Tak gampang main keroyok, karena solidaritas korp, ketika sesama gojeker dipersalahkan masyarakat atas pelayanan buruk mereka. Itu saja sih, Mas Menteri.
Aristawidya Maheswari (15) siswa berijazah SMP di Jakarta. Miskin dan yatim-piatu, tapi masih ingin sekolah. Memiliki prestasi dengan 700 penghargaan. Namun tahun ini terpaksa tak bisa melanjutkan sekolah. Sudah delapan sekolah ia sambangi. Tak ada yang nyangkut. Jumlah nilai ijazahnya, tak memenuhi syarat minimal yang ditentukan PPDB.
Salah siapa jika demikian? Salah si anak bodoh itu? Tapi, jika sekolahan hanya menerima anak pintar (berdasar nilai), buat apa negara mendirikan sekolah (yang disebut) negeri? Hanya diperuntukkan bagi yang pintar? Gimana bunyi pasal 31 UUD 45? Yang bodoh kita syukurin; nape loe bodoh!
Merujuk Pembukaan UUD 1945, yang menjelma dalam pasal 31, pendidikan adalah mutlak sebagaimana dirumuskan GBHN 1988. Tahun 1994 (bayangkan sejak 1945) tepat Hari Pendidikan Nasional, Soeharto menetapkan tentang wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP).
Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara (the founding fathers) telah memiliki komitmen memenuhi hak asasi rakyat memperoleh pendidikan. Merujuk paparan di atas, untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan, harus melalui pendidikan. Pertinyiinnyi, bagaimana semua itu dijalankan? Bagaimana proses dan progresinya, hingga sekian Presiden dan Menteri Pendidikan?
Pada praktiknya, pengingkaran atas pendidikan, justeru oleh mereka yang mestinya berkewajiban menjalankan rumus-rumus mulia itu. Contoh kasus dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) tahun ini, hanya semacam pengulangan kisah-kisah sebelumnya.
Bahkan kasus ketidakadilan penerimaan murid baru, sudah dimulai sejak kelas 1 SD, juga ketika mereka hendak meneruskan SMP. Banyak korban bisa bercerita mengenai hal itu, sekiranya kita ngomong soal ‘wajib belajar’ 9 tahun.
Nentuin wajib belajar dengan sistem seleksi itu aneh. Kalau mau diselaraskan dengan maksud dan tujuan, semua anak dalam umur wajib belajar wajib ditampung di sekolah yang wajib diadakan oleh negara. Terapkan zonasi administratif, yang lebih mudah daripada pusing dengan zonasi jarak. Kalau satu wilayah perbandingan jumlah wajib belajar dan jumlah sekolah tak sebanding, mengatur persebaran guru lebih mudah daripada persebaran peserta didik.
Mestinya tak ada aturan batas nilai atas atau bawah. Kayak ngatur tarif bus AKAP saja. Negara wajib menampung usia anak wajib belajar, siapapun dan apapun. Kalau mau menerapkan sistem seleksi atau eksklusivisme, bikin sekolah laboratorium. Hanya untuk mereka yang pintar, atau bahkan hanya untuk mereka yang bodoh. Hal itu untuk mengantisipasi perbandingan timpang pada masing-masing zonasi. Kecuali, wajib belajar tak wajib sekolah!
Ketika Jokowi mengangkat Tito Karnavian, Fachrur Rozi, Erick Thohir, dr. Terawan, dari Nadiem Makarim pun kita harap muncul gebrakan. Tapi kalau takut dirisak (dibully) kaum sodrun dan kadrun, mending ngurusin gojek lagi saja. Gimana para gojeker itu diajari adab berlalu-lintas. Tak gampang main keroyok, karena solidaritas korp, ketika sesama gojeker dipersalahkan masyarakat atas pelayanan buruk mereka. Itu saja sih, Mas Menteri.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews