Proses Kreatif Saya Mengarang Novel (2): Ending

Tidak tanggung-tanggung: Julius Siyaranamual. Demi menghormatinya, saya ikut saja, hingga kisahan itu tamat.

Rabu, 30 Juni 2021 | 10:53 WIB
0
275
Proses Kreatif Saya Mengarang Novel (2): Ending
Dua kali ganti judul. Orinya, pertama kali muat bersambung, Tetes Cinta yang Tercecer. Di tengah jalan, Redaksi menganti

Hanya dua saja penting dalam novel.

Pertama, awalan (opening).

Kedua, akhiran (ending).

Kedua-duanya bagai pintu: depan dan belakang. Meski Koes Plus bilang, "Jangan lewat pintu belakang!" dalam novel, pintu belakang, alias ending atau closing itu, pokok. Ia resolusi dari konfik yang dibangun sang pengarang.

Hanya ada 3 teknik mengakhiri sebuah kisah: 1) akhir-gembira (happy ending), 2) akhir-sedih (sad ending), dan 3) akhir-datar (flat/ open ending). Tutupan kisah harus kembali ke tone, nada dasar, yang menjadi inti kisahannya.

Dalam teori "Creative Writing", bangun serangkai-cerita disebut: The Story Mountain - Gunung Kisahan. Terlampau sempit ruang ini untuk kita bahas hal itu. Baiklah! Akan dinukilkan pada narasi yang berikutnya. Itu pun, jika kuliah, sedikitnya 3 kali pertemuan membahas hanya bangun-kisahan itu.

Gagasan awal bangun gunung-cerita itu dari Aristoteles. Ketika manusia setengah dewa itu membahas seni dalam retorika yang-kena khalayak. Wacana yang berdaya-terpa, sekaligus berhasil-guna. Kemudian, dalam karya sastra. Teori itu dikembangkan oleh Gustav Freytag. Tapi, sudahlah! Itu untuk bahan kuliahan saja!

Kita langsung to the point. Tentang akhir dari serangkai cerita, dalam novel.

Nah, jalinan kisah antar-peristiwa dalam bangun The Story Mountain. Mulai dari opening hingga ending itulah yang dalam pelajaran mengarang di sekolah kita dulu disebut: plot, atau alur cerita.

Saya lalu teringat. "Setiap orang," kata peraih Sastra Nobel berkebangsaan Amerika, Toni Morrison. "Pada galibnya punya sebuah novel yang belum ditulis. Yakni kisah hidupnya sendiri."

Betul sungguh kata wanita pujangga kulit hitam Amerika itu. Hidup memang bagai babakan kisahan novel. Seperti novel ini, yang saya tulis berdasar-fakta, kisahan hidup nyata seorang ibu yang berkisah pada saya. Honornya waktu itu saya bagi dua padanya. Karena ia yang empunya kisah, saya menuliskannya saja dalam bentuk novel.

Ada 3 saja teknik mengakhiri sebuah kisah:

1) akhir-gembira (happy ending)

2) akhir-sedih (sad ending)

3) akhir-datar (flat/ open ending)

Ini pun akan dibahas sendiri.Namun, baiklah kiranya kita langsung masuk contoh.

Ending novel diambil dari contoh sendiri, ya? Bukan somse, atau selfi. Sebab lebih afdol dan enak petik dari pengalaman langsung, bukan katanya, katanya. Manalagi, karya fiksi itu: subjektif. Ia amat sangat milik-personal. Karena itu, disebut: style. Dari kata Latin, "stylus" yang secara harfiah berarti: pensil? Bukankah pensil itu personal. Untuk menulis apa saja, di masa lalu. Maka guru kita, yang hebat itu, tahu nyontek atau tidak dari gaya dan perolehan kosa kata muridnya. Selain dari diksi serta cara seseorang di dalam mengungkap atau menarasikan suatu objek atau peristiwa.

Dua kali ganti judul. Orinya, pertama kali muat bersambung, Tetes Cinta yang Tercecer. Di tengah jalan, Redaksi mengganti "Tercecer" dengan: "Terakhir". Saya ingat dan kenal betul Redaktur Fiksi harian Surya ketika itu. Ia sastrawan senior Indonesia. Tidak tanggung-tanggung: Julius Siyaranamual. Demi menghormatinya, saya ikut saja, hingga kisahan itu tamat.

Lagi pula, akan ada kisahnya sendiri. Sebagai tonggak sejarah proses kreatif kepengarangan saya. Pernah ganti judul novel, dua kali, selama dimuat bersambung di koran. Unik, kan?

Karya fiksi itu: subjektif. Amat sangat personal. Karena itu, disebut: style. Dari kata Latin, "Stylus" yang secara harfiah berarti: pensil. Pensil itu personal. Untuk menulis apa saja, di masa lalu.

Simak Babakan Penutup novel Tetes Cinta yang Tercecer yang berikut ini. Tutupan kisah, harus kembali ke tone, nada dasar yang menjadi inti kisahannya.

# 7
PAGI datang pagi pergi. Malam menjelang malam hilang. Fajar menyingsing fajar kembali lagi. Gerimis menitis, hujan air mata.

Semua peristiwa alam itu tak kuketahui, apalagi kualami.
Semejak peristiwa itu, aku jatuh sakit. Kata orang di sekitarku, panas tubuhku tinggi, melebihi empat puluh derajat Celcius.

Aku terus mengigau. Kata-kataku meracau. Siang dan malam harus dijaga dan semua mencemaskan keadaanku.
Lama juga aku berada di antara sadar dan tidak. Kadang kudengar orang bergumam di sampingku lebih berdengung.

