Harusnya Begini Publik Luas Membaca Jogja

Sebesar apa pun Jogja, ia tetaplah kultur dasarnya adalah kampung. Ngrasani, ngenyek, dan misuh adalah katarsis agar denyut kebaikan kota ini tetap terjaga.

Rabu, 27 April 2022 | 05:38 WIB
0
321
Harusnya Begini Publik Luas Membaca Jogja
DPMB (Foto: Youtube.com)

Sudah lama, saya dipaksa teman-teman menuliskan bagaimana cara terbaik membaca Jogjakarta di hari ini? Jogja yang tampak buruk sekali, terlalu banyak kasus yang bertubi-tubi datang silih berganti. Mulai dari perkara intoleransi beragama, perkara klithih yang (bodohnya) dijadikan parameter sisi keamanan kota, harga kuliner, jasa, atau parkir yang tak masuk akal. Dan mungkin yang terakhir ini yang menyeret-nyeret nama Jogja adalah kasus dua penyanyi epigon yang mendadak over-exposed dan over-price, dan ujung-ujungnya over-acting yang sungguh saya pun ikut mengutukinya.

Sebenarnya apa yang terjadi di kota ini? Cukup fair-kah, kita melihat Jogja dari cara "orang luar" memberitakannya, dan sebaliknya orang yang sekedar "ngaku Jogja" memahami dirinya sendiri? Tanpa pernah mau memahami kondisi psiko-sosial yang terjadi di kota ini. Tanpa mau melihat banyak sisi under-ground bagaimana "masyarakat asli" bereaksi dan sebaliknya mentertawai mereka....

Baiklah, kita kupas satu-satu berdasar isu yang ada. Namun perbolehkanlah, saya juga sedikit membuat pembelaan awal bahwa harusnya, ya harusnya Jogja juga tidak melulu sebagai "sesuatu yang satu". 

Ia juga terdiri banyak lapis, dimana lapis terdalamnya adalah mereka yang seumur hidup, sejak lahir, secara garis keturunan mereka adalah yang mencecap jejak zaman dari masa awal kota ini bergabung sebagai bagian NKRI. Mereka yang pada umumnya disebut sebagai "wong kampung", yang memperanakan "cah kampung". Sayangnya konteks kampung yang dulu secara administratif diwadahi dalam format Rukun Kampung (RK), dihilangkan dan dipecah jadi sekedar Rukun Warga (RW). 

Pada kelompok ini, umumnya justru paling gampang menciptakan sub-kultur baru dalam bidang apa pun. Mereka paling santai memahami dirinya, tetap kuat berpijak tapi sangat toleran terhadap perubahan. Terbukti misalnya, dalam seni musik: genre apa yang tidak ada di Jogja mulai dari tradisisi, pop, rock, hingga klasik. Teater modern bahkan justru punya roh baru dalam kultur sampakan yang tradisonal. Bahwa resikonya mereka makin terpinggirkan, dikalahkan, mereka bersikap santai saja. Hal-hal ironis dan tragis seperti ini sangat mudah ditemui nyaris di setiap sudut kota. 

Pada lapis kedua, adalah mereka yang sudah ber-KTP lama, hidup matinya sudah larut dalam kultur Jogja. Mereka adalah warna pelangi yang mebuat Jogja riuh, tapi tetap rendah. Mereka inilah yang umumnya ada di berbagai sektor kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang membuat Jogja terintegrasi sebagai bagian dari kemajuan. Tanpa mereka, Jogja adalah kasur lapuk. Sebetapapun lamanya mereka ada di kota ini mereka tetap dianggap "wong manca".  

Salah satu ciri menarik mereka, adalah sisi sensitif mereka yang militan. Walau bukan asli tapi terkadang kebanggaan mereka terhadap kota ini melebihi mereka yang asli. Mereka adalah garda terdepan, justru ketika ada orang luar yang mendeskreditkan Jogja. Mereka-mereka ini terkadang bahkan menyebar luas ketika mereka sekedar "baru" merantau keluar Jogja. Tapi dengan mimpi di hari tua, akan kembali. Jumlah mereka justru sangat mayoritas. Sisi negatif, mereka ini pula yang suka merusaka sisi-sisi harga berbagai hal yang sebelumnya sanagat terjangkau. 

Marai sarwa larang, dumeh akeh duite. Ya wis piye meneh... 

Dan pada lapis terakhir, adalah mereka yang sekedar nunut, sekedar mampir. Tapi justru mereka lah lapis terbesar, baik dalam jumlah maupun pengaruh buruk bagi kota ini. Sialnya, mereka-mereka ini juga sudah masuk infiltratif dalam segala sektor kehidupan. Mereka yang tidak malu membahasakan dirinya sebagai "aku", kepada orang tua, pada guru, pada siapa pun yang semestinya ia hadapi dengan membahasakan dirinya sebagai saya. 

Jangan berharap dari kelompok ini bisa membedakan makna kata kata "maringi dan nyaosi" atau dahar lan neda". Dari mereka kita tak mungkin berharap muncul kalimat-kalimat yang diawali dengan "nuwun sewu, nderek langkung, nyuwun pangapunten". Jangan berharap mereka bisa berkata "nyadong duka atau matur dawuh". Kayaknya ngerti artinya saja tidak! 

Pada lapis ketiga ini, kami orang Jogja menyebutnya sebagai "wong anyaran". Atau yang paling ngenyek "mung wong ampiran". Pendatang yang selamanya pendatang, yang walau pun sudah ber-KTP dan beranak pinak, mereka tetaplah pendatang.

Pada bagian ini, salah satu ciri umumnya adalah memaksakan nilai-nilai baru yang sering mereka pahami sebagai dungu sebagai "modernitas". Yang sialnya sama sekali tidak cocok bagi kultur asli Jogja. Merekalah yang selalu mencaci maki Jogja, ketika dirundung masalah. Alih-alih mencoba memahami, memberi penalaran kenapa itu terjadi ...

Untuk itu baiklah, kita pahamkan satu persatu case by case

Pertama, bagian paling gampang ditiru dari orang Jogja adalah "tradisi ngenyek"-nya. Saling mengolok-olok-olok, mengejek, atau mencaci maki adalah biasa. Sangat biasa, apabila hal tersebut dilakukan dalam lingkup terbatas. Mengejek di lingkaran dalam adalah suatu bentuk keakraban yang pada akhirnya justru memunculkan solidaritas dalam kultur srawung. Yang pada gilirannya akan memuncul rasa guyub dan paseduluran. 

Coba saja, lihat bagaimana di Jogja seorang seniman besar dan populer saling mencaci maki di media sosial dengan seniman muda. Tampak tidak masuk akal, sebagian menganggapnya kebablasan dan kewanen. Saling memaki dengan kata-kata seperti "kowasu" yang dijawab "kowanjeng". Yang maksudnya kaya asu dan kaya anjing. Meluncur ringan, padahal itu menyangkut lintas generasi. Tapi nyatanya terjadi dan di balik itu juga mereka sebenarnya sangat akrab, saling mendukung, dan mengasihi.Tapi sekali lagi, ini dilakukan dalam lingkungap terbatas. 

Dalam konteks inilah, harusnya kita bisa paham terjadinya kebodohan dua orang penyanyi epigon itu. Mereka hanya mencontoh cara-cara senior mereka membangun keakraban yang mereka anggap sebagai parodi dan kelucuan. Masalahnya mereka lupa, itu dilakukannya pada orang yang di luar lingkup kultur Jogja. Kedua orang ini, saya tidak peduli namanya. Orang yang kalau istilah lokal disebut "lagi peye", lagi laku, lagi banyak job. Mereka lupa, mereka tetaplah yunior, apalagi karyanya sekedar epigon dan meng-cover lagu. Cilakanya, mereka sudah menuntut bayaran dan fasilitas yang ini itu sedemikian gila. 

Mungkin mereka merasa tidak ada salahnya, mengejek Andika Kangen Band. Yang "nuwun sewu" dari perangai, perwajahannya, dan pilihan gaya bermusiknya sangat buruk. Seolah yang mereka lakukan cukup pantas. Mereka lupa, bahwa watak dasar netijen negeri +62 adalah kegilaannya dalam balas merajam. Sebenarnya, tentang Andika dan Kangen, bahkan para musisi senior Indonesia juga sudah lama risi dan malu. Tak kurang dari Yovie Widianto "merlokne" membuat satu lagu khusus sekedar mengecam gaya bermusik mereka. Wong ana sing apik kok milih sing elek, kira-kira begitu pesannya. 

Tapi sekali lagi, inilah Indonesia. Negeri gila kasus. Apa saja dibikin rame. Dan sialnya lagi-lagi itu menyangkut Jogja. Lagi lagi Jogja. Belum selesai kasus ngaji di trotoar yang memalukan itu. Tampaknya dikecam, lalu kemudian justru ditiru di banyak tempat. Jogja itu adalah sebuah pelajaran, mungkin ia sudah berubah menjadi buku ajar yang punya segmen pasar. Apa yang dianggap buruk di satu sisi, justru baik di si lainnya. Ia selalu ditiru, walau sesungguhnya sangat saru...

Satu hal di kota ini, yang tak banyak orang paham. Bau busuk, perilaku munyuk, dan kelakuan buruk cepat sekali bergema. Banyak hal yang salah cepat sekali terkoreksi. Bahwa terulang lagi, bukankah demikian lah watak buruk sebuah kota? 

Tanya kenapa? 

Sebesar apa pun Jogja, ia tetaplah kultur dasarnya adalah kampung. Ngrasani, ngenyek, dan misuh adalah katarsis agar denyut kebaikan kota ini tetap terjaga. 

Sampai kapan pun....

(BERSAMBUNG)

NB: Mungkin orang mengenal Jogja dari lagu Yogyakarta-nya Kla Project yang melodius dan romantis itu. Atau bila hari-hari ini, menyusur sepanjang Malioboro yang tiba-tiba terasa gersang dan mati rasa itu, akan dininabobokan gending-gending uyon-uyon dari Nyi Tjondrolukito. Tapi mungkin orang tidak pernah tahu, di balik itu. Di pinggir Kali Code, muncul sub-kultur asli Jogja yang merupakan hybrid yang lebih jujur menandai jamannya.

Bila publik, hanya mengenal Jogja Hip-Hop Foundation, yang terlalu kenes dan politis, walau ngakunya hip-hop. Cobalah sesekali, menikmati Jogja dari sisi duo hard-core hip-hop yang lebih original. Mereka duo yang menamakan dirinya D.P.M.B. akronim yang sangar dari Dua Petaka Membawa Bencana. Kedua anak ini, satu orang Jogja asli, satu lainnya seorang keturunan Batak. Bisa sedemikian padu dan menyatu menyuarakan semangat zamannya. 

Merekalah justru adalah wajah Jogja hari ini, yang gelisah tapi tetap bergairah dengan segala keterbatasannya. Yang lebih cocok memuntahkan rasa frustasi anak-anak kampung, menyuarakan kegelisahan betapa kabar bohong telah merusak kota ini sedemikian rupa sejak lama. Mereka tak segan memaki dan menghardik, betapa di luar sana banyak yang telah menciptakan aib yang sudah direkayasa.

Lalu mereka berteriak: Ndasmu!

***