Karena Tidak Terlihat

Bisakah fenomena pengabaian oleh orang-orang terbelakang, bodoh, jahat, atau campurannya itu dihilangkan, hingga mereka ikut aturan atau ketentuan yang berlaku universal?

Minggu, 9 Mei 2021 | 05:51 WIB
0
131
Karena Tidak Terlihat
Polisi memeriksa pemudik (Foto: tempo.co)

Per hari 8 Mei 2021, jumlah kendaraan yang dipaksa putar balik oleh petugas karena diketahui bertujuan mudik, sudah sekitar 25.000 unit. Tindakan petugas tersebut untuk menegakkan ketentuan Pemerintah, melarang masyarakat untuk mudik Lebaran 2021 (6 -17 Mei 2021), demi mengurangi penyebaran Covid-19.

Pelarangan mudik sudah diumumkan jauh-jauh hari, dan masyarakat sudah tahun akan hal itu. Tapi ... sebagian masyarakat tetap melakukan perjalanan mudik. Mereka berkeyakinan, tidak akan ketahuan. Atau ... kalaupun ketahuan bisa bernegosiasi dengan petugas.

Dari kasus itu, bisa ditarik hipotesis bahwa di masyarakat ada banyak orang yang tidak percaya bahwa virus Covid-19 itu ada. Atau ... berkeyakinan bahwa dirinya, keluarganya, dan keluarganya di kota tujuan mudik tidak akan terpapar. Apakah mereka tidak punya arguentasi atas pemikiran, sikap, dan tindakannya itu? Pasti punya, meski argumentasinya absurd, ngaco.

Kenapa mereka bisa begitu? Karena (dalam konteks ini) virus Covid-19 itu tidak terlihat. Begitupun aparat yang bertugas di beberapa titik di jalur mudik. Ketika mereka berangkat dari rumah, para petugas itu tidak terlihat, tidak berada di depan matanya. Jadi mereka abaikan.

Nah fenomena mengabaikan yang tidak terlihat ini, adalah persoalan peradaban (mental, pemikiran, sikap, dan tindakan). Bukan hanya terkait dengan virus Covid-19, petugas yang berjaga di jalur mudik, tapi semua subyek yang tidak terlihat langsung di depan matanya, pun pasti mereka abaikan.

Fenomana ini bisa terjadi karena keterbelakangan pemikiran, atau karena besarnya dorongan untuk melakukan sesuatu dengan mengabaikan ‘subyek yang tidak terlhat’ sangat besar.

Maling, koruptor, penjahat, tahu bahwa polisi itu ada. Tapi karena pada saat mereka akan melakukan tindakan (mencuri), dorongannya sangat besar, dan polisi tidak ada di depan matanya, maka terjadi. Ketika mereka tertangkap, bisa nangis dan minta dimaafkan, atau mengemukakan argumentasi yang absurd tadi.

Bukan hanya itu, dalam satu urusan yang melibatkan banyak pihak, sering terjadi kesepakatan di antara dua pihak atau lebih, untuk melakukan tindakan yang menurutnya bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka, dengan mengabaikan pihak (orang) lain, yang saat itu tidak berada di depan matanya. Padahal mereka tahu, kesepakatan diam-diam itu merugikan, mengecewakan, mengganggu, pihak yang saat itu tidak berada di depan matanya.

Meski sudah banyak orang yang ditangkap, tetap saja banyak orang yang menyebar hoak, fitnah, ujaran kebencian, dan hasutan di media sosial. Tetap saja banyak orang yang mencari keuntungan (duit) dengan cara menipu. Kenapa? Karena saat akan melakukan tindakan itu, polisi tidak terlihat, akibatnya tidak terlihat, konsekuensinya juga tidak terlihat.

Meski tiap tahun terjadi kekeringan di musim kemarau atau banjir - tanah longsor di musim hujan, mereka tidak menjadi sadar untuk menanam pohon. Karena, jika tidak kejadian, maka tidak percaya bahwa kekeringan, banjir, longsor itu bisa terjadi.

Jadi, bagi mereka yang terbelakang, bodoh, atau jahat, segala sesuatu yang tidak terlihat (yang abstrak, akibat yang baru akan terjadi di kemudian waktu, konsekuensi, fenomena –seperti inflasi, resesi, dekadensi, dll.-, subyek yang hanya bisa dilihat dengan alat –seperi virus-, sangat mudah untuk diabaikan.

Bahkan, subyek-subyek yang nyata pun, seperti polisi, petugas, teman, saudara, tetangga, mitra, atau siapapun, selama pada saat mereka tidak terlihat di depan matanya, juga bisa diabaikan. Bahwa kemudian muncul persoalan baru akibat dari pengabaian tersebut, itu gimana nanti. Ini fakta yang ada di sekitar kita.

Bagaimana untuk memastikan keberadaan orang-orang seperti itu tidak merugikan orang lain? Diterapkan peraturan yang sifatnya memaksa, tanpa kompromi. Lebih bagus lagi implementasi peraturan tersebut dijalankan oleh sistem (mesin). Contohnya, di stasiun KRL. Hanya mereka yang punya kartu (e-money) dengan saldo yang cukup, bisa masuk area dalam stasiun, bisa naik kereta. Tidak ada negosiasi.

Bisakah fenomena pengabaian oleh orang-orang terbelakang, bodoh, jahat, atau campurannya itu dihilangkan, hingga mereka ikut aturan atau ketentuan yang berlaku universal? Bisa. Caranya dua. Pertama, jika Tuhan menghendaki (jika kita sepakat Tuhan itu ada). Kedua, jika orang-orang itu tidak ada lagi. Karena berkomunikasi dengan mereka adalah kesia-siaan.

Kenapa begitu? Karena waham ‘tidak percaya pada sesuatu yang tidak terlihat’ yang sifatnya destruktif, adalah permanen, melekat, tidak bisa diubah. Ketika tertangkap polisi, seorang maling akan teriak-teriak minta ampun, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi, setelah orang itu bebas dari hukuman, lalu kembali mendapatkan peluang untuk mencuri, dia akan mencuri lagi. Karena saat itu polisi tidak terlihat di depannya.

Lalu bagaimana dengan Tuhan, surga, neraka? Sejatinya, pada waktu-waktu tertentu (saat berkepentingan) semua itu pun mereka abaikan. Karena tidak terlihat. Hal yang bisa mereka tunjukkan seolah mereka mengenal dan dekat dengan Tuhan, takut neraka, ingin surga hanyalah simbol-simbol semata. Hanya untuk diketahui oleh orang lain.

Pokoknya bangke dah!

***