Hilmar Farid dan Pemutihan PKI

Jika kita pakai kacamata Asyari Usman, betapa celaka ilmu pengetahuan, juga para lulusannya. Karena doktor dalam ilmu bedah hewan, tentulah tidak kemudian kita golongkan sebagai hewan.

Kamis, 29 April 2021 | 09:07 WIB
0
181
Hilmar Farid dan Pemutihan PKI
Ilustrasi kekerasaan politik (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Upaya pemutihan (menghapus dosa) PKI, sedang dilakukan oleh Dirjenbud, Hilmar Farid. Demikian kesimpulan Asyari Usman, seorang yang mengaku wartawan senior, menanggapi kasus kesalahan Kamus Sejarah Indonesia.

Yang dianggap kesalahan tersebut, karena KH Hasyim Asyari, pendiri NU dan Pahlawan Nasional, tidak masuk dalam buku yang diinisiasi Kemendikbud. Padal buku itu disebutkan sebagai kamus. Kamus sejarah pula, dua hal (kamus dan sejarah), yang tentu musti memenuhi standar yang tak sederhana, juga bagaimana tata-laksananya.

Hilmar Farid (Dirjenbud), juga Nadiem Makariem (Mendikbud), sudah klarifikasi. Jika dilihat urutan waktu dan logika, apa yang terjadi adalah keteledoran. Khas mekanisme birokrasi, yang selalu abai dalam SOP dan kinerjanya. Di tingkat nasional maupun lokal, sama saja.

(Saya juga mengalami hal itu, dengan Disbud DIY, dalam kaitan penyetakan buku yang konon dalam proposal disebut untuk memuliakan kebudayaan. Tapi kinerja mereka, sama sekali tak bertanggung-jawab. Kesalahan sebelumnya, yang kemudian katanya dikoreksi, sampai hari ini (sudah lebih 3 bulan, dan konon sudah selesai, tapi) saya tidak diberi-tahu dan diberi bukti sesuai hak yang diaturnya (lomba penulisan Novel Berbahasa Jawa 2020). Inikah cara penyelesaian ‘gaya Ngayoja’ yang dimaksud? Saya tidak tahu, ini selipan curhat).

Balik ke persoalan pokok. Tudingan Asyari Usman sangat serius, jika tak boleh dibilang tendensius. Tampak dengan sengaja hendak membenturkan sentimen politik majoritas (apalagi NU) dengan isu PKI. Jika disinggung soal disertai doktoral HF tentang PKI, tidak kemudian dengan sendirinya HF adalah penganut komunisme. Karena yang dilakukan HF dalam ranah akademik. Sebagaimana kita tahu HF adalah akademisi dengan bidang kajian sejarah.

KSI digagas sejak jaman Muhadjir Effendy (2017), meski yang bersangkuan sudah cuci tangan. Hal itu, katanya, ranah Dirjen (Direktorat Sejarah).

Sebenarnya masih dalam tahap draft, belum final. Kesalahannya, soft-copy atau file draft tersebut, diunggah di laman website Kemendikbud untuk memenuhi tuntutan laman Ruang Belajar yang belum memiliki materi baku. Proses kerja tumpang tindih seperti itu, persoalan klasik birokrasi pemerintahan kita. Blunder atau kesalahan yang bodoh semacam itu, acap terjadi. Biasanya hanya mengorbankan staf di bawah sebagai penanggungjawab.

Meski penyusunan di jamannya, Muhadjir Effendy mengatakan itu urusan Dirjen. Senyampang itu, Muhadjir yang kini menjadi Menko PMK bisa mengatakan, bahwa yang dia gagas langsung, ialah penulisan buku biografi KH Hasyim Asyari berbarengan dengan pembangunan museum KH Hasyim Asyari. Ehm. Bukannya melindungi bawahan (waktu itu), malah pamer.

Di situ, para birokrat di jaman Jokowi, yang banyak berangkat dari ‘dunia luar’ birokrasi, mesti hati-hati. Jika tidak, maka manusia macam Fadli Zon, sebagaimana sudah dilakukan, mencoba-coba mengulik masa-lalu atau latar belakang HF, sebagai bagian orkestrasi untuk ‘penghitaman’ (lawan dari pemutihan) target-target bersama, yang hendak dilenyapkan. Padal, FZ dan HF satu almamater. Tetapi ghirah akademisi yang mestinya bersemboyan Veritas Et Scientia Nobis Lumen, bisa hilang karena kepentingan politik yang berbeda.

Jika kita pakai kacamata Asyari Usman, betapa celaka ilmu pengetahuan, juga para lulusannya. Karena doktor dalam ilmu bedah hewan, tentulah tidak kemudian kita golongkan sebagai hewan. Lagi pula, maukah anda mengelompokkan Dr. Snouck Hurgronje sebagai seorang Islam?

Kebenaran dan Ilmu Pengetahuan, cahaya hidup kita. Namun sinarnya ‘kan meredup, begitu kau bungkus dengan pamrih dan kepentinganmu sendiri. Apalagi kemudian mempertentangkan akal dengan agama. Dan kalau sudah ngomong agama, maka kamulah yang paling benar, sedang yang lain kau bilang onde-onde.

@sunardianwirodono

***