Jika kita pakai kacamata Asyari Usman, betapa celaka ilmu pengetahuan, juga para lulusannya. Karena doktor dalam ilmu bedah hewan, tentulah tidak kemudian kita golongkan sebagai hewan.
Upaya pemutihan (menghapus dosa) PKI, sedang dilakukan oleh Dirjenbud, Hilmar Farid. Demikian kesimpulan Asyari Usman, seorang yang mengaku wartawan senior, menanggapi kasus kesalahan Kamus Sejarah Indonesia.
Yang dianggap kesalahan tersebut, karena KH Hasyim Asyari, pendiri NU dan Pahlawan Nasional, tidak masuk dalam buku yang diinisiasi Kemendikbud. Padal buku itu disebutkan sebagai kamus. Kamus sejarah pula, dua hal (kamus dan sejarah), yang tentu musti memenuhi standar yang tak sederhana, juga bagaimana tata-laksananya.
Hilmar Farid (Dirjenbud), juga Nadiem Makariem (Mendikbud), sudah klarifikasi. Jika dilihat urutan waktu dan logika, apa yang terjadi adalah keteledoran. Khas mekanisme birokrasi, yang selalu abai dalam SOP dan kinerjanya. Di tingkat nasional maupun lokal, sama saja.
(Saya juga mengalami hal itu, dengan Disbud DIY, dalam kaitan penyetakan buku yang konon dalam proposal disebut untuk memuliakan kebudayaan. Tapi kinerja mereka, sama sekali tak bertanggung-jawab. Kesalahan sebelumnya, yang kemudian katanya dikoreksi, sampai hari ini (sudah lebih 3 bulan, dan konon sudah selesai, tapi) saya tidak diberi-tahu dan diberi bukti sesuai hak yang diaturnya (lomba penulisan Novel Berbahasa Jawa 2020). Inikah cara penyelesaian ‘gaya Ngayoja’ yang dimaksud? Saya tidak tahu, ini selipan curhat).
Balik ke persoalan pokok. Tudingan Asyari Usman sangat serius, jika tak boleh dibilang tendensius. Tampak dengan sengaja hendak membenturkan sentimen politik majoritas (apalagi NU) dengan isu PKI. Jika disinggung soal disertai doktoral HF tentang PKI, tidak kemudian dengan sendirinya HF adalah penganut komunisme. Karena yang dilakukan HF dalam ranah akademik. Sebagaimana kita tahu HF adalah akademisi dengan bidang kajian sejarah.
KSI digagas sejak jaman Muhadjir Effendy (2017), meski yang bersangkuan sudah cuci tangan. Hal itu, katanya, ranah Dirjen (Direktorat Sejarah).
Sebenarnya masih dalam tahap draft, belum final. Kesalahannya, soft-copy atau file draft tersebut, diunggah di laman website Kemendikbud untuk memenuhi tuntutan laman Ruang Belajar yang belum memiliki materi baku. Proses kerja tumpang tindih seperti itu, persoalan klasik birokrasi pemerintahan kita. Blunder atau kesalahan yang bodoh semacam itu, acap terjadi. Biasanya hanya mengorbankan staf di bawah sebagai penanggungjawab.
Meski penyusunan di jamannya, Muhadjir Effendy mengatakan itu urusan Dirjen. Senyampang itu, Muhadjir yang kini menjadi Menko PMK bisa mengatakan, bahwa yang dia gagas langsung, ialah penulisan buku biografi KH Hasyim Asyari berbarengan dengan pembangunan museum KH Hasyim Asyari. Ehm. Bukannya melindungi bawahan (waktu itu), malah pamer.
Di situ, para birokrat di jaman Jokowi, yang banyak berangkat dari ‘dunia luar’ birokrasi, mesti hati-hati. Jika tidak, maka manusia macam Fadli Zon, sebagaimana sudah dilakukan, mencoba-coba mengulik masa-lalu atau latar belakang HF, sebagai bagian orkestrasi untuk ‘penghitaman’ (lawan dari pemutihan) target-target bersama, yang hendak dilenyapkan. Padal, FZ dan HF satu almamater. Tetapi ghirah akademisi yang mestinya bersemboyan Veritas Et Scientia Nobis Lumen, bisa hilang karena kepentingan politik yang berbeda.
Jika kita pakai kacamata Asyari Usman, betapa celaka ilmu pengetahuan, juga para lulusannya. Karena doktor dalam ilmu bedah hewan, tentulah tidak kemudian kita golongkan sebagai hewan. Lagi pula, maukah anda mengelompokkan Dr. Snouck Hurgronje sebagai seorang Islam?
Kebenaran dan Ilmu Pengetahuan, cahaya hidup kita. Namun sinarnya ‘kan meredup, begitu kau bungkus dengan pamrih dan kepentinganmu sendiri. Apalagi kemudian mempertentangkan akal dengan agama. Dan kalau sudah ngomong agama, maka kamulah yang paling benar, sedang yang lain kau bilang onde-onde.
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews