Humorologi Menurut Kelirumologi

Ngritik presiden seenak perut hanya karena pingin jadi presiden, adalah humor paling mengundang tawa, meski sebenarnya tidak lucu.

Jumat, 20 Mei 2022 | 07:43 WIB
0
156
Humorologi Menurut Kelirumologi
Jaya Suprana (Foto: liputan6.com)

Pada suatu ketika, Jayasuprana, yang konon pakar kelirumolog, menulis bahwa; Adalah negara paling sengsara kalo negara itu membutuhkan humor. Saya baru nyadar, dari tulisan ini dia memang pakar kelirumologi. Saya kira tesis dia keliru, meski saya tak ingin membenarkannya, apalagi menyalahkannya.

Jika humor hadir atau dibutuhkan sebagai penanda negara dalam situasi paling sengsara, yang artinya humor tak dibutuhkan dalam situasi negara aman-sejahtera, celakalah humor. Karena humor hanya dilihat secara fungsional, azas manfaat, sebagai penghiburan.

Senyata, di beberapa negara maju, masyarakatnya beradab dan sejahtera, humor tetap tumbuh. Apakah tetap tumbuh berarti dibutuhkan? Humor jika demikian lebih celaka lagi. Hanya bagian dari komoditi belaka.

Di beberapa negara yang masyarakatnya sejahtera, termasuk negara-negara yang dalam sebuah survey dinyatakan sebagai negara paling “islami” (padal majoritas penduduknya bukan beragama Islam, dan bahkan pemerintahannya sekuler sak sesekuler-kulernya), yang dinamakan komedian, pelawak, atau yang sejenis itu, tetap tersedia dan selalu muncul new-comer.

Karena humor dengan melihat tulisan-tulisan hasil pemikiran serius, mengkategorikan selera humor, kemampuan berhumor, aktivitas humor, adalah bagian penting dari aktivitas intelektual manusia. Binatang, atau tanaman, mungkin saja juga punya rasa humor, punya kemampuan humor. Hanya manusia awam saja tak mengerti bahasa mereka.

Padal selera humor mereka kadang tak keruan tingginya. Misal buah durian, berani tampil kayak gitu tapi rasanya tidak seperti kulitnya. Keculi kita sedang memangsa kulitnya. Buah manggis, juga punya selera humor bagus sehingga jadi bahan tebak-tebakan. Namanya tebak-tebak buah manggis, padal kita sedang nebak nasib capres yang beruntung dan sial.

Saya lebih sreg dengan pemahaman bahwa celakalah sebuah negara jika masyarakatnya tidak mempunyai selera humor. Misal sebuah negara di mana masyarakatnya dikit-dikit nglaporin ke Komnas HAM soal pelanggaran hak azasi, padal tidak azasi. Yang azasi malah didiemin, hanya karena bukan kolega atau satu keyakinan. Dikit-dikit nglaporin pencemaran nama baik, padal namanya jelek mulu.

Di medsos, banyak terbukti selera dan daya humor kita menurun, senyampang dengan menurunnya daya saing SDM-nya. Tak bisa menikmati gaya humor, merasa semua hal harus dibuat formal-religius-serius, padal bokis. Kalau kebanyakan ketawa, kata Gus Baha’ itu menyenangkan dan mengundang lebih banyak setan. Untung Gus Baha itu lucu, sehingga dengan lelucon itu ia bisa serius menyampakaikan dalil-dalil.

Dengan tanpa selera humor, netijen +62 bisa seenak perut menghina-dina liyan, hanya karena tak bisa mengapresiasi humor, tak tak mau kalah bikin humor yang tidak lucu. Memaki-maki liyan dengan lucu hanya karena beda agama dan selera. Seolah dirinya paling bener dan pinter.

Ngritik presiden seenak perut hanya karena pingin jadi presiden, adalah humor paling mengundang tawa, meski sebenarnya tidak lucu. Kalau ada yang disebut budayawan mengatakan Jokowi tidak pantas jadi presiden, jelas dia sejenis Rizal Ramli, jika bukan Rizal Ramli itu sendiri. Tapi beranikah Rizal Ramli sendiri, mengingat dia beraninya bawa-bawa isu islamophobia.

Kalau Indonesia, menurut Jayasuprana, sebaiknya tidak butuh humor, mungkin saja dia sedang melucu. Perkara tidak lucu, itu soal daya dan selera humor kita. Karena memang banyak yang meyakini humor hanya perkara lucu-lucuan saja, dan tidak serius. Maka yang muncul adalah pelawak yang lawakannya gitu-gitu doang. Apalagi nyatanya, yang dulunya bangga menyebtu bedanya komedian stand-up yang berjuluk komika, ketika tampil rutin di TV, nyatanya sama tak lucunya dengan pelawak.

Kalau kita terus bisa dibikin ketawa oleh Cak Lontong, atau Ki Seno Nugroho, meski dengan materi diulang-ulang, bisa jadi justeru karena kita negara paling sengsara. Lha wong ahli humornya mungkin sudah capek keliru mulu. Apalagi dengan beredarnya foto yang tak lucu di medsos beberapa hari lalu, yang hanya memperlihatkan sebagian paha perempuan.

Tumbuhkanlah selera humormu, untuk jaga-jaga menghadapi pelemahan imunitas nasional. Don’t follow the leader! Apalagi leader jejadian. Karena menjadi insan reaksioner, juga gampang baperan, lebih mudah. Apalagi bagi kelompok pemberang, yang selalu menganggap dia manusia terpandai dan terhebat. Padal mereka sedang melucu, walau tidak lucu, serius!

Sunardian Wirodono