5 Langkah menyelesaikan konflik dalam perspektif islam

Sabtu, 3 November 2018 | 09:38 WIB
0
981
5 Langkah menyelesaikan konflik dalam perspektif islam
Ilustrasi Perang (Foto: Islammexico.net)

Konflik dan manusia, keduanya tidak dapat dipisahkan, karena konflik merupakan bagian dari keniscayaan dalam kehidupan (min lawazim al-hayat) manusia. Maka tidak berlebihan jika sebagian pakar mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik.

Namun bukan berarti bahwa konflik dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya untuk mengelola dan meredamnya. Maka tulisan ini mencoba menggali spirit dalam mengelola dan meredam konflik tinjauan al-Qur'an dan as Sunnah.

Al-Quran menawarkan spirit dalam menginspirasi dan memotivasi untuk mewujudkan resolusi konflik menuju perdamaian. 

Pertama, melakukan tabayyun(klarifikasi). Dalam hal ini tabayyun dijadikan sebagai upaya mencari kejelasan dan klarifikasi atas sebuah informasi, terlebih informasi yang masih simpang-siur kejelasannya, yang dapat menimbulkan fitnah dan konflik. Spirit tabayyun disebutkan dalam al-Quran untuk menguji kebenaran informasi dari seorang fasiq (Q.S. al-Hujurat: 6).

Kedua, melakukan tahkim (upaya mediasi). Dalam hal ini upaya tahkim dilakukan sebagai salah satu cara mendamaikan dua belah pihak yang tengah berkonflik dengan mendatangkan mediator sebagai juru damai, sebagaimana dikatakan dalam Q.S. al-Nisa’: 35. Sebagai catatan bahwa seorang mediator harus ‘berdiri di tengah’. Artinya, tanpa memihak dan bersimpati kepada salah satu pihak yang tengah berkonflik. Ia seharusnya mendorong dan mengondisikan kedua pihak tersebut ke arah perdamaian.

Ketiga, melakukan syura (musyawarah). Upaya ini ditempuh guna memecahkan persoalan (baca: mencari solusi) dengan mengambil keputusan bersama. Hal ini dianggap penting dalam kasus terjadinya konflik. Pentingnya musyawarah ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran: 158.

Keempat, sikap al-‘afwu (saling memafkan). Ketika terjadi konflik, maka masing-masing pihak cenderung mempertahankan ego sektoral mereka. Sehingga al-‘afwu merupakan indikator awal lahirnya kebaikan dan ketakwaan seseorang (Q.S. al-Baqarah: 237), yang mampu menciptakan kondisi perdamaian dalam kehidupan manusia.

Kelima, tekad al-ishlah (berdamai). Setelah upaya saling memaafkan, maka tekad untuk berdamai pun menjadi sebuah keharusan. Sebab al-Quran sendiri menegaskan untuk berdamai dalam berteologi/berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah: 208). Bahkan ayat ini ditafsirkan sebagai ayat perdamaian. Sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Asyur dalam karyanya, al-Tahrir wa al-Tanwir. Ia menafsirkan kata al-silmi dalam ayat tersebut dengan pengertian al-sulh(perdamaian), dan tark al-harb(meninggalkan peperangan).

Konsep Islah (rekonsiliasi) dalam konflik merupakan salah satu ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan tentang konsep Islah tersebut, baik dalam kontek konflik level komunitas kecil seperti konflik yang terjadi dalam hubungan suami istri (Surat An-Nisa’ ayat 128), maupun dalam level komunitas besar seperti konflik yang terjadi antara dua kelompok orang mukmin yang bertika (Surat Al-Hujarat ayat 9).

Tidak hanya Al-Qur’an saja yang berbicara tentang Islah, dalam hadits Nabi Muhammad SAW terdapat beberapa hadits yang menyeru dan menerangkan tentang Islah, diantaranya adalah hadits riwayat Abu Darda’, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

ألا أخبركم بأفضل من درجة الصيام والصلاة والصدقة,  قالوا بلى يا رسول الله

قال : إصلاح ذات البين وفساد ذات البين الحالقة

” Maukah kalian saya beritahu suatu hal yang lebih utama daripada derajat puasa, sholat dan sedekah?. Para sahabat menjawab : tentu ya Rasulallah. Lalu Nabi bersabda : hal tersebut adalah  mendamaikan perselisihan, karena karakter perselisihan itu membinasakan” (HR. Abu Daud).

***