Pelajaran Konflik PPKM di Lapangan

Keributan dan persoalan di lapangan bisa menjadi pelajaran dan pengalaman untuk menyempurnaakan tindakan dan kebijakan yang lebih baik untuk keselamatan seluruh masyarakat Indonesia.

Senin, 19 Juli 2021 | 11:13 WIB
0
202
Pelajaran Konflik PPKM di Lapangan
Pelajaran dari Konflik PPKM

Bak lakon aktor protagonis dan antagonis dalam sebuah film yang menguras emosi penonton, Pemberlakuan Pembatasan Pergerakan Masyarakat (PPKM) Darurat di beberapa wilayah di indonesia, telah menyajikan   scene konflik antara petugas dengan masyarakat. 

Misalnya, saat petugas PPKM Darurat menyetop dan mengamankan  anggota Paspampres di Daan Mogot, Jakarta Barat, sehingga menimbulkan sikap reaktif dari rekan-rekan anggota Paspampres tersebut, yang sempat mendatangi Polres Jakarta barat 

Kemudian peristiwa ketika petugas PPKM Darurat diserang warga di Kecamatan Kenjeran, Surabaya saat melakukan patroli protokol kesehatan Covid-19. Bentrokan berlangsung saat petugas menutup warung yang melanggar ketentuan jam operasional. Warga yang menolak penutupan itu tiba-tiba menyerang petugas. Dalam kejadian itu sejumlah petugas terluka dan sebagian kendaraan  mengalami  kerusakan. 

Adapula tontonan perlawanan seorang pemilik kedai kopi di Medan yang menolak ditutup, terjadi adu mulut dengan  petugas. Belum lagi kekerasan yang dilakukan oknum petugas  Satpol PP Gowa terhadap pasangan suami pemilik cafe di Gowa Sulsel menambah panjang drama konflik yang terjadi. Yang paling terkini, ada seorang pria yang mengaku matanya ditusuk petugas ketika terjadi penyekatan di Padang, Sumatera Barat.

Apa benar  gesekan  yang terjadi tersebut karena  ketidaksiapan petugas dan masyarakat  dalam memahami penerapan kebijakan PPKM di lapangan?

Kita juga harus jujur dan objektif jikalau masyarakat sendirilah yang sering kali memicu konflik terjadi. Tidak mau tau dengan aturan, sengaja melawan petugas atau  menolak mengikuti aturan, sehingga membuat tingkat emosi petugas tak terkendali dan terpancing meladeni  emosi masyarakat.

Tapi bagaimanapun sikap dan perilaku masyarakat kepada petugas, tindakan kekerasan psikis maupun pisik dari petugas tidaklah dibenarkan.

Kunci penegakan aturan itu tetap berada pundak di petugas sebagai representasi pemerintah di lapangan.  Apapun bentuk pelanggaran dan perlawanan yang dilakukan masyarakat, semuanya harus diselesaikan sesuai aturan hukum, bukan membuat persoalan hukum lainnya. Dibutuhkan kesiapan petugas di lapangan baik mental dan emosional maupun pehamaman aturan itu sendiri.

Seperti dikatakan Komandan Paspampres Mayjen Agus Subianto ketika menanggapi  persoalan   anggota Paspampres yang disetop petugas PPKM Darurat. Ia  menyebut petugas   tak paham aturan.

Meski pernyataan itu tidak untuk semua peristiwa konflik yang terjadi, paling tidak bisa menjadi koreksi bagi semua petugas di lapangan. Agar bisa lebih memahami aturan dan mengerti  bagaimana cara menegakkan aturan yang baik.

Kita sadari beban  petugas  yang bekerja di lapangan memang cukup berat. Apalagi kerja di tengah pendemi tanpa pengalaman dan tanpa referensi yang pasti. Situasi sering kali  tak terkendali dan tak bisa diprediksi. Maka itu, dibutuhkan kesabaran yang super tinggi.

Ada dilema yang dihadapi petugas di tengah bencana wabah ini. Disaat harus menjaga dan melindungi  keluarga di rumah, diwaktu  itu pula mereka  meninggalkan  keluarga, menjalankan kewajiban sebagai petugas  PPKM.

Tapi apapun dilema yang dihadapi, sebagai aparatur pemerintah, tugas negara harus selalu prioritas dan tidak bisa dinomorduakan. Itu sudah  menjadi komitmen dan sumpah janji.  Pergualatan  emosi pribadi, keluarga bahkan agama  harus bisa dilepaskan.

Memang bukan perkara mudah menghadapi pandemi yang menghadirkan kebimbangan dan ketidak pastian. Saat demi saat, waktu demi waktu  begitu meng-galau-kan.

Di satu sisi, kita bertaruh melindungi masyarakat, disisi lain ada kelompok masyarakat yang bertaruh hanya  demi memenuhi kebutuhan kehidupan pribadinya. Persoalan isi perut dan isi kantong terlalu dibesar-besarkan.

Belum lagi  sosisalisasi dan distribusi informasi tentang pandemi,  protokol kesehatan dan PPKM   tidak berjalan maksimal.

Banjirnya media sosial dengan informasi bohong dan pengabaian terhadap aturan pemerintah mempengaruhi situasi kejiwaan masyarakat, muncul ketidakpercayaan, kegelisahan bahkan provokasi dan perlawanan. Jadilah petugas dan masyarakat seperti gladiator yang harus bertarung menyelesaikan persoalan di Colosseum

Namanya juga pembatasan, sesuatu yang secara naluriah ditolak oleh siapapun.  Pada hakikatnya, setiap orang ingin bebas. Apalagi jika pembatasan itu tiba-tiba berkaitan dengan  mata pencaharian dan kegiatan yang rutin kita lakukan. Pasti akan terasa sulit diterima.

Tapi apapun situasinya, petugas tidak boleh lemah, apalagi menyerah. Sosialisasi dan tindakan tegas harus terus dilakukan dan ditingkatkan. Tidak boleh ada  kekerasan dan kemarahan dalam kondisi apapun. Petugas tidak boleh mencari-cari kesalahan masyarakat, tujuannya hanya menegakkan aturan. Sanksi hukum bukanlah tujuan, itu  hanya konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan.

Bukankah sebelum pademipun  sikap ngeyel dan bandel dari masyarakat saban hari dihadapi petugas. Ribuan pelanggaran hukumpun  terjadi terjadi setiap hari.  Ribuan aturan  disosialisasi. Jadi persoalan dimana? Jujur saja, kita masyarakat kadang  hanya membesarkan besarkan persoalan keributan yang terjadi, mencari-cari  kesalahan petugas tapi lupa akan  keberhasilan aparat menjaga masyarakat dan situasi negeri ini tetap terkendali.

Yakinlah ratusan juta masyarakat selalu mendukung pemerintah dan kerja-kerja para aparatnya di lapangan untuk mengatasi Pandemi ini. Keributan dan persoalan di lapangan bisa menjadi pelajaran dan pengalaman untuk menyempurnaakan tindakan dan kebijakan yang lebih baik untuk keselamatan seluruh masyarakat Indonesia.

Tommy Manggus

***