Tulislah "What’s Strong?" Bukan "What’s Wrong?"

Sebenarnya batas-batas sakit dan sehat itu menjadi kabur. Garis pemisah orang kekurangan dan orang kelebihan juga runtuh. Pendekatan What’s Strong itu mendekonstruksi realitas lama.

Selasa, 19 November 2019 | 06:32 WIB
0
389
Tulislah "What’s Strong?" Bukan "What’s Wrong?"
Raena dan ayahnya (Foto: Tempo.co)

Sahabat Saya Dian Sjarief adalah penyandang lupus. Tapi di tengah “kekurangan”-nya itu dia memiliki energi luar biasa. Setelah lama mengurung diri, Dian akhirnya bisa membalik keadaan. Dia menerima takdirnya sebagai penyandang auto imun itu. Mantan pejabat bank itu kemudian membentuk Yayasan Syamsi Dhuha yang bergerak memperjuangkan hak-hak sesama penyandang lupus.

Beruntung, saya ikut membantu Syamsi Dhuha walaupun cuma jadi editor buku, pelatihan menulis, atau jadi juri lomba-lomba yang diadakan yayasan itu.

Suatu hari Dian mengeluh kepada saya. Dalam sebuah wawancara di televisi, sang pewawancara memosisikan Dian sebagai orang yang “sakit” dan perlu dikasihani. Selesai wawancara, Dian turun dari podium, dan penonton di studio menjambangi dia. Ada yang menangisi Dian, ada juga yang mengasihani. “Urang jadi teu nyaman,” katanya dalam bahasa Sunda (aku jadi tidak nyaman!).

Padahal karya Dian luar biasa. Berkat dia maka negara kemudian tersadarkan tentang bahayanya penyakit lupus. Dia mampu meyakinkan Kimia Farma bahwa tanaman ciplukan berkhasisat menahan rasa sakit! Dan Kimia Farma pun memproduksi obat penahan sakit dari ciplukan atau cecendet. Nama obatnya Lesikaf (bukan iklan lho), sehingga harganya terjangkau. Sebelumnya obat penahan sakit untuk penyandang lupus, harus dibeli dari luar negeri, tentu harganya berlipat.

Dian tak pernah menyebut lupus sebagai penyakit, tapi dia sebut si Luppy yang Nakal!

Lucu sekali. Orang yang sakit lupus pun dia sebut penyandang lupus.  Ketika mengedit buku terbitan Syamsi Dhuha, saya hati-hati sekali untuk tidak menyebut lupus sebagai penyakit, atau untuk tidak menyebut penderita lupus, tapi penyandang lupus. Strong sekali kan? Semuanya wujud keikhlasan menerima keputusan Tuhan.

Sering juga dalam surat kabar atau media sosial kita menemukan tulisan-tulisan yang menampilkan orang-orang miskin, atau orang-orang penyandang difabel. Tulisan-tulisan itu menampilkan tentang adanya sesuatu yang salah (wrong); salah negara, salah nasib, salah pilihan dan lain-lain. Kadang tulisan itu dikemas sedemikian rupa sehingga menguras air mata pembaca.

Atau lihat saja acara Bedah Rumah, Mikrofone Pelunas Utang, dan Uang Kaget di televisi. Skrip naskahnya berparadigma What’s Wrong. Kemudian si sutradara men-setting si orang miskin itu supaya menangis tersedu-sedu. Pada bedah rumah misalnya, si orang miskin itu diajak ke hotel, kemudian kamera menyorot sikap kikuk mereka dan menjadi bahan haru dan tawaan penonton. Pada acara Mikrofone Pelunas Utang, si orang miskin disuruh menceritakan penderitaannya, dan harus keluar air mata.

Pada acara reality show Uang Kaget, Mr Easy Money datang kepada orang miskin dan memberinya uang, dan orang miskin itu harus menghabiskan uang itu dalam waktu setengah jam. Maka orang miskin itu berlari tergopoh-gopoh, dikawal polisi masuk ke supermarket, dan dalam sorotan kamera. Penonton sepanjang jaan bersorak, penonton tv di rumah pun geregetan.

Maka orang miskin itu jadi tontonan.  Begitulah acara yang digagas Helmi Yahya ini. Acara itu dapat iklan banyak. Hmmm…uang yang dipakai membedah rumah, mikrofon pelunas utang dan uang kaget itu paling sepersekian dari sponsor dan iklan yang didapat. Itu sih menjual kemiskinan…

Semuanya bermula dari cara pandang sang penulis, baik penulis skrip maupun wartawan dan media dalam memandang kemiskinan, difabilitas dan segala macam keterbelakangan. Tulisan yang berhulu dari cara pandang What’s Wrong ini pada akhirnya memengaruhi pembaca dan pamirsa. Tidak semua orang kita anggap berkekurangan itu senang diperlakukan sebagai orang yang dikasihani. Mereka memiliki dignity. Ya seperti Dian Sjarief itu.

Cara pandang What’s Wrong ini tidak membantu dalam memberdayakan orang-orang miskin maupun kaum difabel. Mereka menjadi objek yang dikasihani. Si objek tulisan itu bisa tidak nyaman, tapi ada juga yang memanfaatkan atmosfir kasihan ini. Laporan-laporan What’s Wrong?  menyebabkan mereka enggan berinisiatif memperbaiki diri.

Sebagai aktivis pemberdayaan  di Odesa (duh…maaf istilah pemberdayaan ini arogan ya kesannya), saya mengamati sendiri di lapangan. Ketika laporan kita sifatnya “mengasihani” maka yang terjadi sungguh lucu. Ada penduduk yang mampu  memanggul kayu naik turun lembah. Tapi begitu kami datangi, dia pura-pura batuk dan sakit…! Dia berharap kami beri bantuan uang.

Penulis yang senang mengamati  orang-orang “lemah” sebaiknya ganti paradigma: Dari What’s Wrong? ke What’s Strong?  Carilah kekuatan di balik kelemahan seseorang. Tidak semua orang tahu kekuatan dirinya. Kadang dia memerlukan masukan dari orang lain tentang kekuatan yang dimilikinya.

Pembaca mungkin masih ingat sosok Raeni, mahasiswi Universitas Negeri Semarang. Dia anak tukang becak, lulus dengan cum laude. Pada saat wisuda (2014), sang ayah Mugiyono mengantar Raeni naik becaknya. Wajah keduanya sumringah disambut Rektor Unnes. Foto Raeni naik becak muncul di halaman muka media. Saat tulisan ini dibuat, Raeni sedang menempuh S-3 di Inggris.

Cerita lain adalah tentang Siti Marfuah, anak tukang sate di Magelang. Dia lulus cum laude (2017) dari Univerisitas Tidar Magelang. Saat wisuda, dia bersama ayahnya datang mendorong gerobak satenya ke kampus. Dia bernazar, kalau lulus dia akan membagi-bagikan sate gratis di kampusnya. Keduanya tiba di kampus dengan senyum.

Apa yang salah dengan Raeni dan Siti Marfuah (What’s Wrong?) Yaa…keduanya anak orang miskin, wong anak tukang becak. dan tukan sate. Tapi apa kekuatan mereka (What’s Strong?) Keluarga ini digambarkan sebagai keluarga harmonis, rumah kecilnya penuh dengan kehangatan doa. Kekuatan yang dimiliki: nilai-nilai keluarga (family value)!! Rumah gubuk itu bukan cuma rumah tapi tempat tinggal (not just a house, but home). Suasana rumah yang nyaman itu yang membuat semangat Raeni dan Siti Marfuah untuk maju.

Family value! I

tulah kekuatan mereka. Apakah orang-orang kaya di kota masih punya family value? Belum tentu. Rumah gedong, belum tentu jadi tempat tinggal yang nyaman (a house but not a home). Nilai-nilai keluarga itu menyebabkan Raeni dan Siti Marfuah tidak malu membawa ayahnya ke kampus, bertemu dengan orangtua mahasiswa lain yang kedudukan sosialnya lebih tinggi.

Lima tahun lalu saya pernah kebetulan menonton infotainment di sebuah stasiun televisi. Program itu menampilkan bintang film Aminah Cendrakasih (saat itu berusia 75 tahun) yang terbaring sakit dan sudah tidak bisa melihat. Aminah adalah bintang film senior. Masa mudanya cantik dan terkenal  sehingga menjadi favorit layar kaca dan layar lebar. Tentu keadaan ini kontras dibanding kejayaan dia semasa muda.

Si reporter mulai mewawancarai pemain yang memerankan ibu si Doel dalam seri sinetron si Doel Anak Sekolahan ini (1994-1997). Dari pertanyaan yang dia lontarkan, saya menangkap bahwa si reporter sedang menggiring ke arah atmosfir haru biru. Dengan nada melow, si reporter bertanya tentang perasaan sang bintang ketika tidak bisa melihat.

Jawaban Aminah ternyata lugas dan lurus: “Lho kenapa saya harus sedih? Selama 75 tahun lebih saya dikaruniai Allah dengan mata yang sehat. Kalau sekarang penglihatan saya diminta lagi oleh Allah, ya saya ikhlas. Allah yang punya kok!!….jleb!!

Ya jelas dong skenario dayu mendayu infotainment itu menjadi gagal. Pastilah pertanyaan itu datang dari penulis skenario yang mengejar What’s Wrong? bukan What’s Strong?

Saya melihat acara Kick Andy di Metro TV sebagai acara terbaik yang melakukan pendekatan What’s Strong?  Acara Hitam Putih Deddy Corbuzier, bolehlah, meski kadang-kadang rada-rada menguras air mata penonton.

Dengan pendekatan What’s Strong? maka kita akan melihat dengan jelas sosok-sosok Dian, Raeni, Marfuah, Aminah dan lain-lain dalam perspektif berbeda, bahkan terbalik. Orang-orang itu dinilai sebagai orang yang “kekurangan” atau orang “sakit”. Tapi orang “kekurangan” dan “sakit” itu justru memberi manfaat yang besar bagi masyarakat dan kemanusiaan. Sementara ada orang “normal” dan “sehat”, hidupnya tidak memberi manfaat bahkan bagi lingkungan setempat.

Maka sebenarnya batas-batas sakit dan sehat itu menjadi kabur. Garis pemisah orang kekurangan dan orang kelebihan juga runtuh. Pendekatan What’s Strong itu mendekonstruksi realitas lama.

Karena itu wahai para penulis, termasuk penulis skrip sinetron dan reality show, atau siapapun yang hobi menulis, mari kembangkan What’s Strong? sebagai modal awal menulis inspiratif. Mari angkat profil orang-orang lemah dari sisi kekuatannya. Negeri ini perlu sejuta sosok orang biasa yang luar bisa.

Sebab, tugas penulis berkesadaran adalah mendekonstruksikan realitas palsu kehidupan!

***

Catatan: Tulisan sudah tayang sebelumnya di blog personal Budhiana.id.

.