Saya Belajar dari Aska

Dari Aska saya banyak belajar. Seharusnya anak-anak seperti Aska lebih diakui eksistensinya di masyarakat tanpa diskriminasi.

Rabu, 3 Maret 2021 | 05:50 WIB
0
203
Saya Belajar dari Aska
Zoomobar bersama Aska (Foto: Dok. pribadi)

Ketika pertama kali diminta oleh Bu Dokter Sawitri Retno untuk jadi narasumber diskusi tentang perlakuan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di Norwegia, terus terang saya jiper duluan. Pertama, saya nggak punya sedikitpun pengalaman pribadi merawat dan membesarkan ABK. Saya hanya pernah bekerja sebagai guru TK di Haugesund, yang salah satu tugasnya adalah menemani beberapa anak Down's Syndrome dan tunarungu bermain.

Kedua, saya tidak punya keahlian / kapasitas apapun untuk membahas hal ini. Buat saya, tema ABK adalah tema yang berat, serius, dan seringkali sensitif. Saya takut salah menyampaikan.

Saya tanyakan ke Bu Sawitri, apakah akan ada narasumber selain saya? Maksudnya, supaya saya bisa berlindung dan ikut belajar, gitu.

Meski sudah 11 tahun tinggal di sini, pengetahuan saya tentang ABK di Norwegia sangat terbatas; hanya berdasarkan pengamatan di sekeliling, mendengar pengalaman Fatih yang punya teman sekelas ABK ketika SD dulu, dan membaca literatur serta berita lokal.

Dokter Sawitri meyakinkan saya, bahwa acara Zoom nanti formatnya diskusi santai dan berbagi pengetahuan saja. Bukan pandangan ahli yang penuh teori dan sebagainya.

Dokter Sawitri melanjutkan, bahwa yang menjadi moderator acara adalah Aska, seorang remaja penyandang autisme.

Nah, ini yang membuat saya tertarik dan mengiyakan. Dokter Sawitri mengatakan bahwa ini akan jadi pengalaman perdana buat Aska bicara di depan audiens. Dia berlatih keras dengan didampingi ibundanya, Bu Vika Wisnu .

Maka bismillah, saya menyambut tawaran tersebut. Alhamdulillah acara kemarin berjalan lancar dan cukup seru. Peserta yang kebanyakan adalah para praktisi atau orangtua ABK sangat antusias bertanya dan memberi apresiasi atas penampilan Aska yang tampak penuh percaya diri.

Baca Juga: Di Norwegia, "Camp School" untuk Siswa SD Dilakukan di Sebuah Pulau

Tugas saya sebatas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dibacakan Aska.

Saya mulai dari masalah sistem pendidikan di Norwegia yang sepenuhnya gratis dan inklusif untuk semua anak. Karena pendidikan adalah hak asasi setiap anak, maka kewajiban pemerintah adalah memastikan semua anak di Norwegia mendapatkan akses pendidikan yang sama, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan, latar belakang, dan perbedaan fisik. Semua anak termasuk ABK berhak duduk di kelas yang sama, mendapatkan pelajaran yang sama, dengan keistimewaan setiap ABK selalu didampingi oleh seorang guru spesial, yang semuanya disediakan secara gratis oleh pemerintah.

Saya juga menjawab pertanyaan seputar jaminan dan pelayanan kesehatan yang setara untuk semua warga Norwegia. Alhamdulillah di sini tidak ada ceritanya penyandang autisme atau ABK lainnya yang dihambat dalam menerima pelayanan kesehatan.

Di sinilah terasa manfaat pajak sangat tinggi yang diberlakukan di Norwegia. Bayangkan saja, dengan pajak kisaran 35-50% itu, semua hasilnya kembali untuk pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.

