Mulia Papua

Tak heran, saat batas wilayah negara Indonesia merdeka dibicarakan di BPUPK, arus besar suara, dengan semangat emansipatoris, menghendaki penyertaan Papua.

Kamis, 23 Januari 2020 | 17:43 WIB
0
185
Mulia Papua
Boven Digoel (Foto: Wikipedia.org)

Mengapa Indonesia tanpa spirit Papua ibarat tungku tanpa apinya?

Baiklah, pagi ini saya baca ulang buku "Limabelas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea: Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia", karya I.F.M. Chalid Salim (1977). Bumi Papua adalah "tanah spiritual" revolusi kemerdekaan Indonesia.

Memasuki 1920-an, Pemerintahan Belanda mulai panik dgn ekspansi dan eskalasi radikalisme. Setelah pemberontakan rakyat dengan stimulasi ideologi kiri pada 1926/1927, Belanda mengambil keputusan membuang "para perusuh" ke tempat terisolir. Pada 1926, dibangunlah "kamp konsentrasi" (mungkin) yang pertama di muka bumi, di (Boven) Digul, Papua.

Digul saat itu kawasan hutan tropis perawan, di daratan tinggi, yang jarak tempuhnya sekitar 500 km dari muara Sungai Digul di Laut Arafuru. Dalam kesenyapan rimba raya, kehidupan tak bisa istirah dengan tenang. Ancaman nyamuk malaria (anopheles), buaya, dan tradisi pengayauan suku tertentu (saat itu), mengintai maut setiap saat. Cekikan kesepian memicu dimentia, gangguan ingatan, keputusaan, yang mematikan daya hidup.

Ke sanalah "perusuh" politik dari berbagai pulau di buang.

Awalnya aktivis gerakan kiri, disusul pentolan nasionalis (religius dan netral agama), termasuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Penulis buku ini sendiri (Chalid Salim) adalh adik Agus Salim, yang dibuang ke Digul karena dituduh terlibat pemberontakan kiri. Di sanalah ujian sesungguhnya perjuangan. Bagaimana idealisme dan impian kemerdekaan hrs dipertahankan di tengah ancaman penderitaan, kesepian, dan kematian.

Tak heran, saat batas wilayah negara Indonesia merdeka dibicarakan di BPUPK, arus besar suara, dengan semangat emansipatoris, menghendaki penyertaan Papua.

Mohammad Yamin mengatakan: "Di seluruh pergerakan kita di tanah Indonesia, tanah Papua-lah yang memberi bunyi internasional. Digul adalah sebagai puncak pengurbanan daripada penganjuran-penganjuran kita, sehingga melepaskan tanah Digul keluar daerah Indonesia melanggar perasaan keadilan, tanah Digul adalah tempat pengurbanan pergerakan kita menuju kemerdekaan. Janganlah mereka yang telah berjuang untuk mendapat kemerdekaan itu, pada waktu gembira karena kita mendirikan negara merdeka dikucilkan."

***