Di Indonesia, kita hidup di negara yang timpang. Cukup pengamatan sederhana akan membawa anda pada kesimpulan tersebut. Ketimpangan mewujud secara nyata dalam hidup sehari-hari, mulai dari perilaku menggunakan kendaraan sampai dengan kebijakan presidensial. Ketimpangan tersebut juga memiliki dampak amat luas yang merusak.
Ketimpangan juga bukan merupakan masalah Indonesia semata, tetapi juga masalah dunia. Sharan Burrow, aktivis asal AS, menegaskan, bahwa “ketimpangan menghancurkan penghidupan seseorang, menghancurkan martabat diri dan keluarga dan memecah belah komunitas.” Hal serupa dikatakan oleh Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan. “Selama kemiskinan, ketidakadilan dan ketimpangan besar ada di dalam dunia kita, maka kita tidak akan pernah bisa sungguh tenang dan beristirahat.”
Lima Ketimpangan
Setidaknya, ada lima bentuk ketimpangan yang dapat saya amati di Indonesia. Pertama, Indonesia mengalami ketimpangan nalar. Di satu sisi, kita melihat begitu banyak orang yang cerdas dan kritis di Indonesia. Karya-karya mereka mampu mengubah cara berpikir masyarakat ke arah yang lebih baik. Merekalah pahlawan-pahlawan yang sesungguhnya di abad 21 ini.
Di sisi lain, kita juga bisa dengan mudah melihat orang-orang yang cacat nalar, bahkan di lingkungan pendidikan, bisnis dan politik. Mereka hidup dengan penuh prasangka yang melahirkan kesempitan berpikir. Mereka cenderung rasis dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Jika ada perbedaan sudut pandang, kekerasan, fitnah dan demo beramai-ramai di jalan lalu dilihat sebagai jalan keluar.
Dua, ketimpangan juga terjadi di wilayah kreativitas. Di satu sisi, kita melihat begitu banyak orang melakukan proyek-proyek pencerahan yang berguna untuk masyarakat. Banyak bisnis dan lembaga baru bermunculan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan makmur. Ide-ide baru pun bermunculan yang mengubah cara pandang kita tentang dunia dan kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat juga orang-orang yang masih mengemis untuk menjadi pegawai negeri. Mereka bermental siap disuruh dan siap menerima gaji bulanan, seringkali tanpa ukuran produktivitas yang jelas. Kita juga melihat begitu banyak orang malas mengembangkan diri dan lingkungannya. Mereka pun terjebak ke dalam kemiskinan yang berkepanjangan.
Tiga, Indonesia juga mengalami ketimpangan moralitas. Di satu sisi, kita melihat adanya kelompok-kelompok di berbagai tempat yang menjunjung keadilan, kejujuran dan toleransi dalam hidup bersama. Mereka mungkin tak disorot oleh berita. Namun, kehadiran merekalah yang menjadi dasar utama dari keberadaan Indonesia sampai sekarang ini.
Di sisi lain, kita melihat pula sekumpulan orang-orang rakus. Mereka tidak segan menipu dan mencuri, guna memperkaya diri. Tak jarang pula, mereka menduduki jabatan-jabatan penting di masyarakat, mulai dari pemuka agama, politisi sampai dengan pelaku bisnis ternama. Orang-orang buta moral ini seringkali bersembunyi di balik topeng-topeng sosial yang dianggap terhormat oleh masyarakat.
Empat, ini sudah amat jelas terasa, Indonesia adalah negara dengan ketimpangan ekonomi yang besar. Data-data kuantitatif bisa membantu. Namun, pengamatan langsung juga dapat memberikan gambaran yang jelas soal ini. Mobil dan perumahan mewah bersandingan dengan pemukiman kumuh dan kemiskinan akut yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia.
Ketimpangan ekonomi merupakan masalah terbesar di Indonesia. Ini menyinggung tidak hanya rasa kepantasan dan solidaritas antar warga, tetapi juga menjadi sumber bagi perang dan konflik yang berkepanjangan. Kriminalitas juga bertumbuh subur di rahim kemiskinan. Saya sendiri tidak mengerti, mengapa masalah ini tampak terabaikan di dalam diskusi publik kita di Indonesia.
Lima, ketimpangan yang paling jelas adalah ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa. Selama puluhan tahun, pembangunan hanya terjadi di Jawa, terutama Jakarta. Daerah lain nyaris tak mengalami pembangunan berarti. Ketimpangan pembangunan ini pun membawa banyak ketimpangan lainnya, mulai dari ketimpangan ekonomi sampai dengan ketimpangan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Politik dan Ketimpangan
Masyarakat yang timpang adalah masyarakat yang terbelah. Masyarakat yang terbelah mudah diadu domba oleh persoalan-persoalan kecil. Konflik pun menjadi sulit dihindari, ketika ada kepentingan politik busuk masuk, dan memanfaatkan perpecahan itu. Pilkada Jakarta 2017 telah menjadi bahan kajian bersama, tentang bagaimana politik busuk memanfaatkan ketimpangan yang ada, mulai dari ketimpangan nalar, ketimpangan ekonomi sampai dengan ketimpangan moralitas.
Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap ketimpangan di berbagai bidang kehidupan di Indonesia ini? Jawabannya sederhana, yakni pemerintah. Kesalahan kebijakan, sampai dengan korupsi yang mengakar di struktur politik Indonesia, adalah biang keladi ketimpangan multidimensional ini. Di 2019 nanti, kita akan memilih presiden dan jajaran kekuasaan politik yang baru. Apakah kita perlu mengganti presiden yang sekarang?
Jika ada calon yang lebih baik, itu jalan yang harus diambil. Namun, jika calonnya adalah orang yang bermasalah dalam persoalan Hak-hak Asasi Manusia dan politik SARA, maka jelas ini haruslah dihindari. Ini logika sederhana yang berpijak pada akal sehat. Sayang, ini tetap sulit dipahami, karena ketimpangan nalar dan moralitas yang tersebar luas di Indonesia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews