Lha kok silver-man di prapatan jalan tidak viral? Karena cara nyari duitnya sangat lugu. Diam mematung, terus ketika lampu bangjo selak-ijo selak-ijo, buru-buru mereka mengatungkan kotak amal kemiskinan.
Setiap membacai soal Citayam yang konon fashion week itu, dengan segala pernak-perniknya, saya kok jadi ingat sajak Chairil Anwar yang berjudul ‘Hampa’.
Sajak Chairil Anwar yang herannya paling saya hapal dalam kepala. Karena nggak kebayang jikalau hapal luar kepala. Gimana cara? Karena hippocampus, bagian kecil di otak saya, ada dalam tempurung kepala. Betapa tidak mengenakkannya proses transformasi itu, jika semua terjadi karena faktor eksternal, bukan faktor internal. Terutama dalam ngadepin jaman milenial dengan gadet dan revolusi teknologi dan informasi ini.
Jaman dulu kala, sebelum kakek-nenek kita lahir, terjadi dialog kebudayaan yang disebut inkulturasi dan akulturasi. Semua berjalan biasa saja. Smooth. Landai. Barangkali karena jagoannya para komunikator ulung, sehingga perubahan pun terjadi tanpa gejolak.
Konflik sosial ataupun konflik budaya, lebih ketika peran relasi kuasa lebih dominan. Lebih diwarnai unsur politik kepentingan individu atau kelompok dominan. Di kalangan bawah, rakyat jelantah sangat tergantung, pada centhelan. Yakni centhelan elitenya yang selalu digambarkan bercitra-budi-tuhan.
Sampai pada jaman kiwari, seni jathilan pakai kacamata item, pakaian berumbai-rumbai percampuran India dan China, tak ada masalah. Sampai pun pakaian para ningrat kraton, yang dipundi-pundi sebagai warisan leluhur, padal diadopsi dari kultur Belanda, Portugis, China, Arab, India, Turki.
Maka jadi lucu kalau etnis Betawi jaman gabener membenci China, dan lebih mengunggulkan Arab. Padal etnis itu bukan barang lama, melainkan produk asimilasi kolonial yang berasal dari Sunda, Aceh, Bali, Jawa, Arab, Portugis, Makassar, China. Bahkan seni-budaya, fashion, kuliner, kayaknya lebih banyak diserap dari China.
Inilah bangsa yang tidak belajar dari sejarah. Muncul orang macam Riziek dan Bahar yang anaknya Smith cum-suis. Dengan agamanya memaksa-maksa orang lain. Seolah mereka tak bisa berkomunikasi dengan baik, padal memang iya. Mengkafirkan liyan, menghalalkan darah manusia, mengharamkan darah babi.
Dan ketika muncul sosmed atau medsos, dengan karakter dan filsafat bawaannya, semua tidak siap, karena memang tidak pernah dipersiapkan, terutama dari dunia pendidikan termasuk pendidikan agama. Entah itu oleh guru, mantri, dosen, profesor, da’i, ustadz, ulama, pendeta, pastor, diakon, kyai, bedande, suhu, budayawan, akademisi, peneliti, fesbuker, kepala studi, ketua prodi, dekan, rektor, ketum partai, buzzer, sjw (tetap: social joker warrior), pemimpin redaksi, jurnalis rasa wartawan, guru sastra, guru tari, penyelenggara kursus nulis online, pernerbit buku, pelukis yang lebih suka disebut perupa, dan seterusnya dan sebagainya.
Fenomena Citayam tidak akan pernah terjadi jika (1) Pemerintah (mau pusat mau daerah, seterah) memahami dan mampu memfasilitasi raung dan ruang publik. (2) Tidak ada gadget dan medsos.
Jika pun ada unsur gadget dan medsos, jika syarat pertama dipenuhi, mungkin kekacauan tetap ada tetapi lebih tereduksi. Karena ini bangsa zigzag, tumbuh secara pragmatis dari disain kekuasaan Orde Bau Soeharto. Bukan sebagaimana gelombang-gelombang perubahan seperti dituliskan Alvin Toffler.
CFW ada karena pola-hidup medsos. Jauh-jauh hari sebelumnya di Melawai ada JJS, di Malioboro, di Jember, Bandung. Waktu itu disebut fenomenal, tetapi tidak viral. Yang sekarang ini viral, tetapi sesungguhnya tidak fenomenal. Biasanya saja. Tapi algoritma medsos, bisa menjadikan seolah fenomenal.
Lha kok silver-man di prapatan jalan tidak viral? Karena cara nyari duitnya sangat lugu. Diam mematung, terus ketika lampu bangjo selak-ijo selak-ijo, buru-buru mereka mengatungkan kotak amal kemiskinan.
Coba pakai cara model Yusuf Mansyur atau model ACT!
Sunardian Wirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews