Demokrasi Medsos

Dalam sinisme Pramoedya Ananta Toer, “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai.”

Jumat, 18 Maret 2022 | 06:33 WIB
0
261
Demokrasi Medsos
Ilustrasi demokrasi (Foto: detik.com)

Untuk yang menyatakan di Indonesia tidak ada demokrasi, ya, wasalam. Ini bukan persoalan Jokowi atau bukan, melainkan karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Internet dan dunia digital, telah mengubah semuanya.

Suka tidak suka. Orang bisa menyebar informasi apa saja. Media cetak dan televisi yang dulu dianggep mainstream, perlahan bertumbangan. Bukan karena media itu tidak bermutu atau tak laku, melainkan memang dunia berubah. Informasi bisa diakses dengan sangat mudah dan cepat dalam berbagai platform media yang disebut medsos. Juga informasi yang tidak mutu sekalipun, bisa disebarkan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja.

Artinya yang terjadi, sesungguhnya, orang bisa menyebar berbagai macam hoax atau kebohongn, tetapi senyampang itu dengan mudah pula bisa ditelusuri kebenaran dan kesalahannya. Berbeda dengan jaman Soeharto yang melakukan pembredelan pers, pada era Jokowi yang terjadi adalah haters dan buzzers. 

Yang menjadi persoalan, perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan tingkat literasi atau pemahaman masyarakat Indonesia. Itu saja masalahnya, selebihnya tak ada.

Contoh, dahulu kala tahun 2012, Rhoma Irama percaya bahwa Jokowi beragama Kristen. Mungkin saja Wak Haji juga percaya Jokowi keturunan China dan PKI. Dari mana? Dari internet katanya, dengan alasan internet itu sesuatu yang canggih, tak mungkin salah. Ya, awoh! Sepinter-pinter internet, di belakangnya adalah manusia dengan otak lebih complicated daripada komputer yang cuma dengan rumus i-o mulu, lurus-lurus saja.

Tapi begitulah. Mau ngomong apa lagi. Lama-lama kita memahami, memang tak ada hubungan antara ketersekolahan seseorang, latar belakang pendidikan, agama, dan status sosial, dengan kualitas otak. Misal, Profesor Musni Umar, rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta.

Bayangkan, perguruan tinggi yang dipimpinnya memakai nama intelektual Islam abad ke-8. Tetapi pernyataan-pernyataan sang rektor di medsos, lebih mencerminkan partisan sakit hati daripada patrap intelektual.

Terus kalau sudah bergelar profesor tak boleh dan tak mungkin bodoh? Sebagaimana kalau sudah bergelar dokter nggak mungkin teroris? Padal, para teroris internasional yang sudah mampus, tak sedikit yang bergelar dokter.

Demikian juga akhirnya pada beberapa orang, yang mengalami tabrakan kepentingan seperti Profesor Doktor Azyumardi Azra, yang kini entah kenapa acap marah-marah pada Jokowi. Kini yang lebih menonjol adalah orientasi dan niatan yang terpolarisasi pandangan politiknya.

Sekali lagi, kita masih butuh waktu panjang untuk merasakan Indonesia genah-diri. Saat ini kita masih belum siap maju dan membangun, meski lema ‘maju’ itu didengungkan para pihak yang berseteru. Karena orang pinter mungkin banyak, namun orang bijak yang kudu kita cari. Apalagi orang bijak yang punya ketulusan, sebagaimana tulis Jakob Oetama marhum bahwa persoalan kita di Indonesia ini adalah kurangnya ketulusan.

Tapi, apakah ada, orang bijak tak punya ketulusan? Ujar Ali bin Abi Thalib, ketulusan seseorang sesuai kadar kemanusiaannya. Lha, kadar kemanusiaan seseorang, konon dapat diukur dari rasa-kemanusiaannya.

Di dalam Jawa ada tepa-selira dan empan papan. Di dalam Melayu di situ bumi dipijak langit dijunjung. Di dalam Dayak Ngaju ada ‘kilau danum huang dawen kujang’ untuk menggambarkan orang yang menganggep dirinya paling pintar dan benar, tidak bisa mendengar pikiran liyan.

Menurut suku yang banyak berdiam di Kalimantan Tengah itu, yang banyak diucapkan adalah “aku raja, aku tamanggung, aku damang,…” Dalam sinisme Pramoedya Ananta Toer, “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai.”

Sunardian Wirodono