Ansel da Lopez (2) Gaya Militer M Jusuf: Tegas, Soal Benar atau Salah Belakangan

Karena rumah sendiri di Perumnas Depok terlalu jauh, maka sementara Ansel menumpang di “rumah mertua indah”, di rumah ortu Rosiana di Jakarta.

Minggu, 14 April 2019 | 22:36 WIB
0
1421
Ansel da Lopez (2) Gaya Militer M Jusuf: Tegas, Soal Benar atau Salah Belakangan
Ansel da Lopez (Foto: Istimewa)


Siapa namamu?
“Joni Jenderal...,”
Sudah punya pacar belum?
“Belum Jenderal....."
Kalau punya pacar, kau maunya orang apa?
“Orang Solo, Jenderal...."
Kenapa orang Solo?
“Waktu pendidikan di Solo saya pernah merasakannya, Jenderal...."

Dialog di atas terjadi di Timtim. Saat Jenderal M Jusuf -yang hampir setiap minggu berkeliling dengan pesawat Hercules TNI AU ke berbagai pelosok negeri meninjau anak buahnya- bertanya pada seorang prajurit yang menyambut kedatangannya. Ketika itu M Jusuf adalah Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam/Pangab, 1978-1983) pada era pemerintahan Orde Baru, Soeharto.

Siapa namamu?
“Jimi Jenderal....."
Sudah punya pacar?
“Sudah Jenderal....."
Kalau jalan sama pacar, apanya yang kau pegang?
“Tet....nya, Jenderal...."

Ucapan prajurit Jimi (bukan nama sebenarnya) itu tentunya disambut gelak segenap anggota rombongan yang menyertai Jenderal M Jusuf. Sementara Ny. Elly Jusuf serta isteri-isteri para jenderal lainnya hanya bisa tersipu malu mendengarnya.

Sebuah dialog lain terjadi di bandara di Padang, juga ketika para prajurit menyambut kedatangan M Jusuf di tangga Hercules TNI AU.

Dari mana kau?
“Dari Solo, Jenderal..."
Perutmu kok gendut sekali?
"Siap, Jenderal..."
Sudah kawin kau?
"Sudah, Jenderal...."
"Anakmu piro," tanya M Jusuf yang asli Bone Sulsel itu dalam bahasa Jawa.
Sang prajurit asal Solo, yang tadinya berdiri siap tegak dengan senjata di tangan kanannya itu, langsung memindahkan senjata ke tangan kirinya. Prajurit itu sembari membungkuk dengan jari-jari tangan kanannya yang terkatup dan jempolnya menunjuk, khas sopan santun Jawa, ia menjawab dengan ramah, “Sekawan (empat, Jw), Jenderal...."
Anggota rombongan lainnya pun tertawa geli sambil berkomentar, "Begitulah tentara Jawa kalau ditanya dalam bahasa Jawa. Luluh dia."

Jenderal M Jusuf, di mata wartawan senior Kompas (kini sudah pensiun), Ansel da Lopez (69), memang mengharuskan tentara (militer) Indonesia harus berani menjawab tegas serta terus terang, jika ditanya atasannya. Soal salah atau benar, itu urusan lain. Yang penting harus tegas, jujur, apa adanya. Tidak bohong...

“Hampir tiap pekan M Jusuf terbang siang maupun malam dengan pesawat Hercules TNI AU untuk melihat kesiapan, para prajurit dan kehidupan mereka bersama keluarganya. Saya sering menyertainya,” tutur Ansel da Lopez. Hal serupa juga dilakukan oleh seniornya yang digantikannya meliput di Departemen Hankam/ABRI, Purnama Kusumaningrat. Percakapan lucu-lucu tetapi jujur seperti di atas, sangat sering terdengar. Dan, banyak di antaranya yang ditayangkan di televisi pada masa itu.

Ketika terbang keliling menyertai sang jendral waktu itu, wartawan Hankam/ABRI, seperti Ansel da Lopez, harus berpakaian militer. Sebagai “lobbyist journalist” yang tidak hanya mencegat narsum untuk melakukan wawancara, akan tetapi juga ikut dalam kegiatan sang jenderal, Ansel dan juga Purnama Kusumaningrat tidak keberatan meskipun diharuskan pakai baju militer demi liputan. Demi menembus sumber berita, yang di zaman Orde Baru boleh dikatakan tertutup, berbaju militer pun oke.

“Pernah suatu ketika saat menyertai kunjungan ke Semarang, saya ketinggalan rombongan karena mangkir dari acara untuk pergi ke rumah keluarga. Oleh Jenderal M Jusuf, saya diminta terbang langsung dari Semarang ke Ujungpandang (sekarang Makassar) naik pesawat umum. Tujuan terakhir kunjungan M Jusuf hari itu adalah Ujungpandang," tutur Ansel.

