Jogja Tidak Lagi Istimewa

Rabu, 19 Desember 2018 | 08:09 WIB
0
768
Jogja Tidak Lagi Istimewa
Salib yang dipotong (Foto: Suara.com)

Hari ini saya mendarat di Jogjakarta. Tapi seliweran gambar di timeline membuatku tertegun. Sebuah kisah, tentang iman yang rapuh dan dangkal.

Seorang Katolik wafat. Penduduk setempat melarang nisan berbentuk salib ditancapkan di makamnya. Mereka mungkin percaya, sebuah makam juga beragama.

Saya dulu suka menikmati sebuah lagu dari Jogja Hip-hop Fondation. "Jogja, Jogja, Tetap istimewa. Istimewa negerinya, istimewa orangnya..."

Sebuah lagu pembelaan pada kekuasaan Raja Jogjakarta ketika DPRD I Jogjakarta ingin mengubah kekuasaan kesultanan. Para budayawan melawan. Rakyat menentang. Mereka tetap mau Jogjakarta dipimpin oleh Sultan. Raja Jawa yang masih tersisa di tanah Jawa.

Tapi kini Jogja tidak lagi istimewa. Secara politik, memang masih disebut daerah istimewa. Cuma itu saja. Gak lebih. Ketika di Jogja sebagian masyarakat kerepotan imannya hanya karena sebuah nisan berbentuk salib, lalu dimana istimewanya Jogjakarta?

Sebelum ini, kita mendengar ada warga Jogja mengatasnamakan Islam yang memprotes bakti sosial sebuah gereja. Mereka menuding kristenisasi. Di kali lain, mereka membubarkan diskusi tentang perempuan. Kali lainnya, mereka membubarkan acara Kasus Fast.

Yang terakhir terdengar, demo hari buruh di Jogjakarta rusuh. Ada pengrusakan dan bom molotov. Pendemo beringas menghancurkan fasilitas umum.

Apakah yang istimewa dari rakyat yang begitu beringas dan cetek imannya?

Jogja tidak lagi istimewa karena kini ideologi Wahabi merasuk ke warganya. Mereka beragama mau menang sendiri.

Jogja tidak lagi istimewa karena membiarkan kelompok ekstrim menguasai ruang publik dan membuat ulah.

Jogja tidak lagi istimewa karena Islam diposisikan menjadi agama penuh kecurigaan berhadapan dengan umat beragama lain.

Jogja tidak lagi istimewa karena toleransi dikoyak-koyak sampai robek.

Malam ini saya masih mendengar Gending mendayu ketika mengiringi makan malam. Mungkin jika kedegilan sebagian warga Jogja dibiarkan, Gending itu akan berganti. Saya gak bisa membayangkan, makan malam di Jogja diiringi putaran kaset ceramah Rizieq.

Jogja adalah kota pariwisata kedua setelah Bali. Tapi jika ulah para bigot dibiarkan terus, wisatawan akan lari. Buat apa mendatangi daerah yang masyarakatnya beringas dan jauh dari toleransi.

Saya yakin, warga Jogja yang toleran dan mencintai wilayahnya sebagai kiblat budaya Jawa, jauh lebih banyak. Tapi jika mereka terus berdiam diri, lama-lama Jogja akan berubah menjadi gurun tandus. Bukan tandus tanahnya. Tapi tandus hati masyarakatnya.

Di Jogja saat ini, keluarga sultan sedang gamang kehilangan kekuasaan karena tidak punya menerus lelaki. Sementara sebagian masyarakatnya sedang memperkenalkan sikap beragama yang norak.

Jogja akan kehilangan keistimewaan jika warganya diam saja terhadap kelakuan orang yang kerasukan jin gurun pasir.

"Mas, tahu gak kenapa mereka takut sama salib?" celetuk Abu Kumkum.

"Gak..."

"Karena mereka keturunan vampire. Jangankan salib. Sama topi Santa mereka juga takut kok..."

***