Jalan Ibn Rushd, Beragama Tak Berarti Tinggalkan Akal

Beragama tak boleh meninggalkan nalar; sebaliknya bernalar harus pula dituntun dengan agama.

Minggu, 2 Mei 2021 | 07:12 WIB
0
173
Jalan Ibn Rushd, Beragama Tak Berarti Tinggalkan Akal
Buku karya Al-Razi (Foto: dok. Pribadi)

Ada asumsi di sebagian kalangan: jika seseorang sudah beragama, nalarnya akan berhenti. Jika mau tetap menjadi manusia bernalar, rasional, tinggalkan agama. Hanya ada dua pilihan: agama atau nalar. Tidak bisa dua-duanya. 

Cara pandang "either/or," "imma jadza aw dzak," atau-ini-atau-itu semacam ini dianut oleh sebagian kalangan di dalam Islam sendiri, maupun kalangan yang sudah meninggalkan agama sama sekali. Ada sebagian kalangan Islam yang takut sama sekali pada akal, dan menakut-nakuti orang-orang yang memakai pendekatan rasional dalam beragama.

Saya amat tidak setuju dengan pandangan semacam ini. Peradaban Islam sejak masa yang paling dini sudah menunjukkan bahwa seseorang bisa beragama dan tetap menggunakan nalar.

Ajaran Islam sendiri mendorong pemeluknya untuk beragama dengan nalar; tak boleh "anut-grubyug."

Peradaban pemikiran Islam sejak dulu menunjukkan capaian cemerlang di bidang penalaran ini. Saya mau ambil satu contoh: Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210), "the great mind" dari Persia yang hidup di abad ke-12. Ia meninggalkan warisan intelektual yang menakjubkan, salah satunya adalah kitab bertitel "al-Mathalib al-'Aliyah Min al-'Ilm al-Ilahi," maha-karya dalam bidang teologi Asy'ariyah.

Membaca buku ini, saya layaknya seorang turis yang ngungun-takjub di depan pemandangan ajaib; saking takjubnya, ia seperti seseorang yang "kesambet oyot mimang" (terkena sihir akar mimang). 

Karya-karya al-Razi menunjukkan satu hal: beragama tidak berarti meninggalkan akal. Beragama justru harus berakal. Dan berakal seharusnya dituntun dengan wahyu dari agama. Membaca karyanya ini, kita menyaksikan "the great show of reasoning." 

Inilah yang saya sebut Jalan Ibnu Rushd (w. 1198). Ibn Rushd adalah filsuf dan sekaligus ahli fikih dari Maroko yang hidup seabad sebelum al-Razi. Dialah yang mendalilkan bahawa antara wahyu dan akal tak ada pertentangan.

Semua ulama dan filsuf Islam dari zaman pra-klasik, klasik, pasca-klasik, hingga era, berjalan berjalan di atas Jalan Ibn Rushd ini, termasuk Imam Ghazali.

Inilah warisan peradaban kita sebagai Muslim: beragama tak boleh meninggalkan nalar; sebaliknya bernalar harus pula dituntun dengan agama.

***