Nabi Palsu Kehilangan "Common Sense"

Kolam teknologi telah mengalienasi atau mengasingkan setiap orang dari dirinya sendiri, sesamanya, alamnya dan lingkungan di mana ia berdomisili. Jika saya berkaca dari sudut pandang Karl Marx.

Rabu, 2 Juni 2021 | 04:28 WIB
3
220
Nabi Palsu Kehilangan "Common Sense"
Nabi palsu kehilangan commonse sense di tengah kehidupan. pexels.com

Krisis terbesar zaman digital adalah kehilangan akal sehat (Common Sense) yang melanda setiap orang. Termasuk mereka yang mengangungkan bidang Teologi.

Penyebab dari krisis identitas adalah kehilangan kepercayaan di ruang publik. Akibatnya banyak jalan yang harus dilalui oleh nabi-nabi palsu untuk menarik kembali massa yang sudah mulai meninggalkan mereka.

Faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakpercayaan massa terhadap nabi palsu?

Pertama; Cara hidup seorang nabi sudah melenceng dari ardas (arah dasar) iman Teologi itu sendiri.

Kedua; Tidak ada kebenaran di luar dirinya

• Penyebab pertama berkaitan erat dengan tupoksi (tugas dan fungsi pokok) seorang nabi itu adalah melayani. Bukan mengurusi kamar politik. Memang filsuf Plato pernah mengajarkan kepada kita bahwa kita semua berhak untuk mengganggu pemimpin di dalam ruang publik.

Tujuan kita ikut ambil bagian dalam urusan politik itu harus sesuai dengan waktunya. Karena segala sesuatu yang ada di bumi ini ada waktunya. Di mana ada waktu kita dilahirkan, dan berakhir pada kematian. Di antara kelahiran dan kematian ada pilihan.

Seorang nabi bertugas untuk merangkul semua orang, tanpa memandang latar belakang apa pun. Anehnya, di negara kita, mimbar dijadikan sebagai ajang propaganda urusan duniawi.

Nilai-nilai dasar Teologi itu berkaitan dengan cinta universal. Universal berarti setiap orang berhak diperlakukan sama dalam bidang apa pun. Bukan sebaliknya seorang nabi berperan sebagai provokator dalam menggalang dukungan hanya untuk memuaskan dahaganya.


Penyebab kedua berkaitan erat dengan pengetahuan tentang diri sendiri. Mengetahui diri berarti mengetahui kelebihan dan kekurangan orang lain.

Nabi-nabi di republik ini kebanyakan hidup dalam dunia gua. Mereka mengira di luar gua tidak ada kebaikan.

Fanatik untuk sesuatu yang tak pernah kelihatan adalah kesalahan terbesar di era digital. Sementara, yang kelihatan tak dirangkul, disayangi dan diperlakukan sebagai seorang manusia yang utuh. Aneh tapi nyata dalam keseharian kita.

Di manakah letak common sense nabi-nabi palsu zaman digital?

Entahlah, saya pun tidak tahu letaknya. Rasanya absurd, ketika seorang nabi mencari sesuatu yang tak pernah kelihatan. Jika filsuf eksistensialisme Alber Camus masih hidup, ia akan menamakan nabi-nabi palsu sebagai orang yang termasuk bunuh diri filosofikal. Artinya, separuh hidup mereka dihabiskan untuk mencari sesuatu yang tidak pernah kelihatan.

Teologi itu adalah urusan privat setiap orang dengan Sang Pencipta. Justru yang perlu kita hidupi adalah nilai-nilai Teologi itu sendiri.

Teologi itu bukan melulu bicara tentang Sang pencipta. Namun lebih daripada itu adalah etika dan norma untuk menjalani kehidupan bersama di tengah budaya dan kepercayaan lain.

Apa boleh buat, jika aktor-aktor Teologi menodai hakekat Teologi itu sendiri! Inilah kehilangan common sense nabi palsu di tengah kolam teknologi.

Kolam teknologi telah mengalienasi atau mengasingkan setiap orang dari dirinya sendiri, sesamanya, alamnya dan lingkungan di mana ia berdomisili. Jika saya berkaca dari sudut pandang Karl Marx.

Kemarin kita merayakan Hari Pancasila. Pertanyaan reflektif untuk kita semua, apa itu Pancasila?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu setiap orang memiliki pendapatnya tersendiri. Yang terpenting kita melestarikan nilai-nilai luhur dari para Founder Fathers bangsa tercinta yang sangat toleran dalam memperjuangkan kesetaraan, keadilan, kebebasan berpendapat, beribadah sesuai iman kepercayaannya dengan bebas dan bertanggung jawab.

Jangan sampai hanya karena ambisi dan kehilangan akal sehat (Common Sense) nabi palsu di republik ini, memicu konflik berdarah seperti di Timur Tengah. Untuk itu, setiap orang harus berpegang teguh pada semangat Bhineka Tunggal Ika.

Timor, 2/6/2021

Frederikus Suni, Generasi perbatasan RI-Timor Leste