Dalam sinisme Pramoedya Ananta Toer, “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai.”
Untuk yang menyatakan di Indonesia tidak ada demokrasi, ya, wasalam. Ini bukan persoalan Jokowi atau bukan, melainkan karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Internet dan dunia digital, telah mengubah semuanya.
Suka tidak suka. Orang bisa menyebar informasi apa saja. Media cetak dan televisi yang dulu dianggep mainstream, perlahan bertumbangan. Bukan karena media itu tidak bermutu atau tak laku, melainkan memang dunia berubah. Informasi bisa diakses dengan sangat mudah dan cepat dalam berbagai platform media yang disebut medsos. Juga informasi yang tidak mutu sekalipun, bisa disebarkan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja.
Artinya yang terjadi, sesungguhnya, orang bisa menyebar berbagai macam hoax atau kebohongn, tetapi senyampang itu dengan mudah pula bisa ditelusuri kebenaran dan kesalahannya. Berbeda dengan jaman Soeharto yang melakukan pembredelan pers, pada era Jokowi yang terjadi adalah haters dan buzzers.
Yang menjadi persoalan, perkembangan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan tingkat literasi atau pemahaman masyarakat Indonesia. Itu saja masalahnya, selebihnya tak ada.
Contoh, dahulu kala tahun 2012, Rhoma Irama percaya bahwa Jokowi beragama Kristen. Mungkin saja Wak Haji juga percaya Jokowi keturunan China dan PKI. Dari mana? Dari internet katanya, dengan alasan internet itu sesuatu yang canggih, tak mungkin salah. Ya, awoh! Sepinter-pinter internet, di belakangnya adalah manusia dengan otak lebih complicated daripada komputer yang cuma dengan rumus i-o mulu, lurus-lurus saja.
Tapi begitulah. Mau ngomong apa lagi. Lama-lama kita memahami, memang tak ada hubungan antara ketersekolahan seseorang, latar belakang pendidikan, agama, dan status sosial, dengan kualitas otak. Misal, Profesor Musni Umar, rektor Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta.
Bayangkan, perguruan tinggi yang dipimpinnya memakai nama intelektual Islam abad ke-8. Tetapi pernyataan-pernyataan sang rektor di medsos, lebih mencerminkan partisan sakit hati daripada patrap intelektual.
Terus kalau sudah bergelar profesor tak boleh dan tak mungkin bodoh? Sebagaimana kalau sudah bergelar dokter nggak mungkin teroris? Padal, para teroris internasional yang sudah mampus, tak sedikit yang bergelar dokter.
Demikian juga akhirnya pada beberapa orang, yang mengalami tabrakan kepentingan seperti Profesor Doktor Azyumardi Azra, yang kini entah kenapa acap marah-marah pada Jokowi. Kini yang lebih menonjol adalah orientasi dan niatan yang terpolarisasi pandangan politiknya.
Sekali lagi, kita masih butuh waktu panjang untuk merasakan Indonesia genah-diri. Saat ini kita masih belum siap maju dan membangun, meski lema ‘maju’ itu didengungkan para pihak yang berseteru. Karena orang pinter mungkin banyak, namun orang bijak yang kudu kita cari. Apalagi orang bijak yang punya ketulusan, sebagaimana tulis Jakob Oetama marhum bahwa persoalan kita di Indonesia ini adalah kurangnya ketulusan.
Tapi, apakah ada, orang bijak tak punya ketulusan? Ujar Ali bin Abi Thalib, ketulusan seseorang sesuai kadar kemanusiaannya. Lha, kadar kemanusiaan seseorang, konon dapat diukur dari rasa-kemanusiaannya.
Di dalam Jawa ada tepa-selira dan empan papan. Di dalam Melayu di situ bumi dipijak langit dijunjung. Di dalam Dayak Ngaju ada ‘kilau danum huang dawen kujang’ untuk menggambarkan orang yang menganggep dirinya paling pintar dan benar, tidak bisa mendengar pikiran liyan.
Menurut suku yang banyak berdiam di Kalimantan Tengah itu, yang banyak diucapkan adalah “aku raja, aku tamanggung, aku damang,…” Dalam sinisme Pramoedya Ananta Toer, “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai.”
Sunardian Wirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews