Lelaki dari Nippur

“Korupsi" di tingkat bawah seperti juga pungutan KTP, misalnya, adalah cerminan persoalan besar yang membelit negeri ini. Itulah kebobrokan moral dan etika, penyimpangan, dan perusakan.

Minggu, 19 Juli 2020 | 08:34 WIB
0
203
Lelaki dari Nippur
Ilustrasi korupsi (Foto: okezone.com)

Guru, apakah korupsi itu sama seperti prostitusi, sudah ada setua peradaban manusia?

Begitu pertanyaan yang diajukan seorang murid kepada Guru yang belum sepenuhnya duduk di batu hitam, “singgasananya” saat memberikan wejangan-wejangan, tausiyah, nasihat kepada para muridnya. Dengan pandangan mata menyejukkan, yang membuat semua hati para muridnya tentram dan damai, merasa dilindungi, Guru tersenyum. Senyum orang bijak yang menaburkan pengetahuan.

Dengarkanlah, ceritaku ini. Katanya kemudian:

Dahulu kala, di Mesopotamia kuno, hidup seorang lelaki. Gimil-Ninurta, nama lelaki itu. Sekarang wilayah itu ada di Irak bagian selatan, terletak di antara dua sungai besar, Eufrat dan Tigris. Mesopotamia, dalam bahasa Yunani berarti “(daerah) di antara sungai-sungai”. Nama Mesopotamia sudah digunakan oleh para penulis Yunani dan Latin kuno, seperti Polybius (abad 2 SM) dan Strabo (60 SM-20 M).

Dari daerah inilah Bapak Orang Beriman, Abraham/Ibrahim, berasal. Salah satu warisan peradaban Mesopotamia Kuno yang amat bernilai bagi umat manusia adalah kumpulan hukum yang biasa disebut Codex Hammurabi. Disebut Codex Hammurabi, karena penyusunan Codex itu di zaman Raja Hammurabi (1728-1686 SM).  

Kumpulan hukum yang berbentuk balok batu hitam itu ditemukan di Susa tahun 1901 dalam suatu ekspedisi yang dilakukan arkeolog Perancis di bawah pimpinan M de Morgan. Pada bagian atas balok, yang kini ada di Museum Louvre, Paris, ada relief yang menggambarkan Raja Hammurabi sedang menerima hukum dari Dewa Shamash, dewa Matahari yang juga menjadi dewa pelindung keadilan.

Sengaja, aku jelaskan tentang Mesopotamia, meski hanya beberapa kata, agar kamu semua tambah wawasannya dan tahu tentang Mesopotamia.

Gimil-Ninurta, lelaki miskin, tetapi warga merdeka. Artinya bukan budak orang lain, memiliki hak bersuara. Ia tinggal di Desa Nippur. Harta satu-satunya yang ia miliki adalah seekor kambing.  

Suatu hari, Gimil-Ninurta pergi ke kota untuk memperbaiki nasib. Tidak lupa hartanya—kambing—dibawa serta.  Dituntunnya sepanjang jalan. Tujuan utama ke kota adalah untuk menemui penguasa kota, seorang walikota.

Begitu tiba di rumah walikota, ia tidak diterima, dan hanya disuruh menunggu di luar. Karena, ia miskin. Tetapi, ketika mendengar bahwa lelaki miskin itu membawa seekor kambing, walikota mau menemui, pada akhirnya.

Sambil berjalan untuk menemui Gimil-Ninurta, walikota memarahi budaknya, karena tidak sedari awal melaporkan bahwa lelaki miskin itu membawa seekor kambing yang akan dipersembahkan padanya. “Ada persoalan apa hai lelaki miskin, kamu datang ke sini sambil menuntun seekor kambing, yang akan kamu persembahkan padaku?” tanya walikota.

Gimil-Ninurta, tidak mengatakan apa-apa ketika mendengar pertanyaan itu. Ia hanya memberikan salam hormat dengan tangannya dan memohon berkat. Lalu, menyerahkan harta satu-satunya itu kepada walikota. Ia yakin dengan berbuat begitu, nasib hidupnya akan menjadi lebih baik.

Dengan suka-cita walikota menerimanya. Lalu, mengatakan akan segera menggelar pesta dengan menyembelih kambing dari Gimil-Ninurta. Setelah kambing disembelih dan dimasak, lelaki yang menjadi lebih miskin itu—karena sudah tidak memiliki harta lagi—diberi bagian. Tetapi, ia hanya diberi tulang dan otot-otot yang menempel pada tulang serta air putih.

Meski dikuasai rasa takut, Gimil-Ninurta bertanya, “Mengapa aku hanya mendapatkan tulang dan otot, serta air putih?” Ia tidak mendapatkan jawaban, kecuali pukulan dari para pengawal walikota.

Muncul dendam dalam hati Gimil-Ninurta dan akan membalasnya. Ia segera pergi ke kota-raja untuk menemui raja. Kepada raja, ia mengatakan akan meminjam kereta kencana raja sehari saja. Dan, sebagai bayarannya ia akan memberikan emas.

Begitu mendengar kata “emas”, tanpa pikir panjang, raja mengabulkan permintaan Gimil-Ninurta. Meskipun, sebenarnya ia tidak memiliki emas sama sekali. Raja juga tidak meminta untuk melihat emas itu.

Maka dengan naik kereta kerajaan, pergilah ia menemui walikota. Begitu melihat kereta kerajaan, walikota dengan senang hati menerima kehadiran Gimil-Ninurta, karena dianggapnya lelaki miskin itu telah menjadi utusan raja, pejabat tinggi kerajaan. Bahkan Gimil-Ninurta diberi kamar istimewa. Gimil-Ninurta masuk kamar sambil membawa sebuah kotak.    

Setelah menaruh kotak di dalam kamar, ia keluar menemui walikota, berbincang-bincang. Tak lama kemudian masuk ke kamar lagi. Tetapi, sesaat kemudian keluar dan menemui walikota lalu memukulinya. Sambil memukuli walikota, Gimil-Ninurta mengatakan “Kamu telah mencuri emasku di dalam kotak.”

Walikota, meski tidak mencuri, meminta maaf, dan berjanji akan mengganti emas yang hilang.

Guru berhenti bercerita. Diam sesaat. Lalu mengatakan. Jelas bukan, bahwa korupsi—kamu harus tahu korupsi itu bentuknya macam-macam, bisa  penyuapan,  penipuan, penggelapan, nepotisme, favoritisme, dan masih banyak istilah lainnya—sudah seumur peradaban manusia.

Korupsi bermula dari keserakahan. Radix omnium malorum avaritias, keserakahan adalah akar dari semua kejahatan. Begitu kata orang Romawi dahulu. Ibn-e khaldoon (700-770AD), mengatakan, nafsu kuat penguasa untuk hidup mewah menyebabkan korupsi. Kehidupan mewah mengharuskan mereka untuk menjadi korup. Mereka menghalalkan semua jalan dan segala cara untuk mendapatkan kemewahan itu.

Kalau kalian bertanya, apakah korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat pemerintah, pejabat tinggi, pejabat atau pengurus partai, anggota parlemen, aparat penegak hukum, atau pengusaha-pengusaha kaya saja? Tidak! Korupsi, dalam bentuk lain, juga dilakukan oleh orang-orang kecil.

Bukankah kalian mengenal adanya istilah calo, makelar, catut, atau yang mentereng broker dan sebagainya. Seakan-akan mereka itu membantu, menjual jasa, tetapi apakah benar? Mungkin, calo-calo, broker, perantara atau apapun namanya muncul di kantor-kantor pemerintah atau di tempat lain, karena ruwetnya birokrasi, yang mungkin memang dibuat ruwet. Sebab, pegawai kecil, pegawai rendahan kan juga kepingin “mendapatkan bagian” (A Sudiarja, 2018).

Sebenarnya kalau kita semua mau jujur, “korupsi-korupsi” di tingkat bawah seperti juga pungutan pengurusan katepe, misalnya, adalah cerminan persoalan besar yang membelit negeri ini. Itulah kebobrokan moral dan etika, penyimpangan, perusakan, nilai-nilai kebajikan dan prinsip-prinsip moral. Semua itu adalah korupsi.

Korupsi adalah perilaku antisosial, melanggar hukum, jelas tindakan tidak jujur ​​oleh individu yang berada dalam posisi bertanggung jawab (bahkan sekarang menjadi tindakan kelompok, mafia korupsi). Itulah sebabnya ada yang berpendapat bahwa korupsi itu tindakan anti-kemiskinan, anti-pembangunan.

Korupsi, benar-benar menghancurkan, sesuai arti asal katanya: corrumpere (Latin) yang antara lain berarti menghancurkan, membinasakan, memusnahkan, menewaskan, merusak, memakan, memburukkan, dan melemahkan. Maka itu, koruptor berarti perusak, pembusuk, penghancur, dan penyuap.

Tetapi mengapa Guru, di negeri ini banyak koruptor? Tanya seorang murid.

Jawab Guru: di negeri ini ada orang yang menganggap korupsi adalah suatu mode, fashion, karena nggak ikut dianggap ketinggalan mode. Itulah sebabnya, korupsi muncul di mana-mana. Ada lagi yang berpendapat, mumpun berkuasa, kapan lagi.

Dan, perlu kalian catat bahwa korupsi di negeri ini menyangkut soal mentalitas, kultur, pandangan hidup, dan bukan semata-mata urusan ekonomi belaka. Tetapi, tetaplah korupsi adalah penyakit, kanker yang memakan struktur budaya, politik dan ekonomi masyarakat, dan menghancurkan fungsi organ vital.

Ingat, kata Guru sebelum berdiri dan masuk ke kamarnya, harta benda yang diperoleh dengan kefasikan, kesesatan, kejahatan itu tidak berguna. Kisah Gimil-Ninurta dan walikota dari John T Noonan (Bribes, 1987) dan kuceritakan pada kalian, adalah salah satu contohnya.

Tetapi, apakah orang masih mau mempedulikan nasihat bijaksana ini? Bila ada yang bertanya demikian, aku hanya bisa mengatakan, hendaklah yang punya telinga mendengar, punya mata melihat,  punya hati merasakan, dan punya otak memikirkannya akibat kejahatannya.

***

Trias Kuncahyono