Berjumpa Kang Sejo

Saat bertemu, saya langsung menyambar tangannya. Mencium bolak-balik. Dari tangan dan jari-jari inilah saya pernah menerima ilmu secara tidak langsung.

Kamis, 2 September 2021 | 09:37 WIB
0
184
Berjumpa Kang Sejo
Saya, Denny Siregar dan Kang Sobary (Foto: DOk. pribadi)

Tetiba sebuah pesan nyelonong masuk. "Hallo bung. Apa kabar!"

Saya ragu menjawabnya. Ini dari siapa?

"Aku Sobary. Bung luar biasa. Tulisan dan videonya sering saya nikmati. Saya mau mampir ke tempat bung. Ada kopi enak, mau saya bawakan buat bung, " ujarnya. Serasa akrab sekali.

Sobary? Saya mengorek ingatan. Benarkah ini Mas Sobary yang itu? Yang selama puluhan tahun saya anggap sebagai guru saya meski gak pernah bertemu muka secara langsung?

Sejak mahasiswa saya selalu membaca Kompas minggu. Selain cerpen, artikel yang gak pernah saya lewatkan adalah esay menarik yang tampil saban minggu. Salah satu penulis favorit saya adalah Mas Sobary ini.

Tulisannya renyah. Isinya dalam. Cara bertuturnya ringan namun padat dengan makna.

Saya ingat sebuah buku kumpulan tulisan Kang Sobary yang fenomenal, Di Bawah Payung Agung. Salah satu artikel yang bikin saya merinding berjudul Kang Sejo Melihat Tuhan.

Ahh, artikel itu begitu indah. Begitu syahdu. Tentang seorang tukang pijit tunanetra yang berproses mencari kebenaran bathin.

Kang Sejo, dalam kegelapan mata lahirnya. Sanggup memandang Tuhan dengan mata bathinnya.

Atau kisah mengenai seorang tukang becak. Yang mulai mendalami ruang spiritualnya. Tukang becak ini kental dengan lidah jawanya. Logatnya medok. Ia gak bisa mengucapkan alhamdulillah dengan tepat.

Yang keluar selalu alkamdulillah. Seperti juga ia sering gagal menyebut haji, yang keluar pasti kaji.

Ia mencari guru yang bisa membimbingnya bermesra dengan Tuhannya. Tapi lidahnya yang kaku sering membuat gurunya risih. "Kalau alhamdulillah, bacanyaya, alhamdulillah. Jangan alkamdulillah. Bisa lain artinya. Bisa dosa kita!, " begitu nasihat seorang ustad.

Abang becak keder. Mau ngaji mala tambah dosa.

Akhirnya ia ketemu seorang kyai. Minta diberi nasihat. Sang kyai merumuskan hal sederhana. "Baca saja lahawla walakuwata illabillah. Tidak ada data upaya kecuali Allah yang maha tinggi kekuatannya..."
"Wolowolo kuwoto, " ucap sang abang beca mengikuti.
"Lahawla walakuwata... "
"Wolowolo kuwoto... " ujarnya lagi.
San kyai tersenyum. "Ya sudah. Wolowolo kuwoto, " ujar sang Kyai. "Dibaca setiap hari. Setiap saat. "

Abang becak itu senang. Lidahnya yang kaku tidak menjadi penghalang komunikasinya dengan Sang Khalik. Setiap hari ia melafalkan 'wolowolo kuwoto, ' dengan perasaan yang penuh.

Dengan kesadaran sempurna bahwa manusia tidak punya daya upaya apa-apa, kecuali atas kehendak Allah. Ia hidup lebih sumeleh. Abang becak itu hidup tenggelam dalam kepasrahan total pada ilahi.

Tulisan Kang Sobary selalu menggambarkan tokoh yang sederhana. Tokoh yang hidup di pinggiran sejarah. Komitmen dan keberpihakannya pada orang kecil begitu kuat.

Jadi saat sore itu sang guru telepon saya, hati saya senang bukan main. Seperti anak kecil yang dapat permen. Siapa yang tidak gembira bertemu idolanya?

Saat bertemu, saya langsung menyambar tangannya. Mencium bolak-balik. Dari tangan dan jari-jari inilah saya pernah menerima ilmu secara tidak langsung.

Saya informasikan pertemuan itu ke Denny Siregar. Denny menyambut antusias.

Ah, sama saja. Saat pertama jumpa yang dilakukan Denny sama seperti saya. Mencium bolak balik tangan Kang Sobary.

Lalu kami berkisah macam-macam. Mendengar obrolan gayeng sang senior. Sambil cekakak-cekikik. Kang Sobary masih menyimpan segudang kisah humor yang selalu menarik.

Sama seperti tulisan-tulisannya.

Ah, indahnya sore itu. Saya bisa ngalap berkah dari idola saya.

Eko Kuntadhi