Kampanye Politik, Salat Subuh dan Kerancuan Politisasi Agama

Penggunaan agama yang "diobral" dalam suatu ekspresi politik demi tujuan kekuasaan akan memberangus nilai kesakralan yang ada dalam setiap ritual Islam.

Selasa, 16 April 2019 | 17:41 WIB
0
398
Kampanye Politik, Salat Subuh dan Kerancuan Politisasi Agama
Ilustrasi salat (Foto: Renungan Islam)

Banyak soal kritikan kampanye akbar pasangan capres-cawapres nomor urut dua, dari mulai soal wujud nyata kepentingan "politikidentitas" hingga kritik dari kalangan internal pendukungnya sendiri yang menyebut kampanye akbar ini sangat ekslusif. Tidak hanya itu, pidato politik capresnya yang melontarkan kata-kata kasar, mungkin menjadi preseden buruk bagi dirinya jika nanti memenangkan kontestasi. 

Barangkali yang paling mengejutkan---untuk tidak menyebut kesalahan besar---adalah salat subuh berjamaah yang tampak "dipaksakan" sebagai bentuk semangat agama demi kepentingan politik. Susunan shaf (barisan salat) yang menyalahi syariat---karena imam salat berada di tengah tidak berada di depan---belum lagi bacaan surat al-Fajr yang dibacakan imam yang tertukar, menjadi petunjuk bagi kentalnya nuansa politisasi agama yang sangat dipaksakan.

Saya sekilas menonton salat Subuh berjamaah dalam konteks kampanye akbar ini di Youtube yang diunggah akun "reborntv" pada 6 April 2019 lalu. Bukan suatu kesalahan---atau kebetulan? Saya kira dimana imam tampak salah ketika membaca surat Al-Fajr di rakaat pertama, ketika membaca ayat 15: "fa amma al-insaanu idzaa ma abtalaahu faqadara 'alaihi.." yang tertukar dengan ayat setelahnya.

Seharusnya, ayat diatas dibaca, "fa amma al-insaanu idzaa ma abtalaahu rabbuhu fa akramahu...". Memang, sekalipun pembacaan surat setelah al-Fatihah dalam salat itu hukumnya "sunnah" namun, motif-motif politik yang ada dibenak sang imam yang kemudian menjadikan bacaan surat itu "salah" jelas sangat disesalkan dan terkesan "mempermainkan" agama.

Sekilas, kesalahan bacaan tersebut tentu saja tidak lazim bagi kebanyakan muslim yang memahami benar setiap kalimat yang dibacakan dari Alquran, terlebih hal itu dilakukan oleh imam (orang yang diyakini memiliki kelebihan dalam hal kecakapan, kefasihan, dan keilmuan agama dalam Islam).

Tertukarnya bacaan yang terjadi pada saat salat Subuh berjamaah di Gelora Bung Karno (GBK) dalam momen kampanye politik, jelas merubah arti dan makna dalam Alquran yang bagi sebagian ulama ortodoks dianggap fatal! Mungkin ada juga sebagian orang dalam benaknya berpendapat, "mungkin Allah menunjukkan kesalahannya melalui bacaan yang salah ketika salat, sebab salatnya bukan karena Allah, tetapi karena hal lain".

Bagi saya, suatu kampanye politik yang jelas-jelas merupakan realitas duniawi, tidak seharusnya dipaksakan seolah-olah itu merupakan bentuk "perjuangan agama", terlebih ada anggapan ekstrim yang menyebut kampanye sama dengan "perang sabil" (perang suci). Hal ini tentu saja sangat berlebihan, bahkan telah membuat "penyimpangan" atau bahkan "kerancuan" dalam mengartikulasikan agama itu sendiri.

Sudah sejak zaman kolonial, bahwa agama secara politis bukanlah suatu hal yang netral, sehingga penggunaan agama dalam kepentingan politik tentu saja lebih kepada penguatan atas gambaran "politik identitas" yang pada akhirnya mengeyampingkan atau "menihilisasikan" berbagai unsur lainnya yang menopang kekuatan politiknya.