ABK di Norwegia dijamin kehidupannya mulai dari anak-anak hingga usia dewasa dan masa tua. Mulai dari terapi, fasilitas yang memudahkan mobilitas mereka, berbagai lembaga nirlaba yang menaungi dan memfasilitasi ABK sehingga mereka bisa menjalani pendidikan tinggi, bekerja, berjejaring, dan menjalani kehidupan layaknya orang normal tanpa keterbatasan fisik, Norwegia memang harus diakui sebagai salah satu "surga" bagi para ABK.

Hak para ABK adalah setara sebagaimana warga lainnya. Mereka dilindungi dengan peraturan hukum yang jelas dan tegas. Kalau ada yang berani melakukan diskriminasi terhadap ABK, maka saluran hukumnya jelas. Hukuman berupa denda yang sangat besar siap diterapkan bagi para pelanggar.

Selain itu, masyarakat Norwegia adalah orang-orang yang egaliter. Mereka mengakui setiap orang adalah setara. Sejak kecil anak-anak diajarkan untuk tidak melakukan bullying atas orang-orang yang berbeda dengan mereka.

Baca Juga: Islam di Norwegia

Untuk mencapai masyarakat dan sistem negara yang mapan seperti itu, memang dibutuhkan komitmen semua pihak dan waktu yang cukup lama.

Tentu membandingkan Norwegia dengan Indonesia tidaklah adil. Terlalu banyak perbedaan di antara keduanya. Saya hanya berharap agar apa yang saya sampaikan bisa sedikit membuka wawasan tentang bagaimana negara lain memperlakukan ABK.

Ya, semoga saja sedikit yang saya sampaikan kemarin itu bisa diambil manfaatnya.

Yang menggembirakan adalah, kehadiran Dokter Sawitri dengan Yayasan Peduli Kasih ABK yang didirikannya, sudah berbuat sangat banyak untuk mewadahi para ABK dengan segala potensi mereka.

Saya yakin, cukup banyak lembaga sejenis yang tersebar di Indonesia dan mempunyai program kerja yang jelas dan tepat sasaran.

Seringkali kita tidak bisa menunggu pihak lain untuk mencapai tujuan. Mulai bergerak, berjejaring, dan merangkul para ABK bukanlah hal yang mustahil meski dilakukan secara swadaya.

Yang istimewa, dan menjadi bintang, di acara diskusi kemarin sebetulnya adalah satu orang, yaitu Aska sang moderator.

Dengan tekun dan sangat hati-hati Aska membaca pembukaan acara, sesi perkenalan, daftar pertanyaan yang sudah disiapkan, hingga pertanyaan-pertanyaan spontan yang muncul kemudian.

Menyaksikan Aska yang tekun dan sangat tertib sepanjang acara selama 1 jam itu, saya belajar banyak hal.
Betapa ABK itu sebetulnya memiliki potensi yang sama dengan teman-teman mereka yang tak memiliki keterbatasan. Yang mereka butuhkan adalah pendampingan dan dukungan dari support system di sekitar mereka.
Anak-anak potensial ini hanya perlu mendapat panggung untuk menunjukkan kapasitas mereka, yang menurut saya, sebetulnya tanpa batas.

Melihat Aska bagaikan melihat anak sendiri. Karena itu di tengah acara muncul ide saya untuk mewawancarai dia dengan pertanyaan-pertanyaan singkat seputar sekolahnya. Alhamdulillah Aska bisa memahami semua pertanyaan dan menjawabnya dengan sangat baik meski dengan jawaban-jawaban singkat.

Respek dan hormat saya sebesar-besarnya kepada ibunda Aska dan juga para orangtua ABK yang senantiasa sabar, telaten, dan tangguh dalam merawat, mendidik, dan membesarkan anak-anak istimewa mereka.

Dari Aska saya banyak belajar. Seharusnya anak-anak seperti Aska lebih diakui eksistensinya di masyarakat tanpa diskriminasi.

Jalan ke arah itu sudah dan semakin terbuka.

Terima kasih untuk pelajarannya, Aska.

Salam sayang dari Norwegia.

***