Pemecatan dr. Terawan dalam Perspektif Teori "Paradigma"

IDI seharusnya bisa menyediakan sebuah forum ilmiah terbuka dan independen bagi Terawan untuk menguji bagaimana status dari teori dan praktik kedokterannya, baik dari sisi kedokteran, maupun yang lain

Kamis, 31 Maret 2022 | 13:32 WIB
0
235
Pemecatan dr. Terawan dalam Perspektif Teori "Paradigma"
Terawan (Foto: voi.id)

"Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode itu, jangan-jangan Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya. Anggap saja Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya, gorong-gorong itu letaknya tidak di Bundaran HI." (Dahlan Iskan, 4 April 2018).

---------------------

Komunitas profesi dokter dan publik tanah air dibuat heboh dengan fenomena pemecatan permanen dr. Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebuah organisasi profesi yang menghimpun para dokter seluruh Indonesia. Dia dipecat berdasarkan rekomendasi Majelis Kode Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) (08/02/22). Keputusan ini kemudian disampaikan dan “disepakati” dalam forum dalam Muktamar Ke-31 IDI yang digelar di Aceh (25/03/22).

Merujuk pada rekomendasi MKEK ID, ada lima alasan mengapa Terawan dinyatakan “terbukti” melakukan pelanggaran berat etika kedokteran (serious ethical misconduct) serta tidak melakukan etikat baik sepanjang 2018—2022. Pertama, sampai saat ini Terawan belum menyerahkan bukti telah menjalankan sanksi sesuai SK MKEK No. 009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018 tertanggal 12 Februari 2018. Kedua, melakukan promosi Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai. Ketiga, bertindak sebagai Ketua dari Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) yang mana badan tersebut dibentuk tanpa melalui prosedur sesuai dengan Tatalaksana dan Organisasi (ORTALA) IDI dan proses pengesahan di Muktamar IDI. Keempat, menerbitkan Surat Edaran (SE) yang memuat instruksi kepada seluruh ketua cabang dan anggota PDSKRI di seluruh Indonesia agar tidak merespon ataupun menghadiri acara PB IDI. Kelima, belum menjalani sanksi organisasi dan/atau sanksi IDI berupa pemecatan sementara pada tahun 2018 (suara.com, 27/03/2022).

Keputusan ini pun mengundang reaksi banyak pihak yang mendukung Terawan. Bahkan, Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan, ramai-ramai membela Terawan. Anggota dewan pun mengusulkan agar IDI dipanggil ke Senayan.

Paradigma sebagai Komitmen Bersama

Terlepas dari pro-kontra atas pemecatan tersebut, fenomena ini menarik jika ditelisik dari Teori Paradigma yang dikemukakan Thomas S. Kuhn (1970) 50 tahun lalu. Khususnya terkait dengan teori dan praktik kedokteran (terapi cuci otak dan vaksin virus covid-19) yang dilakukan dan dikembangkan Terawan. Menurut Kuhn, paradigma (paradigm) adalah “scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”. Paradigma ini merupakan komitmen dan rujukan bersama yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap anggota komunitas ilmuwan dan profesi di dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar keilmuan.

Konsekuensinya, ketika sebuah paradigma sains sudah ditemukan dan disepakati bersama, maka tidak ada yang namanya praktik atau ikhtiar keilmuan yang dilakukan di luar paradigma yang ada. Episode paradigma ini oleh Kuhn hanya terjadi dan berkaitan erat dengan “sains normal” (normal science), dimana segala jenis dan bentuk kegiatan sains didasarkan dan menggunakan model-model ilmiah (hukum, teori, aplikasi, instrumentasi) sebagai rujukan dan parameternya. Kegiatan sains apapun yang tidak menggunakan model yang ada, ditolak, tidak diakui sebagai kagiatan dan produk ilmiah.

Inilah yang saat ini menimpa pada dr. Terawan, ketika praktik dan produk keilmuannya terkait dengan “terapi cuci otak” dan “vaksin nusantara” dinyatakan “melanggar kode etik kedokteran”. Apa yang dipraktikkan dan dihasilkan oleh dr. Terawan dianggap oleh komunitas dan organisasi dokter telah melakukan sebuah “anomali” yang tidak terjelaskan dan tersedia model saintifiknya (hukum, teori, aplikasi, instrumentasi) dalam paradigma yang ada. Temuan Terawan belum bisa dianggap sebagai “scientific achievement” yang menyediakan model masalah dan solusinya bagi komunitas dokter dalam kasus cuci otak dan vaksin untuk covid-19.