Saya tidak menafikan, bahwa agama juga dapat menjadi kekuatan politik yang dapat mempersatukan, sekaligus "menghancurkan". Contoh konkrit dimana agama mempersatukan adalah dalam konteks perlawanan akibat sentimen keagamaan untuk melawan kezaliman kolonial yang terjadi di masa-masa revolusi kemerdekaan. Disisi lain, agama dapat "menghancurkan", ketika didalamnya memiliki motif kuat dalam hal kekuasaan: mendapatkan keuntungan duniawi---yang dalam konteks peperangan pada zaman awal Islam disebut "maghanim katsirah" (harta rampasan perang)---sehingga motif kesadaran etik tergerus oleh keinginan berkuasa.

Mungkin sangat tidak lazim, fenomena kampanye politik seperti yang digelar pasangan Prabowo-Sandi di GBK hari Minggu lalu, dengan didahului oleh salat Subuh berjamaah. Salat tentu saja merupakan proses sakral, dimana seorang hamba "berdialog" dengan Tuhannya dalam keadaan suci dan benar-benar diliputi kekhusyukan. Pertanyaannya, bagaimana para peserta kampanye itu berwudu?

Benarkah posisi imam yang berada di tengah sementara makmum mengelilinginya? Bagaimana soal shaf yang secara syariat ditentukan bahwa laki-laki di barisan depan dan perempuan di barisan belakang? Belum lagi soal bacaam imam yang salah, bagi saya ini bentuk kerancuan fatal dalam konteks perlakuan agama secara politis.

Alangkah lebih baik, jika kampanye yang notabene mengejar keinginan-keinginan duniawi tak seharusnya dicampuradukkan dengan ritual keagamaan, terlebih ritual wajib yang sangat sakral bagi umat Islam. Saya saja terkejut, ketika pertama kali melihat potongan video soal ini yang viral, dimana imam di awal hendak memulai salat bahkan menyebutkan bahwa "kita akan melaksanakan salat sunnah berjamaah" kemudian diralat dengan, "melaksanakan salat wajib berjamaah"?

Saya malah beranggapan, sungguh gambaran ini menunjukkan betapa naifnya mereka yang hadir tanpa sedikitpun mempertanyakan keabsahan tata cara salat, nilai kesakralannya, atau syarat-syarat lainnya yang terkait dengan praktik salat berjamaah.

Namun, lagi-lagi jika ini sudah menjadi "skenario" bagi kepentingan politik tertentu, kritik apapun yang dilontarkan tentu saja akan dianggap sebagai bentuk "keberpihakan" kepada kezaliman dan dianggap barisan yang tidak peduli atas perjuangan agamanya. Atau paling tidak, mereka akan membuat alasan-alasan defensif-apologetis, atau dibumbui oleh dalil-dalil agama yang dipaksakan secara politik untuk mempertahankan "kebenaran" tindakannya.

Lebih jauh, mungkin akan banyak spekulasi-spekulasi negatif yang pada akhirnya menilai mereka yang berkampanye politik tetapi dengan "kedok" agama yang dijadikan alasan perjuangan politisnya, tidak saja "menjual" agamanya, tetapi "mengobralnya" dengan harga yang sangat murah.

Saya justru khawatir, bahwa penggunaan agama yang "diobral" dalam suatu ekspresi politik demi tujuan-tujuan kekuasaan duniawi, pada akhirnya memberangus nilai kesakralan yang ada dalam setiap ritual agama Islam itu sendiri.

Ketika tidak ada lagi yang "sakral" maka yang tersisa adalah bentuk-bentuk "temporal" yang pada akhirnya melahirkan "liberalisme" akut terhadap seluruh nilai-nilai agama. Jika liberalisme dalam pemikiran dalam hal proses ijtihaddalam mencari kebenaran pengetahuan, sejauh ini justru bermanfaat dan dapat dibenarkan. Akan berbeda jika kemudian nilai-nilai agama yang sakral justru tanpa sadar ditutup kesakralannya oleh dorongan hasrat keduniaan demi kepentingan kekuasaan sesaat.

***