Tak Ada Kata Terlambat untuk Memulai

Tentu bukan semata "emak-emak" yang saya ajari menulis, berbagai kalangan dari mulai siswa SD, mahasiswa, sampai CEO/Direktur perusahaan ternama pun, biasa saya ajari menulis.

Jumat, 27 September 2019 | 08:33 WIB
0
441
Tak Ada Kata Terlambat untuk Memulai

Kalau melihat foto ini, jelaslah saya dikepung kaum perempuan matang yang dalam bahasa kekinian disebut "emak-emak". Istilah "emak-emak" ini bukan lagi ejekan atau bernada merendahkan, melainkan berkonotasi kekuatan. Ingat istilah "the power of emak-emak", bukan?

Nah, Kamis ini hari, 26 September 2019 mulai pukul 10.00 WIB sampai tibanya makan siang, berkumpullah "emak-emak" ini di Cafe Hazel, cafe yang menjual kopi, gelato dan kudapan lainnya. Mereka bukan bermaksud siap-siap bergabung dengan mahasiswa dan siswa STM untuk demo di Senayan, melainkan untuk belajar menulis.

Hah? Belajar menulis!? Iya belajar nulis... ada yang aneh? Emak-emak kok belajar menulis? Lha menulis yang baik memang perlu belajar, kecuali sekadar menyebar hoax, semua orang bisa melakukannya tanpa harus belajar menulis, bukan hanya emak-emak.

Sebagai tutor tunggal, inilah kali pertama saya menyelenggarakan latihan menulis untuk publik dengan bendera "PepAcademy". Sebelumnya, boleh dibilang saya sudah menjelajah berbagai daerah bahkan sampai ke luar negeri khusus untuk mengajarkan teknik menulis. Tetapi itu atas nama diri sendiri, mandiri. Dalam arti, saya tinggal terbang dan ngajar, murid dan bahkan tempat sudah tersedia.

Beda dengan yang ini, mengajari "emak-emak" menulis. Apa ga telat, tuh? Ya ga ada kata telat untuk bertobat... kata Ebiet, bukan ding, tetapi ini ga ada kata telat memulai. Memulai apa? Ya, memulai belajar menulis. Kenapa harus memulai belajar memulai menulis? Sebab hal tersulit dalam menulis adalah: MEMULAI.

Maka menghadapi 22 "emak-emak" yang ikut dalam pelatihan bacht pertama ini, saya menawarkan materi "menulis cepat dan bermanfaat".

Berhubung keterbatasan alat-alat peraga (saya tidak menyiapkan whiteboard, standing banner atau infocus), saya harus menjelaskan materi selama kurang lebih 3 jam itu tanpa power point di komputer atau ponsel. Cukup mengandalkan materi ajar yang tersimpan dalam memori alias ingatan saja, mengandalkan isi kepala.

Di depan "emak-emak" saya tidak mengobral istilah-istilah teknis menulis yang dikenal dalam khasanah jurnalisme, melainkan mencari padanannya lewat kehidupan sehari-hari.

Tentu tidak mudah menjelaskan konsep 5W1H (who, what, where, when, why, how) kepada peserta, tetapi cukup dengan memberi contoh, bahwa dalam menceritakan peristiwa dalam sebuah status Facebook, misalnya, unsur-unsur 5W1H ini sudah ada di dalamnya. Pun kalau menulis surat.

Ada banyak trik untuk merangsang "emak-emak" mulai menulis atau menulis sungguh merupakan pekerjaan yang menyenangkan, misalnya "jangan mendaku ga bisa nulis selagi bisa bicara, sebab pada hakekatnya menulis adalah sebagaimana kita bicara".

Ketika konsep ini masih dirasa mengawang-awang, maka saya minta seorang volunteer, Ibu Yayah namanya, untuk maju ke depan, bercerita tentang pengalamannya sebelum datang ke acara. Volunteer lainnya, Bu Vitri, mencatat cerita bu Yayah. Selesai Bu Yayah bercerita, Bu Vitri membacakan "tulisan" karya Bu Yayah. Dari semula verbal (wicara) menjadi literal (tulis).

"Nah, hakekat menulis itu ya sebagaimana kita bicara. Jadi, jangan bilang ga bisa menulis kalau bisa berkata-kata," kata saya mengompori.

Demikian pengalaman berharga saya. Ketika woro-woro kegiatan ini saya cemplungkan sebagai status Facebook, ada banyak permintaan untuk kegiatan serupa dari berbagai tempat; Bandung, Solo, Depok, dan bahkan Tasikmalaya. Kalau waktunya klop, mengapa tidak.

Tentu bukan semata "emak-emak" yang saya ajari menulis, berbagai kalangan dari mulai siswa SD, mahasiswa, sampai CEO/Direktur perusahaan ternama pun, biasa saya ajari menulis.

Bahwa saya mengajari "emak-emak" menulis, itulah sensasinya.

***