Indonesia yang Timpang

Rabu, 14 November 2018 | 06:52 WIB
0
542
Indonesia yang Timpang
Ilustrasi ketimpangan (Foto: RMOL.co)

Di Indonesia, kita hidup di negara yang timpang. Cukup pengamatan sederhana akan membawa anda pada kesimpulan tersebut. Ketimpangan mewujud secara nyata dalam hidup sehari-hari, mulai dari perilaku menggunakan kendaraan sampai dengan kebijakan presidensial. Ketimpangan tersebut juga memiliki dampak amat luas yang merusak.

Ketimpangan juga bukan merupakan masalah Indonesia semata, tetapi juga masalah dunia. Sharan Burrow, aktivis asal AS, menegaskan, bahwa “ketimpangan menghancurkan penghidupan seseorang, menghancurkan martabat diri dan keluarga dan memecah belah komunitas.” Hal serupa dikatakan oleh Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan. “Selama kemiskinan, ketidakadilan dan ketimpangan besar ada di dalam dunia kita, maka kita tidak akan pernah bisa sungguh tenang dan beristirahat.”

Lima Ketimpangan

Setidaknya, ada lima bentuk ketimpangan yang dapat saya amati di Indonesia. Pertama, Indonesia mengalami ketimpangan nalar. Di satu sisi, kita melihat begitu banyak orang yang cerdas dan kritis di Indonesia. Karya-karya mereka mampu mengubah cara berpikir masyarakat ke arah yang lebih baik. Merekalah pahlawan-pahlawan yang sesungguhnya di abad 21 ini.

Di sisi lain, kita juga bisa dengan mudah melihat orang-orang yang cacat nalar, bahkan di lingkungan pendidikan, bisnis dan politik. Mereka hidup dengan penuh prasangka yang melahirkan kesempitan berpikir. Mereka cenderung rasis dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Jika ada perbedaan sudut pandang, kekerasan, fitnah dan demo beramai-ramai di jalan lalu dilihat sebagai jalan keluar.

Dua, ketimpangan juga terjadi di wilayah kreativitas. Di satu sisi, kita melihat begitu banyak orang melakukan proyek-proyek pencerahan yang berguna untuk masyarakat. Banyak bisnis dan lembaga baru bermunculan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan makmur. Ide-ide baru pun bermunculan yang mengubah cara pandang kita tentang dunia dan kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat juga orang-orang yang masih mengemis untuk menjadi pegawai negeri. Mereka bermental siap disuruh dan siap menerima gaji bulanan, seringkali tanpa ukuran produktivitas yang jelas. Kita juga melihat begitu banyak orang malas mengembangkan diri dan lingkungannya. Mereka pun terjebak ke dalam kemiskinan yang berkepanjangan.

Tiga, Indonesia juga mengalami ketimpangan moralitas. Di satu sisi, kita melihat adanya kelompok-kelompok di berbagai tempat yang menjunjung keadilan, kejujuran dan toleransi dalam hidup bersama. Mereka mungkin tak disorot oleh berita. Namun, kehadiran merekalah yang menjadi dasar utama dari keberadaan Indonesia sampai sekarang ini.

Di sisi lain, kita melihat pula sekumpulan orang-orang rakus. Mereka tidak segan menipu dan mencuri, guna memperkaya diri. Tak jarang pula, mereka menduduki jabatan-jabatan penting di masyarakat, mulai dari pemuka agama, politisi sampai dengan pelaku bisnis ternama. Orang-orang buta moral ini seringkali bersembunyi di balik topeng-topeng sosial yang dianggap terhormat oleh masyarakat.

Empat, ini sudah amat jelas terasa, Indonesia adalah negara dengan ketimpangan ekonomi yang besar. Data-data kuantitatif bisa membantu. Namun, pengamatan langsung juga dapat memberikan gambaran yang jelas soal ini. Mobil dan perumahan mewah bersandingan dengan pemukiman kumuh dan kemiskinan akut yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia.

Ketimpangan ekonomi merupakan masalah terbesar di Indonesia. Ini menyinggung tidak hanya rasa kepantasan dan solidaritas antar warga, tetapi juga menjadi sumber bagi perang dan konflik yang berkepanjangan. Kriminalitas juga bertumbuh subur di rahim kemiskinan. Saya sendiri tidak mengerti, mengapa masalah ini tampak terabaikan di dalam diskusi publik kita di Indonesia.

Lima, ketimpangan yang paling jelas adalah ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Selama puluhan tahun, pembangunan hanya terjadi di Jawa, terutama Jakarta. Daerah lain nyaris tak mengalami pembangunan berarti. Ketimpangan pembangunan ini pun membawa banyak ketimpangan lainnya, mulai dari ketimpangan ekonomi sampai dengan ketimpangan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Politik dan Ketimpangan

Masyarakat yang timpang adalah masyarakat yang terbelah. Masyarakat yang terbelah mudah diadu domba oleh persoalan-persoalan kecil. Konflik pun menjadi sulit dihindari, ketika ada kepentingan politik busuk masuk, dan memanfaatkan perpecahan itu. Pilkada Jakarta 2017 telah menjadi bahan kajian bersama, tentang bagaimana politik busuk memanfaatkan ketimpangan yang ada, mulai dari ketimpangan nalar, ketimpangan ekonomi sampai dengan ketimpangan moralitas.

Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap ketimpangan di berbagai bidang kehidupan di Indonesia ini? Jawabannya sederhana, yakni pemerintah. Kesalahan kebijakan, sampai dengan korupsi yang mengakar di struktur politik Indonesia, adalah biang keladi ketimpangan multidimensional ini. Di 2019 nanti, kita akan memilih presiden dan jajaran kekuasaan politik yang baru. Apakah kita perlu mengganti presiden yang sekarang?

Jika ada calon yang lebih baik, itu jalan yang harus diambil. Namun, jika calonnya adalah orang yang bermasalah dalam persoalan Hak-hak Asasi Manusia dan politik SARA, maka jelas ini haruslah dihindari. Ini logika sederhana yang berpijak pada akal sehat. Sayang, ini tetap sulit dipahami, karena ketimpangan nalar dan moralitas yang tersebar luas di Indonesia.

***