Wartawan Wajib Baca Buku, Nilai Plus Jika Mampu Meresensinya

Saya pribadi tidak pernah melewatkan membaca resensi di media nasional atau media-media asing itu. Beberapa buku saya beli setelah membaca resensi mereka di media-media tersebut.

Minggu, 15 Desember 2019 | 07:25 WIB
0
627
Wartawan Wajib Baca Buku, Nilai Plus Jika Mampu Meresensinya
Menulis resensi buku (Foto: gmb-indonesia.com)

Seingat saya buku pertama yang saya resensi berjudul “Kisah Pers Indonesia 1966-1974” karangan Akhmad Zaini Abar. Saya iseng menulisnya ketika saya baru beberapa pekan menjadi reporter Harian Republika pada 1995. Resensi saya tidak dimuat, mungkin karena saya sekadar mengirimkannya ke sistem di Republika tanpa memberitahukannya ke redaktur.

Sejak itu, di tengah tugas saya sebagai reporter, saya secara sukarela menulis resensi buku untuk dimuat di edisi Ahad. Bisa dikatakan resensi saya senantiasa dimuat di Republika. Bahkan beberapa kali redaktur menanyakan kepada saya apakah saya punya resensi buku.

Sebagai orang yang gemar membaca buku, menulis resensi menjadi semacam praktik menceritakan kembali isi buku-buku yang saya baca. Menceritakan kembali membuat materi dari buku-buku yang kita baca lebih tertanam di ingatan.

Pada 1998 saya ditugaskan sebagai reporter Republika edisi Ahad. Selain melakukan wawancara khusus dan reportase untuk laporan utama, saya juga menulis resensi. Itu artinya hampir setiap pekan saya menulis resensi. Republika ketika itu juga menerima resensi buku yang ditulis orang luar. Meresensi buku yang tadinya kesukarelaan menjadi kewajiban begitu saya bertugas untuk edisi Ahad Republika.

Karena menulis resensi buku satu kewajiban, meski saya berulang kali menulis resensi, saya merasa perlu membaca buku “Dasar-Dasar Meresensi buku” karangan Daniel Samad supaya hasil resensi saya lebih baik.

Dari membaca buku ini saya tahu bahwa pembukaan atau pendahuluan dalam meresensi buku sangat variatif. Kita bisa mengawali resensi buku dengan membahas kekhasan pengarangnya, keunikan buku, tema buku, kelemahan buku, kesan tentang buku, bahkan penerbit.

Saya ingat resensi buku tentang “Pencak Silat” yang saya tulis di Republika pernah dikutip bulat-bulat oleh satu majalah perempuan di rubrik resensinya. Ketika saya berkunjung ke Toko Buku Gramedia di Matraman, Jakarta Timur, saya menyaksikan resensi buku berjudul “Oposisi Berserak” karangan Anders Uhlin yang saya tulis di Republika di foto kopi besar-besar dan ditempel di dinding promosi.

Ketika saya bekerja di Metro TV mulai tahun 2000, saya merawat keterampilan menulis antara lain dengan menulis resensi buku. Saya mengirim resensi ke Media Indonesia dan lebih banyak ke Koran Tempo. Resensi buku berjudul "Gagalnya Islam Politik” karangan Olivier Roy yang saya tulis dimuat di Media Indonesia.

Resensi saya yang dimuat di Koran Tempo di antaranya buku “Perang Salib: Sudut Pandang Islam” karangan Carole Hillenbrand, "I Saw Ramallah” karangan Mourid Barghouti, “Pemikiran Liberal di Dunia Arab” karya Albert Hourani. Saya mendapat honor rata-rata Rp300 ribu untuk resensi saya yang dimuat.

Pada 2009 saya menulis resensi buku berjudul “The Mother of Mohammed’ karangan Sally Neighbour dan saya kirim ke Majalah Tempo. Di bawah judul "Kisah Mujahidah di Jantung Al-Qaidah”, resensi itu dimuat di Tempo hampir sebulan setelah saya kirimkan. Honornya Rp700.000.

Buku itu berisi kisah perempuan bernama Robyn Hutchinson yang kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Rabiah. Rabiah selama 20 tahun hidup di garis depan perang suci global bersama Al-Qaidah. Saya mendapat buku ini dari mantan kontributor Metro TV di Solo, Ratna Larsen, yang bermukim di Australia.

Sewaktu bekerja di Media Indonesia mulai akhir 2009, saya tetap menulis resensi, tentu saja buat harian tersebut. Buku yang saya resensi kebanyakan berbahasa Inggris. Beberapa di antara buku yang saya resensi ialah “Why Nations Fail” karangan Robinson dan Acemoglu, “Capital in the Twenty-First Century” karangan Thomas Piketty , “Breakout Nations” karya Ruchir Sharma, “Conservative Turn in Indonesian Islam” yang dieditori Martin van Bruinessen, dan “The History of Democracy; A Marxist Interpretation” karangan Brian S. Roper.

Belakangan saya perhatikan makin sedikit koran atau majalah di tanah Air yang memiliki rubrik resensi. Kalaupun ada, biasanya resensi itu ditulis orang dalam, mungkin demi menghemat pengeluaran media tersebut untuk membayar honor. Di media asing seperti majalah “The Economist”, “Time”, “The Guardian Weekly”, “New York Time” masih tersedia rubrik resensi buku.

Saya pribadi tidak pernah melewatkan membaca resensi di media nasional atau media-media asing itu. Beberapa buku saya beli setelah membaca resensi mereka di media-media tersebut. Saya, misalnya, membeli buku “Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda” karangan Ernst H. Gombrich setelah membaca resensinya di Majalah Gatra.

Saya juga membeli buku “Capital in the Twenty-First Century” setelah membaca resensinya di Majalah The Economist. Lalu saya membeli buku “The Diary of Bookseller” karangan Shaun Bythell setelah membaca resensinya di Majalah The Guardian Weekly.

***