"Di dalam pesawat, si pramugari hilir mudik di sekitar saya, sepertinya curiga atau bingung melihat saya. Berambut gondrong mengenakan pakaian militer dan acak-acakan. Pokoknya tidak lazim seperti halnya seorang prajurit. Mungkin karena tidak sabar, dia lalu bertanya, bapak militer atau bukan?" tutur Ansel da Lopez menirukan pramugari.

"Setelah saya menjelaskan bahwa saya bukan anggota militer dan apa sebenarnya yang telah terjadi, sang pramugari itu lalu mengerti dan tidak hilir mudik lagi di dekat saya."

Dikenal tegas, dan jujur, Jenderal M Jusuf, sang Menhankam dan Panglima ABRI di masa Orde Baru, ini sangat memberikan perhatian pada anak buah. Dekat di hati anak buah, meskipun ditakuti karena ketegasannya. Yang pasti, M Jusuf dikenal jujur dan tidak suka tipu-tipu. Apalagi bohong...

Dua tahun setelah diterima sebagai wartawan Kompas (1978), pada 1980, Ansel da Lopez menikah dengan Rosiana boru Tobing, teman sekantor yang bekerja di bagian Dokumentasi Kompas. Karena rumah sendiri di Perumnas Depok terlalu jauh, maka sementara Ansel menumpang di “rumah mertua indah”, di rumah ortu Rosiana di Jakarta.

“Suatu malam, keluarga isteri saya merasa sangat terganggu, lantaran pintu pagar rumah diketok-ketok. Ketika membukakan pintu, ayah mertua saya, yang juga seorang purnawirawan TNI AD, begitu terperanjat melihat seorang prajurit militer berpakaian lengkap berdiri di hadapannya. Waktu itu sekitar jam 03.00 pagi buta. Setelah dijelaskan bahwa mereka datang menjemput saya untuk mengikuti kunjungan kerja Jenderal M Jusuf, ayah mertua pun memahami dan membangunkan saya." Begitu selanjutnya dan keluargapun semakin memahaminya.

Menyertai kunjungan Jenderal M Jusuf ke berbagai daerah, kadang memang sudah diketahui satu atau dua hari sebelumnya. Namun, tidak jarang pula penuh kejutan. "Kadang- kadang siang hari ketika kita sedang menacari berita di lapangan, tiba-tiba telpon dari Puspen Hankam berdering, meminta kita untuk siap-siap berangkat menyertai kunjungan Pak Jusuf," tutur Ansel.

Bagaimana itu mungkin bisa terjadi, sementara kita tidak membawa persiapan apa-apa. Sementara rumah pun jauh untuk mengambilnya, dan waktu pun sudah tidak memungkinkan lagi. "Pokoknya siap berangkat. Yang lain-lain urusan belakangan," perintah prajurit yang menelpon.

Suatu ketika, tutur Ansel, isteri M Jusuf, Elly Saelan Jusuf, hendak berkunjung ke Nusa Tenggara Timur. Jenderal M Jusuf meminta Ansel dengan membawa isterinya, Rosiana, menyertai kunjungan itu. "Kebetulan puteri sulung saya waktu itu baru berusia sekitar delapan bulan, dan sejak itu kami belum pernah pulang kampung, tentu senang-senang saja saya," tutur Ansel.

Sampai di Kupang, Ansel dan isterinya memisahkan diri dari rombongan resmi, menginap di hotel yang terpisah, atas tanggungan sendiri.

Ketika akan check out dari hotel, ia diberitahu bahwa seluruh biaya hotel sudah ada yang bayar. "Siapa yang bayar?" tanya Ansel. "Sudah dibayari oleh pihak Danrem," jawab petugas hotel. Ansel berkeras dan ngotot, bahwa dia tidak boleh dibayari oleh orang (disuap) menurut peraturan kantornya. Apalagi untuk keperluan pribadi.

“Petugas itu bilang, nanti kalau bapak tidak terima, kami yang nanti jadi susah...,” kata Ansel, meniru petugas hotel. Setelah itu muncul dua prajurit berbaju hijau berpangkat sersan mempersilahkan Ansel dan isterinya menaiki mobil yang telah dipersiapkan. Petugas itu juga mengatakan, ia diminta untuk terus mendampingi Ansel sampai ke bandara Penfui (sekarang El Tari) sampai terbang ke Maumere, Flores, tempat asal Ansel.

“Saya diantarkan oleh petugas itu sampai ke tangga pesawat...,” tutur Ansel. Mungkin orang-orang waktu itu bingung, jika melihat orang gondrong (waktu itu Ansel berambut gondrong) diantar oleh dua anggota militer, sampai di tangga pesawat. Sebetulnya Ansel sudah meminta kepada keduanya supaya cukup sampai di terminal saja. Tetapi, salah seorang dari mereka menjawab, "Jangan, Pak. Komandan Korem memerintahkan kami supaya memperlakukan bapak sebagai seorang kolonel," tutur Ansel sambil tertawa geli mengingat peristiwa itu.

Cerita-cerita yang dikisahkan wartawan senior, Ansel da Lopez, itu semakin memperkuat pendapat, bahwa dulu M Jusuf begitu rajin keliling Tanah Air sampai ke pelosok-pelosok, dan menjadi begitu populer saat menjabat Menhankam/Pangab pada periode 1978-1983. Terbang hampir setiap minggu ke seluruh penjuru negeri, dan terlihat seperti ritual: Dimana-mana menyapa prajurit untuk berterus terang jika ditanya apa keseharian mereka.

Sebagai Panglima, Jusuf ditugaskan oleh Soeharto untuk mengintegrasikan ABRI dengan rakyat. M Jusuf pula yang mempopulerkan ABRI Masuk Desa. Dalam program ini, ABRI dikirim ke daerah pedesaan untuk ikut membantu pembangunan infrastruktur. Tidak hanya mengangkat senjata.

Selama lima tahun masa jabatannya sebagai Panglima ABRI, M Jusuf mengembangkan reputasi sebagai Jendral yang memperhatikan kesejahteraan anak buahnya. Selain secara rutin berkeliling daerah untuk mengunjungi tentara, dan menanyakan tentang keluarga dan kondisi mereka, M Jusuf juga menjadi populer di mata banyak orang.

Tidak hanya di mata para prajurit ataupun pejabat militer bawahannya. Akan tetapi, juga populer di mata rakyat pada umumnya. Meskipun, hal itu dinilai “mengorbankan hubungannya dengan Soeharto, yang melihat Jusuf sebagai ancaman,” (Dudung Abdul Muslim, “M Jusuf, Putra Mahkota yang Cepat Tereliminasi” di Suara Merdeka 11 September 2004).

Pada tahun 1982, demikian tulisan Dudung Abdul Muslim, sebuah pertemuan para pejabat tinggi diadakan dan dihadiri oleh Soeharto, M Jusuf, dan Amirmachmud yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Dalam pertemuan tersebut, Amirmachmud mengomentari popularitas Jusuf, dan meminta menjelaskan tentang dirinya kepada Soeharto.

Merasa dituduh, Jusuf kehilangan kesabaran dan berjanji kepada Soeharto bahwa dia tidak pernah punya ambisi untuk kekuasaan dalam melakukan tugasnya. Kecurigaan Soeharto tampaknya telah menyakiti M Jusuf, sehingga dia tidak pernah menghadiri lagi pertemuan Kabinet Soeharto sampai ia diberhentikan dari posisinya sebagai Menhankam/Pangab pada bulan April 1983. (Dudung Abdul Muslim, 2004)

Dari tahun 1983 sampai 1993, M Jusuf sempat menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini adalah pekerjaan yang diperkirakan akan mengangkat M Jusuf ke posisi lebih tinggi, mengingat pendahulunya Umar Wirahadikusumah di kemudian hari menjadi Wakil Presiden pada pemerintahan Soeharto. Namun, itu adalah akhir keterlibatan M Jusuf dengan pemerintah.

M Jusuf meninggal di Makassar pada 8 September 2004. Selain sempat populer dan mencuat namanya dalam paruh kekuasaan Soeharto, M Jusuf juga diketahui sebagai salah satu saksi Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang menjadi legitimasi kekuasaan Soeharto dari tangan Soekarno. Namun, surat itu sampai kini tidak diketahui keberadaannya, meskipun diketahui M Jusuf merupakan salah satu orang yang diberi kopian dari surat penting tersebut.

Dalam sejumlah catatan, pada 11 Maret 1966, M Jusuf menghadiri pertemuan Kabinet di Istana Presiden, yang pertama sejak Soekarno melakukan reshuffle kabinet pada akhir Februari. Pertemuan tidak berlangsung lama sebelum Soekarno – setelah menerima surat dari Komandan Pengawal – tiba-tiba meninggalkan ruangan.

Ketika pertemuan itu usai, M Jusuf dan Menteri Urusan Veteran Basuki Rachmat, pergi ke luar Istana Presiden untuk bergabung dengan Amirmachmud (Pangdam V Jaya waktu itu). Jusuf diberi tahu, apa yang terjadi dan bahwa Soekarno telah pergi ke Bogor dengan helikopter karena menganggap situasi yang tidak aman di Jakarta.

