Antipluralisme di Abad 21

Konflik Papua di Indonesia belakangan ini juga penuh dengan nuansa rasisme esensialis ini, sekaligus isu sumber daya alam dan ekonomi yang diperebutkan.

Senin, 2 September 2019 | 22:16 WIB
0
526
Antipluralisme di Abad 21
Ilustrasi (Foto: Rumahfilsafat.com)

Ada hal menarik di abad 21 terkait dengan para pembunuh massal. Mereka menulis sebuah manifesto.

Di masa lalu, pembunuh massal, dan pembunuh berseri, bertindak, karena mereka menderita trauma. Mereka tidak sehat secara mental.

Di abad 21, terutama belakangan ini, pembunuh massal bertindak, karena ideologi. Mereka memiliki pandangan sempit tertentu tentang kenyataan, dan ingin menyebarkan ketakutan, guna mewujudkan pandangan itu.

Rasisme Esensialis

Seperti dicatat oleh David Brooks, pelaku pembunuhan massal di New Zealand dan Amerika Serikat menulis sebuah manifesto. Mereka memuji keberagaman budaya dan ras di dunia, serta tidak ingin itu semua bercampur baur. (Brooks, 2019)

Mereka tidak membenci satu ras tertentu. Mereka hanya ingin, supaya setiap ras kembali ke tempat asalnya masing-masing, dan tidak saling bercampur.

Disini, ras menjadi hal terpenting dari diri pribadi manusia. Tempat manusia di dunia pun ditentukan oleh rasnya. Inilah yang disebut sebagai rasisme esensialis.

Para pembunuh massal ini berpikir, bahwa ras itu haruslah murni. Dunia menjadi tempat yang sehat, jika setiap orang hidup sesuai dengan rasnya.

Maka, imigrasi adalah hal yang amat terlarang. Pasangan yang berbeda identitas juga dianggap melawan alam, dan merusak identitas.

Para pembunuh massal ini juga hidup dalam ketakutan. Mereka merasa, ras kulit putih Eropa sedang diancam oleh ras-ras lainnya.

Mereka berkaca dari sejarah, ketika ras kulit putih Eropa menguasai benua Amerika Serikat melalui proses imigrasi dan pembunuhan. Di abad 21 ini, di mata para pembunuh massal ini, imigrasi dapat dipahami sebagai genosida ras kulit putih.

Ras kulit putih Eropa memang selalu hidup dalam rasa takut. Ketakutan inilah, yang dibalut dengan kerakusan, yang mendorong kolonialisme di abad-abad sebelumnya. Konflik Papua di Indonesia belakangan ini juga penuh dengan nuansa rasisme esensialis ini, sekaligus isu sumber daya alam dan ekonomi yang diperebutkan.

Antipluralisme

Brooks juga berpendapat, bahwa ideologi rasisme esensialis ini merupakan bagian dari ideologi yang lebih besar, yakni antipluralisme. Ideologi ini menolak segala bentuk percampuran ras. Bentuknya pun beragam, mulai dari nasionalisme sempit, sampai dengan terorisme agama.

Berkat globalisasi, identitas manusia kini bercampur baur. Kemurnian identitas ras maupun agama kini menjadi langka.

Antipluralisme menolak gejala ini. Para pemeluknya berpendapat, bahwa ras dan agama harus memiliki batas serta identitas yang jelas.

Mereka ingin mewujudkan dunia yang terdiri dari manusia-manusia dengan identitas yang murni, baik dalam soal ras maupun agama. Keinginan yang sebenarnya hanya mimpi, karena tidak pernah ada di dalam kenyataan.

Musuh mereka adalah para pluralis. Dan sekarang ini, pertempuran antara kaum antipluralis dan pluralis terjadi di berbagai konteks, mulai dari dunia akademik sampai dengan politik.

Sesungguhnya…

Sesungguhnya, manusia tidak pernah bisa disempitkan ke dalam satu bentuk identitas. Ia lebih luas dari sekedar ras ataupun agamanya.

Setiap orang adalah campuran dari beragam identitas. Inilah yang membuat hidup manusia kaya dan bermakna.

Percampuran identitas adalah sesuatu yang alami. Ia sudah pernah terjadi, dan akan terus terjadi di masa depan.

Dengan berjalannya waktu, identitas juga meluas. Identitas yang sehat adalah identitas yang terbuka, yang merangkul semua perbedaan dengan mencari titik tengah yang damai.

Budaya pun berkembang melalui perjumpaan terhadap perbedaan. Budaya yang menutup diri akan musnah ditelah waktu.

Dengan kata lain, pluralisme adalah kehidupan itu sendiri. Di alam ini, tak ada yang seragam. Semuanya adalah simfoni perbedaan yang hidup di dalam harmoni.

Pluralisme adalah sebuah perbincangan tanpa akhir. Ia selalu mencari keseimbangan baru di tengah berbagai perubahan yang terjadi.

Tidak Alamiah

Rasisme dan antipluralisme adalah sikap yang tidak alamiah. Ia menciptakan ketakutan dan konflik di berbagai tempat.

Kaum rasis dan antipluralis merindukan dunia yang murni dan tak berubah. Ini jelas bertentangan dengan kehidupan.

Dengan kata lain, mereka adalah pecinta kematian.Tak heran, mereka menyebarkan kematian di berbagai tempat melalui teror dan pembunuhan massal.

Kita di Indonesia pun mengalami pertarungan serupa. Ada kelompok-kelompok sesat yang merindukan kemurnian identitas, baik ras, etnis maupun agama.

Mereka hidup di dalam delusi, mungkin menderita sejenis penyakit mental. Mereka hanya ingin hidup dan bergaul dengan orang-orang yang satu identitas.

Sikap tertutup ini yang kini merusak keutuhan Indonesia. Sikap ini pula yang melukai kehidupan, dan mengundang kematian. Mau sampai kapan?

***