Mengenang Tsunami Aceh 15 Tahun Lalu

Atas dasar pengalaman ini, sebuah lembaga sosial di Amerika Serikat bernama The Fetzer Institute meminta saya mendokumentasikan tragedi Aceh ini dalam sebuah film pendek.

Jumat, 27 Desember 2019 | 06:40 WIB
0
334
Mengenang Tsunami Aceh 15 Tahun Lalu
Tsunami Aceh (Foto: DW.com)

Hari ini, saya duduk termenung di kursi sofa, sambil menerawang peristiwa 15 tahun lalu. Ya, tak terasa kejadian itu sudah 15 tahun lalu, persisnya pada 26 Desember 2004.

Saat itu, rambut saya masih hitam, dan badan masih terasa ringan bergerak. Pada hari itu, sebenarnya saya sedang berada di Nabire, Papua. Bersama puluhan relawan yang ikut dalam rombongan, saya baru saja merapat di pelabuhan Nabire menghantar bantuan kemanusiaan untuk para korban gempa berkekuatan 6,4 skala richter yang terjadi tepat sebulan sebelumnya, 26 November 2004.

Atas kebaikan hati Angkatan Laut Republik Indonesia, beragam bantuan yang berhasil kami himpun di Jakarta seperti sembako, semen, seng, mesin pengolahan air, tenda, dan lain lain, dapat terkirim. Kami merapat di pelabuhan dengan harapan dapat meringankan derita warga Papua yang terdampak gempa.

Siapa menyangka, saat kami sibuk menyiapkan distribusi bantuan, terkirim kabar ada gempa di Aceh pada hari itu juga, 26 Desember 2004. Begitu kabar kami terima, kami semua terpana mendengar besarnya gempa yang mengguncang Aceh yang konon mencapai magnitudo 9,3 SR. Keprihatinan begitu dalam saat mendengar adanya tsunami yang menyusul gempa dan menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa.

Saat itu, saya kebetulan menginap satu kamar bersama seorang wartawan SCTV asal Aceh yang ikut dalam rombongan.

Saya melihat wajahnya pucat dan gelisah mengikuti berita jumlah korban yang terus melonjak. Di malam hari, akhirnya tangis tak terbendung dari kelopak matanya begitu mendengar kabar bahwa banyak anggota keluarga dekatnya meninggal dunia. Saya ikut tenggelam dalam kepedihan melihat sahabat satu kamar yang menangis tersedu sepanjang malam.

Keesokan harinya, seluruh relawan berkumpul membahas berita tentang gempa dan tsunami di Aceh. Kami memutuskan untuk berbagi tugas. Sebagian rombongan tetap tinggal di Nabire hingga bantuan tersalurkan. Sebagian lain, termasuk saya, menyiapkan kembali ke Jakarta lebih awal dan langsung menuju Aceh.

Setibanya di Aceh, benar saja dampak bencana akibat gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, sungguh luar biasa. Hempasan tsunami meluluh-lantakkan hampir seluruh daerah pantai provinsi Aceh. Saya melihat, wajah anak-anak di Aceh yang bersedih karena mendadak menjadi anak yatim. Saya juga melihat mayat mayat yang berserakan di jalan, kebun dan puing puing rumah. Di malam hari, Banda Aceh gelap gulita, menjelma menjadi kota mati.

Sejak saat itu, sedikitnya selama enam tahun saya datang dan pergi ke Banda Aceh dan kota-kota sekelilingnya untuk ikut menyalurkan bantuan. Saya hanyalah satu dari ratusan ribu relawan yang berdatangan.

Namun, di tengah derita, saya melihat ada hikmah. Ada ayat-ayat Tuhan yang harus kita jadikan renungan bersama. Ini yang ingin saya ceriterakan.

Atas dasar pengalaman ini, sebuah lembaga sosial di Amerika Serikat bernama The Fetzer Institute meminta saya mendokumentasikan tragedi Aceh ini dalam sebuah film pendek. Dengan kemampuan seadanya, saya meminta Najwa Shihab menjadi aktor utama untuk menceriterakan apa yang terjadi di Aceh. Saya menulis naskah ceritera. Beberapa teman jebolan IKJ membantu saya melakukan shooting dan editing film.

Akhirnya, saya bersama Pak Alwi Shihab dan Pak Hamid Awaluddin mempresentasikan film ini dalam sebuah panel diskusi di Assisi, Italy di hadapan ratusan aktivis perdamaian dari berbagai negara yang saat itu berkumpul di sana.

Saya berharap, film ini dapat menjadi persembahan Indonesia pada dunia bagaimana musibah yang begitu dahsyat, ternyata juga mendatangkan berkah; berkah perdamaian Aceh, berkah rekatnya kembali rasa cinta dan pintu maaf. Semoga ke depan, kita semua mampu merawatnya.

#iPras 2019

***