M Jusuf, yang bersama Basuki Rachmat dan Amirmachmud kemudian bergabung ke Panglima Angkatan Darat, Letjen Soeharto, disebut-sebut sebagai lawan politik terkuat Soekarno di akhir kekuasaannya. Menurut Amirmachmud, Soeharto meminta ketiga Jendral itu memberitahu Soekarno kesiapan untuk memulihkan keamanan, namun Presiden Soekarno harus meminta Panglima Angkatan Darat untuk melakukannya.

Sebuah catatan mengatakan, bahwa M Jusuf kemudian menyarankan bahwa mereka bertiga (M Jusuf, Basuki Rachmat dan Amirmachmud) pergi ke Bogor untuk memberikan dukungan moral kepada Soekarno, yang merasa tidak suka dengan kondisi keamanan saat itu. Di Bogor, ketiganya bertemu Soekarno, dan Amirmachmud mengatakan bahwa semuanya aman.

Soekarno kemudian mendiskusikan bagaimana mengurus situasi yang dianggapnya kurang aman. Amirmachmud menyarankan pada Soekarno, agar memberi beberapa kekuatan pada Soeharto agar bisa memerintahkan pengamanan situasi. Soekarno akhirnya menandatangani dan menyerahkan surat perintah, yang nantinya disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan menyerahkan kekuasaannya pada Soeharto.

Tetapi, ada juga kontroversi mengenai peran Jusuf di Supersemar. Salah satu tulisan menyatakan, bahwa Jusuf datang ke Bogor dengan folder merah muda dengan Supersemar yang sudah dipersiapkan sebelumnya pada kertas berlogo Angkatan Darat. Dan bukan hanya tiga jendral di atas, akan tetapi ada juga jendral lain, yakni Maraden Panggabean ketika mereka bertemu Soekarno di Bogor. Soekarno, menurut versi ini, bahkan kemudian diintimidasi di titik pistol oleh Basuki dan Panggabean, sebelum menandatangani Supersemar yang telah dipersiapkan.

M Jusuf, diberitakan berhasil menyimpan salah satu kopian Supersemar yang sampai kini tak tentu rimbanya itu. (Baik Basuki Rachmat, Amirmachmud, M Jusuf dan juga Maraden Panggabean keempatnya sudah meninggal). Para saksi mata Supersemar semuanya sudah tiada.

Meskipun Amirmachmud dengan halus sempat menuduh M Jusuf ambisius (1983, ketika masih Menhankam/Pangab) dalam suatu pertemuan di depan Soeharto, namun M Jusuf tetap menjadi teman dekat dengan sesama saksi Supersemar tersebut. Sebuah catatan mengatakan, sebelum Amirmachmud meninggal pada 1995, ia sempat meminta agar M Jusuf menghadiri pemakamannya. Namun, M Jusuf tidak dapat menghadiri pemakaman Amirmachmud ini. Jusuf juga menerima surat rahasia dari Amirmachmud.

Ketika M Jusuf mengumumkan niatnya untuk menulis memoar, ada harapan dari berbagai kalangan misteri Supersemar – legitimasi kekuasaan Soeharto dari Soekarno – terkuak. Pada awalnya, Soeharto dipercaya oleh M Jusuf, akan menerbitkan sendiri memoar tentang hal ini. Akan tetapi, Soeharto rupanya berubah pikiran, dan bahkan meminta M Jusuf untuk menerbitkannya dan meminta Sekretariat Negara untuk mempublikasikannya. M Jusuf menolak tawaran Soeharto  ini.

Menurut Ansel da Lopez, setelah lepas sebagai Menhankam/Pangab dan menjadi Ketua Bepeka, Jebderal M Jusuf pernah mengatakan kepadanya bahwa naskah asli Supersemar ada padanya.

"Pak Harto bahkan pernah mengirim Pak Dharmono (Mensesneg Sudhamono SH waktu itu) menanyakan "nasib" naskah asli Supersemar agar selanjutnya bisa disimpan di museum TNI Angkatam Darat. Tetapi saya "usir" dia. Saya bilang, itu milik saya. Pergi kau," tutur Jusuf yang terkenal dengan gaya khas Sulawesi Selatannya jika bicara.

Menurut Ansel, M Jusuf malah mengingatkan dia akan menulis memoar, antara lain berisi tentang Supersemar. "Tapi kalau saya tulis tentang itu, kasihan nasib bangsa ini. Bisa kacau semua," tambahnya lagi seperti ingin mengurungkan lagi niatnya itu...

Dengan meninggalnya seluruh saksi Supersemar sebagai salah satu pegangan kekuasaan Soeharto ketika awal memerintah Republik Indonesia 1966, termasuk meninggal pula M Jusuf pada 2004, maka keberadaan Supersemar yang asli sampai kini tetap menjadi misteri.

***