Mereka Bicara "Sodomi" Akal Sehat ala Rocky Gerung

Sabtu, 2 Maret 2019 | 20:50 WIB
1
1148
Mereka Bicara "Sodomi" Akal Sehat ala Rocky Gerung
Pembicara di acara diskusi Membongkar Sodomi Akal Sehat Rocky Gerung: Wisnu Nugroho, Reza Wattimena, dan Faizal Assegaf. Pepih Nugraha didapuk sebagai moderator. - (Foto: Zulfikar Akbar)

 

Mendapatkan kesempatan mencari ilmu-ilmu baru itu adalah kesempatan menemukan permata-permata baru. Bukan untuk menghiasi apa-apa, tetapi untuk membuat pikiran lebih berharga daripada sekadar perhiasan.

Kira-kira itulah alasan saat saya kontak Kang Pepih (Pepih Nugraha), saat mendapatkan kabar akan ada acara diskusi di Kafe D'Consulate di Jalan Wahid Hasyim, persis di belakang Sarinah, Jakarta. Untuk memberikan konfirmasi, bahwa saya pun ingin juga bisa menghadiri acara diskusi ini.

Bagaimana tidak, diskusi tersebut, dari temanya memang terasa sangat provokatif. "Membongkar 'Sodomi' Akal Sehat Rocky Gerung" menjadi tajuk diskusi ini, yang menghadirkan Wisnu Nugroho, Reza A.A Wattimena, dan Faizal Assegaf sebagai trio pembicara. Kang Pepih sendiri menjadi moderator.

Mungkin saja, jika sekadar melihat judul acara, terlebih jika dilihat dari kacamata sentimen saja akan terasa kasar dan beraroma penghakiman. Namun jika mengulik lebih dalam, justru diskusi ini mengajak untuk mengembalikan akal sehat kepada tempatnya.

Jika Anda mengira acara ini dilakukan untuk menghakimi Rocky Gerung (RG), sama sekali tidak benar. Dapat dikatakan, hampir tidak ada satupun dari para pembicara tersebut yang menghakimi seleb yang belakangan tenar berkat acara Indonesia Lawyers Club di TVOne. 

Faizal Assegaf saja yang selama ini terkenal sebagai figur yang berapi-api dan vokal, pun terbilang tak terlalu mengulik seputar RG. Sebab baginya, terpenting dari diskusi bukan siapa RG, sebab dia memang seorang seleb yang kebetulan punya hobi dengan pergulatan filsafat. Melainkan, kenapa figur tersebut dimunculkan dan apa saja akibat bagi Indonesia.

Menurut Faizal, tidak ada perlunya melawan seorang Rocky, sebab yang menjadi masalah adalah siapa yang menjadi majikannya dan apa yang diinginkan sang majikan. Keinginan majikan itu hanya menyelamatkan kepentingan, tidak peduli apakah kepentingan itu akan membuat Indonesia pun selamat atau tidak.

Aktivis 98 ini juga menggarisbawahi, alasan kenapa ia akhirnya memilih berada di barisan pendukung Joko Widodo pun meskipun di masa lalu terkenal sebagai bagian oposan, justru karena alasan itu. Bahwa di sinilah ia merasa yakin bahwa semangat reformasi yang menginginkan persatuan, hingga terbukanya kesempatan baik untuk semua anak bangsa tanpa tersekat agama atau suku dan berbagai latar belakang.

"Alasan saya cuma supaya cita-cita yang muncul dari gerakan yang melahirkan reformasi tadi tetap berjalan. Jangan sampai setelah susah payah reformasi diperjuangkan, justru negeri ini jatuh lagi ke tangan orang-orang yang dulu dilawan oleh pejuang reformasi," Faizal menegaskan sikapnya.

Begitu juga dengan Reza Wattimena yang merupakan Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman, punya harapan yang sama.

"Jangan sampai orang-orang di negeri ini akhirnya terbius dengan orang yang sekadar lihai membingkai kata-kata rumit, tetapi justru membuat nasib negeri ini justru semakin rumit." Kira-kira begitulah pesan Reza, seorang filsuf yang memang menekuni dunia filsafat dari ujung ke ujung.

Menurut Reza, ranah filsafat--yang belakangan ini diidentikkan dengan RG di Indonesia--bukanlah ranah yang memamerkan kerumitan pikiran dengan bahasa rumit. Ilmu itu justru ada untuk menyampaikan banyak hal baik dengan bahasa yang gampang dicerna, sederhana, tetapi dapat melahirkan hasil baik yang tidak sederhana.

Bagi Reza, apa yang penting dari filsafat bukanlah untuk membuat mereka yang menekuninya terlihat hebat atau terkenal, tetapi supaya bisa memperkenalkan kebaikan untuk menciptakan banyak hal lebih baik. Kebaikan itu, entah datang dari mana dan dari siapa saja, tetap berharga. Entah kebaikan itu disampaikan orang dari agama apa saja, ia tetaplah kebaikan, yang dilihat lagi dari seberapa baik akhirnya kondisi dan realitas di mana kebaikan itu ditebarkan lewat pikiran-pikiran baik.

Begitu juga Wisnu Nugroho, yang merupakan Pemimpin Redaksi Kompas.com, selain juga punya rekam jejak mencicipi pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, punya pesan tersendiri terkait tren "mabuk filsafat" yang selama ini memenuhi media sosial. 

Menurut Wisnu, ada kecenderungan di media sosial, apa saja yang menarik perhatian disebarkan begitu saja. Termasuk narasi-narasi yang sekilas terlihat "wah", hebat, mengalir deras hingga memviral di media sosial, hampir tidak ada penyaringan yang tepat. 

Ia mengajak melihat dari perjalanannya sebagai jurnalis. Sebab, menurut dia, dirinya memang menghabiskan waktu jauh lebih lama di ranah jurnalisme ketimbang berkutat di dunia filsafat. Selain, karena memang dunia jurnalisme dijalaninya, berangkat juga dari pemahamannya dalam filsafat.

Selayaknya para filsuf, kata dia, seorang jurnalis memang terlatih untuk memastikan sesuatu, menguji sesuatu, apakah benar atau tidak. Media tempatnya bekerja pun, menurutnya, menganut paham ini. 

Secara tersirat, ia mengajak publik pun supaya dapat menjadikan kebiasaan menguji sesuatu secara akurat sebelum melemparkannya ke banyak orang. 

"Sekali waktu, saya penasaran dengan tas digunakan salah satu wanita petinggi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ia membuka cerita. "Sebab Presiden SBY waktu itu baru saja mencanangkan rencana untuk menerapkan program cintai produk-produk tanah air, untuk menjawab masalah ancaman krisis saat itu. Saya lihat tas pejabat itu, hingga saya telusuri, tidak cuma dari Google tetapi juga saya datangi hingga ke toko tas tersebut."

Ya, tas yang mengundang penasaran Wisnu tersebut adalah tas bermerek Louis Vuitton (LV). Saat itu, gerai tas asal Prancis tersebut baru dibuka di salah satu mal tidak jauh dari Bundaran Hotel Indonesia. Tidak puas dengan hasil browsing-nya di Google, ia pun melangkah ke gerai itu.

"Ya, itu saya lakukan untuk memastikan berapa sih harga tas LV ini? Sebab saat mencari-cari di Google, harga yang muncul hanya kisaran 300-an ribu. Masak iya? Makanya saya buru langsung ke tempatnya."

Alhasil, ia ke gerai tersebut dan bisa menemukan harga sebenarnya dari tas yang tadi ia lihat dikenakan salah satu pejabat negara. Sempat tercekat karena akhirnya mengetahui, bahwa tas ini memiliki harga puluhan juta rupiah! "Bahkan untuk keluar dari tokonya saja, saya harus putar akal--karena tidak membelinya," cerita dia.

Cerita itu diangkat Wisnu tampaknya memang ditujukan supaya di tengah arus deras informasi, jangan gampang terpesona dengan sesuatu, namun mau menyelidiki sesuatu sejelas-jelasnya. 

"Bagi kami di dunia jurnalis, terutama saya sendiri nih, berusaha membiasakan diri untuk skeptis ketika mendengar atau menghadapi sesuatu," kata Wisnu. Menurutnya, dengan kebiasaan skeptis inilah maka siapa saja, tidak cuma jurnalis, akan terlatih untuk mampu keluar dari perasaan terpesona sampai terjebak oleh sebuah kekaguman.

Sebab, bukan rahasia, terutama di akhir-akhir ini, publik terlalu gampang terpesona dengan sesuatu yang ramai di media sosial, atau seseorang  yang sering ditampilkan televisi. Kebiasaan gampang terpesona ini yang bikin banyak orang terkecoh dan akhirnya cuma melahirkan keriuhan tidak penting. 

Sikap yang disampaikan Wisnu tersebut memang tidak lepas dari ranah filsafat, sebagai bidang yang juga sempat digelutinya di bangku pendidikan.

Pasalnya skeptisisme sendiri merupakan bagian filsafat pengetahuan (epistemologi), yang cenderung menolak untuk percaya begitu saja atas apa saja disodorkan di depan mereka. Rene Descartes terkenal sebagai "otak" di balik lahirnya pendirian filsafat skeptik modern, walaupun sejak Yunani kuno pun gagasan ini sudah muncul.

Ringkasnya, terlepas tema diskusi ini sekilas berbau provokatif, terlebih karena ada kata "sodomi" sebagai bagian tema, namun sepanjang acara bergulir, ajakan utamanya adalah mengembalikan akal sehat tetap berada di tempat.

Sebab, sodomi itu sendiri adalah simbol dari kegandrungan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, hingga ajakan mengembalikan akal sehat tetap di tempat memang bisa disebut sebagai ajakan tepat!

Apakah kata "sodomi" itu berisikan tudingan terhadap orientasi seks seorang Rocky Gerung? Bisa jadi Anda menduga begitu, namun daripada menduga-duga, lebih baik Anda tanyakan langsung kepada Rocky. Sebab mereka di acara diskusi ini tidak berbicara untuk menghakimi seorang Rocky.

Seperti kata Wisnu, berusahalah skeptis, supaya tidak larut dalam kebiasaan menduga-duga yang tidak membawa manfaat apa-apa.

***