Keculasan dan Keberuntungan di Tengah Wabah

Kalau melihat sosok seperti Cottard, yang bertambah kaya ketika orang lain semakin merasa susah, kegeraman orang-orang akan timbul. Tapi orang-orang seperti Cottard itu niscaya.

Senin, 6 Desember 2021 | 14:55 WIB
0
323
Keculasan dan Keberuntungan di Tengah Wabah
Foto: Jukiblog

Tafsir Albert Camus dalam novel Sampar belakangan ini terasa begitu dekat dengan situasi di sekitar kita. Pada novel itu dikisahkan bagaimana menjangkitnya wabah Sampar yang membongkar semua perangai asli para penduduk Kota Orlan, membuat kekacauan bertambah parah. Di sana, kendati wabah membuat semua orang sama-sama rugi, alasan untuk bersikap egois dan memikirkan dirinya sendiri bertambah kuat ketimbang di masa-masa sebelum wabah.

Novel Sampar ditulis seperti sebuah amatan yang menyeluruh dan mendalam. Penulisannya seperti perpaduan antara catatan harian, laporan jurnalistik, dan karya sosiologis sebuah kota di tengah wabah. Selain pengerjaannya dilakukan dengan riset lapangan, Camus juga membubuhkan pelbagai tafsir atas situasi kemasyarakatan yang tak menentu di masa ketika ruang manusiawi itu terasa kian tipis dan menghimpit.

Itu terjadi pula pada kenyataan di sekitar kita belakangan waktu. Pandemi Covid-19 meluas nyaris tak terkendali, seperti tak mengenal iba pada siapa saja. Anak-anak, ibu-ibu, lansia, semua bisa terjangkit. Tapi di antara mereka, tetap ada saja orang yang bertindak sesuai kehendak hatinya sendiri. Serupa riuh-rendah warga kota Orlan yang diceritakan Albert Camus dalam Sampar.

Di antara beragam karakter yang Camus gubah, salah satu yang mendapat lakon muram dari kisah Sampar ialah tokoh bernama Cottard. Tokoh ini, dengan berjubelnya karakter, hanya mendapat sedikit porsi penceritaan. Kekuatan karakternya juga tak dominan, lantaran ia dibaca sebagai sebuah selingan di tengah jalinan cerita para karakter penting. Tetapi Camus menjadikan Cottard sebagai sebuah pengecualian, ia seperti antara ada dan tiada, penting dan tidak penting.

Camus mendaras, sebagai seorang pengusaha Anggur yang penuh dengan pesimisme, Cottard sangat terobsesi pada kekayaan. Ia bisa menghalalkan semua cara, demi mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Kendati begitu, ia menduga kalau wabah tak akan kunjung mereda. Ia juga percaya bahwa orang harus bertahan hidup di tengah wabah, dengan segala cara, walaupun itu banal sekalipun.

Setelah berbulan-bulan menghadapi kerasnya situasi di tengah wabah, Cottard diceritakan justru bertambah kaya. Usaha penjualan Anggurnya meningkat pesat. Itu bisa terjadi lantaran ia cermat melihat celah dalam sudut sempit yang sulit ditangkap orang biasa. Selain itu, ia tampak seperti seorang negosiator handal dan lihai menjalin relasi kepada siapapun yang dirasa punya kuasa lebih. Maka, kelebihannya itu membuatnya jauh dari derita dan mendekatkannya pada kekayaan. Berkebalikan dengan separuh lebih kondisi penduduk Orlan kala itu.

Karakter Cottard dalam Sampar tergambar ambigu. Terkadang ia bisa membantu aksi penyelundupan, namun di lain waktu, ia tak ingin terlibat manakala warga Orlan tengah bahu-membahu. Cottard, juga sebenarnya punya trauma dengan aparat, meski ia bisa saja bekerja sama untuk tujuan tertentu. Segala yang melekat pada Cottard, sangat bertentangan antara satu hal dengan lainnya, seperti sebuah paradoks. Sikapnya labil, bisa berubah-ubah sesuai keadaan. Dan dalam pesimismenya, ia justru merasa tenang ketika wabah Sampar mulai meluas sampai ke seluruh penjuru kota.

Ketenangan Cottard itu bukan sekadar sikap berkepala dingin atas suatu masalah. Ketenangannya cenderung mengarah pada kelegaan dan ketenteraman hati, yang bertentangan dengan perasaan yang dialami oleh seluruh warga kota.

Cottard merasakan wabah ini membuat semua orang dapat merasakan kegelisahan, kemurungan, dan filsafat pesimisme yang selama ini ia pakai untuk melumat kerasnya hidup. Dari situ ketenteraman hati Cottard timbul. Semua orang, pada akhirnya, merasakan apa yang ia rasakan.  

Cottard bisa menjelma dan bersalin wajah di sekitar kita. Ketika wabah melanda, semua orang pada mulanya panik. Mereka panik lantaran segala hal yang biasa mereka kerjakan, semua yang mereka punya, lenyap seketika. Tapi ketika orang hanya diam menunggu, sembari melihat keadaan berjalan sebagaimana biasa, ada orang yang bisa mendapatkan ketenangan. Cottard bersikap seperti itu. Sedari awal, ia sudah pesimis dengan wabah. Kalau harus mengakhiri hidup, sepertinya ia mau-mau saja. Tetapi karena ia melihat keadaan di Kota Orlan justru membuat dirinya bahagia, ia terus bertahan.  

Ini adalah salah satu kejelian kreatif Albert Camus. Ia menciptakan tokoh Cottard sebagai cermin bagi keberadaan diri kita sekaligus kenyataan yang melintas di depan mata pada waktu belakangan. Cottard, jelas dalam novel itu tidak berniat jahat atau memerankan diri sebagai iblis di tengah wabah yang mencekam. Sama seperti wabah hari ini, ada orang yang berniat baik, tapi di sisi lain, ada pula yang tidak berniat jahat dan bersikap apa adanya, meski tindakannya terlihat menjengkelkan.

Penggambaran tokoh demikian, membuat Cottard sangat rentan disematkan dengan pelbagai macam label yang cenderung menyudutkan. Tapi orang-orang dengan perangai seperti Cottard, tak akan peduli. Di kenyataan hari-hari ini, ketidakpedulian itu bisa semakin menguat karena keadaan yang tak menguntungkan. Wabah membuat orang memikirkan dirinya sendiri. Sikap tolong-menolong menjadi sangat berharga.

Kalau melihat sosok seperti Cottard, yang bertambah kaya ketika orang lain semakin merasa susah, kegeraman orang-orang akan timbul. Tapi orang-orang seperti Cottard itu niscaya. Diantisipasi pun sukar, lantaran ia berangkat dari sisi psikologis manusia yang mendasar: kebutuhan akan rasa nyaman. Yang bisa kita perbuat adalah, melihat dan bercermin, dan merenungkannya dengan empati sebagai sesama manusia, apakah layak kita bersikap seperti Cottard?

***