Siapa Sebenarnya Si Pemilik Surga?

Teringat nasihat bijak, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat bagi sesamanya. Apapun agamanya. Apapun sukunya. Apapun bangsanya.

Jumat, 27 Desember 2019 | 11:18 WIB
0
516
Siapa Sebenarnya Si Pemilik Surga?
Ilustrasi (Foto: konsultasisyariah.com)

Dalam sebuah riwayat diceritakan, ada seorang pembunuh yang ingin bertobat. Ia mengaku telah membunuh 99 orang.

Dalam perjalanan menuju tobatnya itu, ia bertemu dengan seseorang yang terlihat saleh. Langsung saja ia ceritakan niatnya itu. Begitu mendengar cerita si pembunuh, orang yang terlihat saleh itu bilang jika mustahil Tuhan mengampuni dosanya. Begitu mendengar jawaban orang saleh itu, dibunuhlah ia. Maka, genap pula akhirnya ia telah membunuh 100 orang. Sang pembunuh meneruskan perjalanan hingga ia mati di perjalanan.

Dua malaikat bertengkar. Satu malaikat ingin langsung memasukkan si pembunuh ke neraka karena jelas-jelas telah menghilangkan 100 nyawa.

Namun, satu malaikat lainnya merebut ruh si pembunuh. Malaikat itu ingin memasukkan si pembunuh ke surga karena si pembunuh mati dalam perjalanan menuju tobat. Artinya, ia berhak masuk surga.

Karena pertengkaran tiada usai, dua malaikat itu pun akhirnya sepakat untuk mengukur jarak tempuh si pembunuh. Jika jaraknya lebih pendek dari asal tobatnya dari tujuan, si pembunuh dimasukkan neraka. Sebaliknya, jika si pembunuh lebih dekat dengan tujuan, ia harus dimasukkan surga.

Lalu, diambillah meteran. Dan hasilnya adalah ternyata si pembunuh itu lebih dekat dengan tujuan untuk tobatnya. Artinya, ia berhak masuk surga.

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, ada pelacur yang dijamin masuk surga karena ia iba kepada seekor anjing yang kehausan. Si pelacur pun mencarikan air dan memberikannya kepada anjing itu.

Sebaliknya, dalam sebuah riwayat lain disebutkan, ada orang saleh yang sombong. Saking sombongnya itu, ia menyiksa kucing yang ada di rumahnya. Akibat kesombongan dan sifat kejamnya itu, ia dipastikan masuk neraka. Na'udzubillaahi min dzalik.....

Dalam keseharian, kita sering banget membanggakan diri dengan ilmu dan harta yang dimiliki. Kita sering menganggap ilmu kita lebih tinggi dan paling benar. Lalu, kita berkoar-koar menyombongkan diri sambil menutup diri dari keinginan untuk mencari kebenaran yang hakiki.

Kita sering beranggapan jika kelak harta itu bisa menolong kita. Lucunya, ada tetangga kelaparan cuek saja. Ada tetangga sakit, cuek saja. Ada tetangga butuh bantuan, cuek saja. Bahkan mungkin ada harta anak yatim yang ikut dinikmati.

Hidup di dunia ini cuma menunggu kematian. Tidak ada yang ditunggu selain itu. Lahir, besar, kerja, menikah, momong cucu, sakit, dan akhirnya mati. Itu siklus lengkap. Ada kalanya kematian datang lebih awal....

Teringat nasihat bijak, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat bagi sesamanya. Apapun agamanya. Apapun sukunya.

Apapun bangsanya. Maka, mengapa kita tidak memperbanyak amalan kebaikan seraya menyebarkan kebaikan? Mengapa justru kita suka banget menyebarkan hoaks dan kebencian?

Katanya pengin masuk surga........

***