Habib-Habaib Itu Pendatang dan Imigran

Bahkan secara sosial, strata mereka lebih rendah dari kita yang lebih lama tinggal di bumi pertiwi. Karena mereka kaum pendatang dan penumpang.

Kamis, 18 Mei 2023 | 06:21 WIB
0
420
Habib-Habaib Itu Pendatang dan Imigran
Habib dan Habaib (Foto: facebook.com)

Media sosial beberapa hari ini diramaikan pernyataan seorang habib senior yang memperingatkan habib junior. Habib sepuh itu, memperingatkan habib belia yang selama ini sangar dan brutal agar berhati hati dalam bicara dan mengeluarkan pernyataan. 

Habib belia - atau yang ngotot menyebut diri habib, yang diperingati itu - dikenal punya catatan kriminal, pernah diadili, masuk bui, untuk kasus penganiayaan. 

Sebelum itu, seorang tokoh NU Banten bernama KH Imaduddin Utsman Al-Bantani mengatakan, habaib (jamak dari habib) di Indonesia sudah tidak ada. Kiai Imaduddin secara khusus menulis artikel berjudul "Terputusnya Nasab Habib di Indonesia".

Para habib datang ke Indonesia sekitar tahun 1880-an sampai sebelum kedatangan Jepang tahun 1943. Sejak kedatangannya mereka dikenal (memperkenalkan diri) sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Mereka dimuliakan di sini, namun sebagian dari mereka melunjak, songong, dan memperbudak warga kita. 

Di Indonesia gelar habib merupakan gelar kehormatan bagi laki-laki keturunan langsung Nabi Muhammad. Gelar mulia lain yang disebut adalah sayid dan syarifah (perempuan). 

Sebagian dari kaum pendatang itu menjadikan kita sebagai pesuruh dan pengikutnya. 

Selaku warga Indonesia turunan Jawa, kasta jelata, bukan priyayi, bukan santri, saya tidak ada riwayat pergaulan dengan mereka. Jadi, saya tidak menganggap mereka istimewa. 

Dan sekarang ini, saya muslim moderat yang beradaptasi dengan Indonesia hari ini - yang membuka diri pada nilai nilai dan ajaran universal, dari agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, juga warisan filofosi Yunani - Romawi, Barat, India - Tiongkok, yang mengangkat harkat manusia dan kemanusiaan, juga tidak ada urusan dengan mereka. 

Saya menjaga perilaku selayaknya orang Jawa, dengan tata krama, budi pekerti,' patrap' (attitude) saya, yang diajarkan orangtua sebagai layaknya orang Jawa yang hidup dalam budaya Jawa.  

Lahir dan besar di tanah Jawa, merantau ke Jakarta , tinggal di pinggiran ibukota dan insya allah akan mati di pulau Jawa, saya lebih merasa berhutang budi pada Tanah Jawa dan Budaya Jawa daripada negeri asing dan orang orang keturunannya - kaum imigran . 

Saya muslim yang tidak terobsesi ke tanah suci, tidak ingin naik haji dan menjadi haji. Kalau ada rezeki lebih saya ingin keliling Indonesia, mengitari Asia Tenggara, Asia dan Eropa serta Amerika dan Australia. Bukan ke wilayah yang Suci. 

Saya tidak terobsesi pada hal yang suci dan kesucian. Saya bukan orang suci dan tidak ingin disucikan juga.

Saya tidak berurusan dengan hal hal yang disebut Nabi, kecuali ajarannya, juga tidak ada urusan dengan keluarga Nabi dan keturunannya.

Terkait dengan kehebohan isu habib - saya cenderung tidak peduli. Masa kecil dan remaja saya tidak dekat dengan lingkungan Habib, tidak ada perlintasan wawasan keilmuan dan pergaulan sosial dengan mereka. 

Tak ada memori mengesankan tentang mereka di masa pertumbuhan saya. Tidak pernah mendapat manfaat dari kehabiban mereka.

Hanya belakangan saja saya berkenalan dengan dua habib dan mereka menjadi sahabat juga, sebagaimana sahabat saya yang Hindu, Budha, Konfisius, pengusaha dan dokter yang menjadi sobat dan relasi karib saya.

