nya. Lebih mengutamakan aktivitas berpikir dan berbuatnya, bukan hanya mengambil produk budayanya.

Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 yang digelar 5-9 Desember, dimaksud untuk menyusun "Strategi Kebudayaan", sesuai amanat UU 5/2017.

Mampukah KKI 2018 ini menghasilkan sesuatu yang menggetarkan, seperti halnya "Polemik Kebudayaan" tahun 1930-an ?!!

***