Dalam sejarah keilmuan, fenomena Terawan ini bukan yang pertama. Hal ini juga pernah dialami oleh Nicholas Copernicus, pencetus teori heliosentris, yang bertentangan dengan keyakinan gereja Katolik. Akibatnya, ia dimusuhi oleh gereja yang masih menganut teori geosentris peninggalan Ptolomeus. Kasus yang sama juga menimpa penerusnya, yaitu Giordano Bruno, dan Galileo Galilei. Giordano dipenjara oleh Inkuisisi Roma selama enam tahun tanpa proses peradilan, kemudian dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup (tahun 1600). Sedangkan Galileo dihukum penjara seumur hidup (tahun 1633).

Dilema dalam Paradigma

Diktum terkenal dalam teori Kuhn tentang paradigma (single paradigm) adalah “sebelum ada paradigma pengganti/tandingan yang menjadi komitmen bersama, maka selama itu pula tak ada yang namanya ikhtiar dan fakta keilmuan yang sah, diakui dan diyakini kebenarannya”. Berdasarkan diktum tersebut, apa yang dilakukan dan dihasilkan Terawan masih merupakan “a new candidate for paradigm,” bukan “a successor paradigm”. Ia masih memerlukan proses yang panjang dan berliku untuk menjadi “paradigma tandingan dan pengganti” dalam ilmu dan praktik cuci otak dan vaksin virus.

Ini pula yang sesungguhnya yang menjadi masalah krusial dari model teori paradigma tunggal ala Kuhn, dan menjadi sasaran kritik Karl R. Popper (1970). Khususnya terkait dengan persoalan dikotomi antara “keharusan taat pada tradisi/paradigma” dengan “kebutuhan dan tuntutan akan perubahan/revolusi”.

Diktum Kuhn menegaskan, bahwa “normal science does not aim at novelties of fact or theory and, when successful, finds none” (Kuhn, 1970: 52). Tak ada ruang di dalam sains normal atau periode paradigma untuk kebaruan atau perubahan. Karena paradigma, telah membingkai komunitas sains dan profesi secara ketat dan terpola dalam kotak-kotak konseptual mengenai realitas dengan segala fenomena yang terdapat di dalamnya. Dalam situasi seperti itu, para ilmuwan dan komunitasnya akan menjadi sosok “the not-too-critical professional”. Mereka telah kehilangan “intrinsic interest”, “common-sense prototype”, “sense of crisis” di dalam dirinya, yang sesungguhnya merupakan instrumen utama untuk melihat dan menemukan kebenaran.

Paradigma sains normal tidak akan mengarahkan ilmuwan dan peneliti untuk mengejar dan menemukan hal-hal baru (masalah dan fakta). Alih-alih, ia akan menekan ilmuwan dan peneliti agar selalu mengikuti arahan paradigma. Setiap ada “hal-hal baru yang mendasar” (fundamental novelties) pun, paradigma akan senantiasa menekannya agar tidak melakukan tindakan yang dapat menjatuhkan kekuasaannya yang sah, dengan segala komitmen dasar yang melekat di dalamnya. “Normal science, a pursuit not directed to novelties and tending at first to suppress them, should nevertheless be so effective in causing them to arise” (Kuhn, 1970, p.64).

Penggambaran Kuhn tentang fenomena kontekstual dari paradigma sains normal seperti ini sangat ditentang oleh Popper dalam tulisannya, ”Normal Science and Its Dangers” (Popper, 1970). Bahkan, dia mengingatkan pemaknaan seperti itu berbahaya, tidak hanya terhadap kehidupan sains dan komunitas keilmuan itu sendiri, yang sejatinya dilandasi oleh karakter “kritis”, tidak sepenuhnya “dogmatis”. Ia juga berbahaya bagi peradaban manusia. Dalam kehidupan sains, kata Popper, “…we have made genuine progress: that we know more than we did before” (p. 3).

Satu-satunya mekanisme internal yang ditawarkan oleh Kuhn dan dimungkinkan bagi terjadinya perubahan atau revolusi sains adalah adanya kesadaran anomali (awareness of anomaly) di dalam komunitas terkait dengan masalah yang ada. Selama kesadaran tersebut tidak ada, maka perubahan atau revolusi sains tidak akan pernah terjadi. Selain itu, calon paradigma juga harus mampu bersaing dan unggul dari paradigma yang ada dalam hal kemampuan memecahkan masalah-masalah keilmuan yang dihadapi oleh komunitas.

Solusi Bagi Terawan

Di satu sisi, mungkin teori dan praktik kedokteran Terawan dianggap “menyimpang/melanggar” paradigma yang ada. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Terawan sesungguhnya bisa dianggap sebagai “eksperimen beranomali” (anomalous experiment) yang memiliki peran penting bagi lahirnya sebuah paradigma baru.

Jika masih ada ruang diskusi atau “islah” antara Terawan dan IDI, dan mengikuti teori difusi inovasi Evereet M. Rogers (2003), ada lima hal yang perlu dilakukan oleh Terawan dalam rangka memersuasi para ilmuwan kedokteran dan para dokter bahwa teori dan praktik kedokterannya.

Pertama, keunggulan relatif (relative advantage) dari teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan dibandingkan dengan teori dan praktik yang ada.

Kedua, kecocokan, kesepadanan atau kesesuaian (compatibility) dari teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan dengan: 1) nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang selama ini dianut oleh komunitas kedokteran; 2) gagasan-gagasan yang sudah pernah dikenalkan sebelumnya; dan 3) kebutuhan komunitas kedokteran, juga pasien.

Ketiga, tingkat kompleksitas/kerumitan (complexity) dari teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan dibandingkan dengan teori dan praktik yang ada. Semakin mudah dan sederhana teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan, akan semakin mudah pula tingkat keberterimaannya oleh kemunitas kedokteran dan pasien. Demikian pula sebaliknya.

Keempat, tingkat keterujian (triability) dari teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan dalam memecahkan kasus-kasus yang terkait. Dalam kaitan ini, yang harus dilakukan oleh Terawan adalah melakukan serangkaian eksperimen terkait dengan dengan teori dan praktiknya. Kemudian mengelaborasi dan mengasimilasikan fakta-fakta baru yang ditemukan ke dalam teori dan praktik yang ada. Tidak sekadar melakukan penyesuaian tambahan (additive adjustment). Hingga para dokter dan ilmuwan kedokteran bisa menerima dan bersepakat atas fakta-fakta baru yang ditawarkan, dan menggunakannya sebagai cara pandang baru.

Kelima, keteramatan (observability) hasil-hasil pengembangan teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan bagi komunitas kedokteran, juga pasien. Semakin banyak dilakukan eksperimen berkelanjutan dengan hasil yang bisa diamati oleh komunitas kedokteran dan pasien, akan menambah keyakinan dan tingkat keberterimaannya. Demikian pula sebaliknya.

Kelima aspek persuasi tersebut sangat penting bagi Terawan untuk meyakinkan komunitas kedokteran atas teori dan praktik kedokteran yang dilakukan dan dikembangkan. Apalagi, lazimnya dalam komunitas apaapun, niscaya ada kelompok-kelompok penganut kekal (enduring group) yang bersikukuh pada paradigma lama. Kuhn dan Rogers menamakan mereka sebagai kelompok skeptis dan tradisional. Kelompok mereka sangat sulit dan lambat untuk menerima gagasan baru, betapapun inovatifnya. Bahkan tak jarang mereka menolak sama sekali dengan alasan yang sering tak masuk akal. Membangun kepercayaan mereka atas atribut-atribut inovasi yang terdapat di dalam teori dan praktik kedokteran yang ditawarkan Terawan juga merupakan keniscayaan yang harus dipertarungkan.

Penulis berharap, IDI bisa menyediakan sebuah forum ilmiah terbuka dan independen bagi Terawan untuk menguji bagaimana status dari teori dan praktik kedokterannya, baik dari sisi kedokteran, maupun yang lain.

 

Tangsel, 28 Maret 2022

_________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).