Saya menghargai orang lain - bukan dari keturunan dan darahnya, atau gelar yang disandangnya. No matter who you are; habib, syech, ustadz, ningrat, gus, ning, pastor, pendeta, banthe, biksu, pedanda, keluarga kraton - S1, S2, sudah meraih gelar doktor, pengusaha sukses - whatever - I treat you as human. 

Respon saya pada mereka bergantung pada sikap mereka kepada saya.  

Kalau mereka santun, saya lebih santun. Kalau sangar ya, saya pilih menjauhlah.

Saya menjadi peduli pada kehebohan isu habib - karena nampak ada pembodohan massal. Saudara saudara saya yang Jawa Sawo Matang, pesek, legam, seperti saya semakin banyak yang diperbudak mereka.   

Mereka yang membanggakan gelar dan status habib serta membanggakan darah kehabibannya - sebenarnya justru menjelaskan status mereka sebagai kaum pendatang, warga yang masih numpang di negeri kita. Bukan warga asli Indonesia, bukan orang pribumi. 

Sudah diketahui awam, para keluarga yang disebut habib - dan keturunan Arab pada umumnya - menjaga kemurnian darah habibnya dengan menikah dengan sesamanya. Tidak melebur (asimilasi), tidak membumi. Sebaliknya, merasa lebih mulia, lebih terhormat, angkat dagu kepada rakyat kita sebagai pemiik syah republik ini. 

Aneh juga - kalau ada warga numpang tinggal dan pendatang terus nyombong, 'kan? 

Lagipula itu 'kan kesombongan spiritual dengan gelar habibnya itu justru bertentangan dengan inti agama Islam juga, yang diajarkan leluhur mereka, Nabi Muhammad SAW - yang tidak mengistimewakan darah tertentu dan keturunan tertentu. Islam 'kan egaliter, semua sama rata. 

Di mata Gusti Allah semua makhluk sama derajatnya, kecuali takwanya. 

Terus apa yang disombongkan dengan darah Habib dan kehabibannya?

Pemuliaan kepada habib adalah pembodohan yang lama dirawat, oleh orang kita sendiri, yang menganggap habib dekat dengan nabi dan dekat dengan surga. 

Nonsens. Irrasional. Absurd.

Kok Tuhan diskriminatif, memuliakan satu golongan dan merendahkan golongan lain? 

Kok hanya yang dekat orang Arab, turunan Nabi, yang berjenggot dan celana cingkrang, krububan, jilbaban, yang disayang Tuhan? Sedangkan kita yang jauh harus mendekati keturunannya, bukan langsung ke yang menciptakan mereka, tidak dianggap? 

Kok Islam menciptakan wakil tuhan di dunia? 

Pembodohan itu dirawat, dan ada banyak orang kita yang tak sadar dibodohi atau pasrah dibodohi. Berpuluh puluh tahun. 

Namun kini kehabiban mengalami degradasi - deflasi - sembarang orang bisa mengaku habib. Pemberian gelar habib dengan mudah disematkan kepada siapa saja yang berwajah Arab dan memakai surban, dengan akhlak dan perilaku yang bertentangan dengan yang diajarkan Nabi. 

Saya megajak kita semua untuk kritis. Rasional. Logis, pakai nalar. Khususnya umat Islam. Bahkan putri nabi tak terbebas dari hukum Islam - dipotong tangannya jika mencuri. Nabi Muhammad sendiri yang menyampaikanya. Semua muslim tahu. 

Bagaimana ada yang ngaku keturunan Nabi ke 40, ke 44 dan lainnya merasa diri kebal hukum dan minta dimuliakan?

Yang bodoh bukan habibnya, melainkan orang orang kita lah - dan kaki tangan mereka ini - kaum Arab pesek - yang mengajarkan untuk memuliakan mereka. 

Padahal mereka sama seperti kita.

Bahkan secara sosial, strata mereka lebih rendah dari kita yang lebih lama tinggal di bumi pertiwi. Karena mereka kaum pendatang dan penumpang. 

Sesungguhnya mereka itu warga pendatang alias imigran! 

Mereka dan keturunannya tidak layak mengatur hidup kita. 

Apalagi memimpin kita, pemilik sah republik ini!

***