Dalam tidurku yang gelisah, aku melihat ibu datang menggapai tanganku. Tetapi ibu sangat jauh sekali. Entah berada di mana? Kulihat sebuah taman berpagar tinggi dan ibu berada di sana melambaikan tangannya. Lalu, atang seorang berbaju putih berwajah cantik sekali mendorongku agar menjauh.
Aku ingin berteriak memanggil ibu. Namun, yang keluar hanyalah sebuah keluan. Dan tempatku berpijak sangatlah panas, sehingga aku merasa haus sekali.

Dalam tidurku yang panjang, aku merasa berjalan pada lorong yang panjang gelap, serta dingin. Jalan berbatu tajam, pedih sekali kakiku. Berjalan di bukit dan jurang mengejar bayang-bayang ibu yang semakin jauh. Kakiku sakit terasa berdarah. Tetapi ibu tetap membisu. Ia hanya memandangku dengan sedih. Aku ingin ikut ibu. Tetapi, mengap begitu sukar dan berliku? Dan bila hampir mencapai pada gapaian, tiba-tiba ada kekuatan ajaib yang mendorongku agar aku pulang kembali.

Dalam tidurku yang panjang tampak anak-anakku menangis mengejarku. Kurasa bajuku ditariknya meminta kukembali.

Aku berdiri di simpang jalan keraguan. Adakah aku harus terus mengejar ibu atau aku harus kembali?
Kulihat ayah berdiri dengan bengis. Sebuah pedang tergenggam di tangannya. Bu Nani berdiri di dekatnya dengan tertawa terbahak-bahak. Aku sangat ketakutan sekali.

Kulihat wajah Bu Nani berubah menjadi wajah seekor serigala yang siap menerkamku. Kulihat adik-adikku berada dicengkramannya. Aku menjerit-jerit ketakutan. Tetapi ibu hanya melihat tanpa berbuat apa-apa.
Semua datang mengejarku. Ayah dan Bu Nani. Aku berlari dan terus berlari mencari perlindungan, namun tidak satu pun yang mau datang menolongku. Sampai akhirnya aku terjatuh ada sebuah jurang yang dalam serta gelap sekali. Tidak tampak apa-apa. Yang ada, hanyalah hitam pekat.

Selama dua minggu aku berada antara hidup dan mati. Selam itu pula semua orang mencemaskan keadaanku. Tak satu pun dari saudar-saudaraku yang mau jauh dariku. Semua takut aku mati. Ketika kesadaranku pulih, yang pertama kucari adalah ibuku. Pada rasaku, ibu berada di sampingku.
“Ibu… mana ibu? Mengapa aku ditinggal lagi?” aku bertanya.
“Siapa Dik Sri? Siap yang dicari?” aku mendengar suara Mas Anto didekatku.
Masih ada suara lain yang menggema di sekitarku.
“Entahlah. Mungkin belum sadar,” jawab yang lainnya.
“Aku mau minum,” tiba-tiba aku merasa haus dan telah sekali. Dan perasaan asing menghinggapi hatiku. “Aku berada di mana?” kembali aku bertanya, seakan beru terbangun dari sebuah mimpi panjang.
“Sri, kamu sudah dengar nak? Ini bude, Mita,”kucari suara itu dengan pandangan nanar. Aku tahu itu suara kakak ibuku yang tinggal di Ambon. Aku dengar isak tangis yang sedih di sebelahku.
“O…syukurlah! Sudah sadar? Tolong ambilkan minum.”

Mas Anto menyuapkan air hangat kemulutku. Terasa segar sekali. Barulah aku mengetahui siapa yang berada di sekitarku. Selain adik-adik dan anak-anakku, masih ada Bude Mita, kakak ibu satu-atunya. Juga Paman Mudie, Paman Surya, dan Bibi Arum.

Kulihat ayah makin tampak tua. Yang tak kulihat Bu Nani. Ke manakah dia?
“Sri, ini ayah, nduk. Kamu sudah sadar? Nah, ini ayah menunggumu terus. Bangunlah Sri!” suara itu penuh kasih sayang.

Kutatap ayah. Dan tiba-tiba aku teringat betapa aku menderita begini juga karena dia dan istrinya. Sakit hatiku membuat aku menangis. ”Sudahlah Sri, jangan menangis. Tabah ya nduk,” kata Bibi Arum membelaiku.
“Mana ibu? Mana? Aku mau ikut ibu saja. Aku tidak tahan tinggal di sini,” seduku di pelukan Bibi Arum. “Sri,ingat! Lihatlah anakmu. Semua tidak ingin kamu tinggal. Tabahlah! Biarkan yang sudah pergi. Kita doakan saja, agar tenang arwahnya. Ingatlah Sri, ibumu tidak senang kalau kamu dsedih terus. Jangan halangi perjalanananya,” Bi Arum menghiburku.

Di sudut sana, ayah berkali-kali tampak manyusutkan airmata. Dengan lenngkah berat ia mendekatiku. “Sudahlah, Sri. Maafkanlah ayah. Semuanya ini memang salahku,” kata ayah dengan suara terserak.

Baru kusadari betapa lemah dan rapuhnya seorang lelaki. Angin dingin terasa menyejukkan. Di ujung kerinduan dan kembalinya serpih-serpih cinta masa lalu, ayah menenggelamkan kepalaku perlahan-lahan ke dadanya.
Kembang mawar di taman tak henti-hentinya meluruhkan daun-daun. Menyiapkan kembali kelopak cintanya yang telah lama tercecer….

Begitu cara saya menutup serangkai (bukan sebuah, sebab tak-ada buahnya) novel.

Bagaimana stylus Anda?

***