Tahapan Belajar dan Glorifikasi yang Merusaknya

Jangan lagi glorifikasi membuat anak-anak berbakat menjadi 'nyangkut' di tahap pertama, dan membuat mereka tidak bisa menambah keahliannya.

Kamis, 4 Maret 2021 | 13:02 WIB
0
189
Tahapan Belajar dan Glorifikasi yang Merusaknya
Anak-anak ( Foto: Suara.com)

Menurut Umar bin Khattab, ada tiga tahapan yang akan dilalui oleh penuntut ilmu. Tahap pertama adalah pada awal belajar, yaitu tahap sombong. Ketika baru mengenal 'kulit' dari suatu ilmu, seseorang menganggap bahwa dia sudah 'tercerahkan' akan ilmu. Dia menganggap orang lain tidak seperti dia. Makanya orang-orang yang 'newbie', justru malah sok-sokan.

Tahap kedua adalah tahap merunduk. Semakin lama orang belajar, dia menyadari bahwa banyak orang yang lebih ahli. Banyak ilmu yang masih harus dia dalami. Maka dia menjadi rendah hati, seperti falsafah padi 'semakin berisi, semakin merunduk'. Dia semakin membuka diri terhadap sumber-sumber ilmu.

Tahap ketiga adalah tahap merasa kecil. Ini kelanjutan dari tahap kedua, semakin dia menyadari bahwa ilmu itu banyak dan masih terus berkembang. Dia tak lagi menganggap dirinya lebih tahu dari yang lain. Dia merasa dirinya hanya sebutir pasir di pantai, jika dibandingkan bidang ilmu yang dipelajarinya. Sehingga dia akan selalu mawas diri dan meningkatkan kemampuannya. Tidak mau sembarang berbicara lagi, sekalipun dia adalah yang paling ahli. Dia memilih terus belajar dan berkarya.

Kebiasaan kita adalah memviralkan sesuatu yang 'wow'. Meminjam istilah bahasa Jawa, kita 'gumun' terhadap suatu hal yang hebat.

Terutama ketika seseorang yang masih muda melakukan hal-hal yang luar biasa di usianya. Kebiasaan ini yang kita sebut sebagai glorifikasi.

Ironisnya, kebiasaan ini dapat 'membunuh' tahapan belajar. Seringnya adalah kebiasaan glorifikasi ini membuat orang menjadi sombong, karena merasa dirinya sudah diakui, merasa dirinya sudah hebat. Orang tersebut jadi berhenti di tahapan pertama belajar, yaitu 'merasa besar', dan oleh karenanya menolak untuk terus mengembangkan diri sehingga ini membuat kemampuannya stagnan.

Lihat saja bagaimana media kita sering membuat atlet muda yang baru menang sekali di turnamen menjadi selebriti. Padahal, atlet ini baru berada di tahap pertama, dan kebetulan menjadi pemenang dalam prosesnya itu. Atlet ini menjadi sombong, kemudian dia terdistraksi dari proses belajarnya karena merasa sudah dianggap 'keren'. Ujung-ujungnya ya jadi melempem, tidak bisa terus berprestasi.

Intinya adalah bagaimana sekarang kita mengarahkan anak-anak berbakat untuk melewati tahap pertama belajar, dan bisa masuk ke tahap kedua dan ketiga.

Jangan lagi glorifikasi membuat anak-anak berbakat menjadi 'nyangkut' di tahap pertama, dan membuat mereka tidak bisa menambah keahliannya.

**