Keributan dan persoalan di lapangan bisa menjadi pelajaran dan pengalaman untuk menyempurnaakan tindakan dan kebijakan yang lebih baik untuk keselamatan seluruh masyarakat Indonesia.
Bak lakon aktor protagonis dan antagonis dalam sebuah film yang menguras emosi penonton, Pemberlakuan Pembatasan Pergerakan Masyarakat (PPKM) Darurat di beberapa wilayah di indonesia, telah menyajikan scene konflik antara petugas dengan masyarakat.
Misalnya, saat petugas PPKM Darurat menyetop dan mengamankan anggota Paspampres di Daan Mogot, Jakarta Barat, sehingga menimbulkan sikap reaktif dari rekan-rekan anggota Paspampres tersebut, yang sempat mendatangi Polres Jakarta barat
Kemudian peristiwa ketika petugas PPKM Darurat diserang warga di Kecamatan Kenjeran, Surabaya saat melakukan patroli protokol kesehatan Covid-19. Bentrokan berlangsung saat petugas menutup warung yang melanggar ketentuan jam operasional. Warga yang menolak penutupan itu tiba-tiba menyerang petugas. Dalam kejadian itu sejumlah petugas terluka dan sebagian kendaraan mengalami kerusakan.
Adapula tontonan perlawanan seorang pemilik kedai kopi di Medan yang menolak ditutup, terjadi adu mulut dengan petugas. Belum lagi kekerasan yang dilakukan oknum petugas Satpol PP Gowa terhadap pasangan suami pemilik cafe di Gowa Sulsel menambah panjang drama konflik yang terjadi. Yang paling terkini, ada seorang pria yang mengaku matanya ditusuk petugas ketika terjadi penyekatan di Padang, Sumatera Barat.
Apa benar gesekan yang terjadi tersebut karena ketidaksiapan petugas dan masyarakat dalam memahami penerapan kebijakan PPKM di lapangan?
Kita juga harus jujur dan objektif jikalau masyarakat sendirilah yang sering kali memicu konflik terjadi. Tidak mau tau dengan aturan, sengaja melawan petugas atau menolak mengikuti aturan, sehingga membuat tingkat emosi petugas tak terkendali dan terpancing meladeni emosi masyarakat.
Tapi bagaimanapun sikap dan perilaku masyarakat kepada petugas, tindakan kekerasan psikis maupun pisik dari petugas tidaklah dibenarkan.
Kunci penegakan aturan itu tetap berada pundak di petugas sebagai representasi pemerintah di lapangan. Apapun bentuk pelanggaran dan perlawanan yang dilakukan masyarakat, semuanya harus diselesaikan sesuai aturan hukum, bukan membuat persoalan hukum lainnya. Dibutuhkan kesiapan petugas di lapangan baik mental dan emosional maupun pehamaman aturan itu sendiri.
Seperti dikatakan Komandan Paspampres Mayjen Agus Subianto ketika menanggapi persoalan anggota Paspampres yang disetop petugas PPKM Darurat. Ia menyebut petugas tak paham aturan.
Meski pernyataan itu tidak untuk semua peristiwa konflik yang terjadi, paling tidak bisa menjadi koreksi bagi semua petugas di lapangan. Agar bisa lebih memahami aturan dan mengerti bagaimana cara menegakkan aturan yang baik.
Kita sadari beban petugas yang bekerja di lapangan memang cukup berat. Apalagi kerja di tengah pendemi tanpa pengalaman dan tanpa referensi yang pasti. Situasi sering kali tak terkendali dan tak bisa diprediksi. Maka itu, dibutuhkan kesabaran yang super tinggi.
Ada dilema yang dihadapi petugas di tengah bencana wabah ini. Disaat harus menjaga dan melindungi keluarga di rumah, diwaktu itu pula mereka meninggalkan keluarga, menjalankan kewajiban sebagai petugas PPKM.
Tapi apapun dilema yang dihadapi, sebagai aparatur pemerintah, tugas negara harus selalu prioritas dan tidak bisa dinomorduakan. Itu sudah menjadi komitmen dan sumpah janji. Pergualatan emosi pribadi, keluarga bahkan agama harus bisa dilepaskan.
Memang bukan perkara mudah menghadapi pandemi yang menghadirkan kebimbangan dan ketidak pastian. Saat demi saat, waktu demi waktu begitu meng-galau-kan.
Di satu sisi, kita bertaruh melindungi masyarakat, disisi lain ada kelompok masyarakat yang bertaruh hanya demi memenuhi kebutuhan kehidupan pribadinya. Persoalan isi perut dan isi kantong terlalu dibesar-besarkan.
Belum lagi sosisalisasi dan distribusi informasi tentang pandemi, protokol kesehatan dan PPKM tidak berjalan maksimal.
Banjirnya media sosial dengan informasi bohong dan pengabaian terhadap aturan pemerintah mempengaruhi situasi kejiwaan masyarakat, muncul ketidakpercayaan, kegelisahan bahkan provokasi dan perlawanan. Jadilah petugas dan masyarakat seperti gladiator yang harus bertarung menyelesaikan persoalan di Colosseum.
Namanya juga pembatasan, sesuatu yang secara naluriah ditolak oleh siapapun. Pada hakikatnya, setiap orang ingin bebas. Apalagi jika pembatasan itu tiba-tiba berkaitan dengan mata pencaharian dan kegiatan yang rutin kita lakukan. Pasti akan terasa sulit diterima.
Tapi apapun situasinya, petugas tidak boleh lemah, apalagi menyerah. Sosialisasi dan tindakan tegas harus terus dilakukan dan ditingkatkan. Tidak boleh ada kekerasan dan kemarahan dalam kondisi apapun. Petugas tidak boleh mencari-cari kesalahan masyarakat, tujuannya hanya menegakkan aturan. Sanksi hukum bukanlah tujuan, itu hanya konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan.
Bukankah sebelum pademipun sikap ngeyel dan bandel dari masyarakat saban hari dihadapi petugas. Ribuan pelanggaran hukumpun terjadi terjadi setiap hari. Ribuan aturan disosialisasi. Jadi persoalan dimana? Jujur saja, kita masyarakat kadang hanya membesarkan besarkan persoalan keributan yang terjadi, mencari-cari kesalahan petugas tapi lupa akan keberhasilan aparat menjaga masyarakat dan situasi negeri ini tetap terkendali.
Yakinlah ratusan juta masyarakat selalu mendukung pemerintah dan kerja-kerja para aparatnya di lapangan untuk mengatasi Pandemi ini. Keributan dan persoalan di lapangan bisa menjadi pelajaran dan pengalaman untuk menyempurnaakan tindakan dan kebijakan yang lebih baik untuk keselamatan seluruh masyarakat Indonesia.
Tommy Manggus
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews