Pensiun Dini Ibarat Main "Roller-Coaster" Kehidupan

Selasa, 19 Februari 2019 | 15:50 WIB
1
817
Pensiun Dini Ibarat Main "Roller-Coaster" Kehidupan
Saya menjadi pemateri dalam sebuah seminar (Foto: Istimewa)

 
 
 
Kemarin di Kompas Minggu ada tulisan seputar dunia pensiun alias purnakarya. Maksudnya karyawan atau pegawai yang pensiun dari pekerjaannya. Tulisan itu menarik karena ada "kedekatan persoalan" dengan saya sebagai seorang pensiunan. Ia punya nilai berita.
 
Dalam tulisan itu ada sebuah pernyataan dari seorang narasumber yang semoga bisa menyentak kesadaran para pegawai/keryawan yang masih bekerja aktif, bahwa menurutnya pensiun itu sudah harus dipikirkan saat pertama kali kerja!
 
Bagi saya tentu terlambat. Meski saya tersadarkan, ya buat apa wong saya sudah mengakhiri pekerjaan saya dari Harian Kompas, sebuah media massa terpandang yang menurut saya sangat baik dalam menyejahterakan karyawannya. Pendapat ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak mampu mensyukuri nikmat.
 
Semoga pernyataan bahwa "pensiun harus sudah dipikirkan saat mulai bekerja" benar-benar menggugah setidak-tidaknya karyawan/pegawai yang sekarang masih aktif bekerja. Caranya tentu banyak, apakah sedari awal sudah mulai membeli saham, asuransi, bisnis sampingan, dan lain-lain.
 
Banyak contoh yang mengemuka dalam tulisan itu, yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Sebagai contoh pengalaman senior saya Jimmy S Harianto yang meski sudah 36 tahun bekerja di Harian Kompas, mendapat gaji besar (dibanding saya yang pada saat pensiun "baru" 26 tahun masa kerja), tetapi tetap ia mengalami "shock" saat mendapati kenyataan bahwa gelontoran uang pensiun dengan segala pritilannya itu hanya cukup bertahan selama 2 tahun.
 
Pak Bo, demikian biasa saya memanggilnya, menganalogikan dengan "bocor ember". Maksudnya, pada saat pensiun memang ember penuh, tetapi seiring perjalanan waktu, ember yang penuh itu berkurang dan terus berkurang karena gaya hidup saat masih bekerja terbawa-bawa di saat sudah pengisun, pada saat sudah tidak menerima gaji penuh sebagai karyawan, kecuali gaji pensiunan yang jauh berkurang.
 
Rata-rata yang menyelamatkan dari "shock" dan bahkan "keterpurukan" usai pensiun adalah hobi. Yang suka ngopi ya buka warkop, yang suka beternak ya memelihara lele, dan yang menyelamatkan Pak Bo adalah hobinya dalam mengurus keris. Dari hobinya itulah hidup Pak Bo tertopang lagi selain ia masih mendapat "job" dari Harian Kompas sebagai peng-input metadata jutaan foto milik Harian Kompas yang harus diberi narasi (caption).
 
Agak berbeda dengan yang saya alami. Saya memutuskan pensiun dini lebih dua tahun lalu saat usia memasuki kepala 5. Di Kompas berlaku pensiun 60 tahun bagi wartawan. Tetapi, saya ingin menikmati 10 tahun masa tantangan saya sekaligus orang yang bisa mengatur waktu seenak saya sendiri.
 
Saya pensiun tatkala jabatan masih lumayan okay, bawahan sekitar 50 orangan. Tetapi saya sudah punya road map kehidupan sendiri untuk main "roller-coaster" kehidupan tanpa harus bergantung pada perusahaan lain. Teman-teman menyayangkan keputusan saya itu karena mereka mengukur apa yang saya terima tidak sebesar nanti pada saat saya pensiun 10 tahun yang akan datang saat saya menyatakan diri pensiun.
 
Hal yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini adalah, jangan nekat saat menyatakan pensiun diri, apalagi disertai kemarahan dan kekecewaan terhadap perusahaan! Jangan!! Benar-benar harus dihitung secara cermat, sebab ini menyangkut kehidupan. Bukan saya sendiri, tetapi isteri dan anak-anak.
 
Rahasianya adalah UTANG. Ya, saya menjadi langganan bank hampir sepanjang saya bekerja sampai pensiun (dan bahkan setelah pensiun pun saya masih berutang ke bank).
 
Dimulai tahun 1994 (atau setelah empat tahun saya bekerja) saat saya mulai mendapat pinjaman perumahan dari kantor tetapi tidak mencukupi untuk DP. Saya "terpaksa" pinjam bank Rp10 juta untuk menggenapi Rp23 juta DP rumah yang kini saya tempati di Bintaro (harga rumah saat itu Rp32 juta).
 
Karena saya "naik pangkat" dari pustakawan/litbang menjadi wartawan saat itu -dan ini mengubah pendapatan- maka tidak sampai setahun Rp10 juta utang saya ke bank itu bisa lunas (dari yang seharusnya 2 tahun).
 
Nah, saat melunasi utang ke bank itu secara tidak terduga CS bank menawarkan pinjaman baru yang menurut saya saat itu cuma menerbitkan tanya "buat apa?". Karena pola pikir saya masih ndeso, yang teringat adalah beli sawah atau kebun di kampung halaman, sebab kalau beli rumah terlalu kemahalan dan apartemen belum booming seperti sekarang. Apa salahnya saya ambil, pikir saya.
 
Dengan skema gaji yang sudah naik, perbaikin gizi meningkat, maka saya memperpanjang terus utang saya ke bank. Sampai-sampai saya "cuma" menerima 57 persen gaji yang saya terima dari Harian Kompas setiap bulannya, langsung dipotong oleh bank. Memang berat pada mulanya, tetapi saya anggap gaji yang sudah dipotong 43 persen oleh bank itulah gaji saya sesungguhnya!
 
Saya selalu meminjam dengan angsuran tidak lebih dari dua tahun. Selepas lunas, gulung lagi dengan utang baru. Begitu seterusnya. Terus uang pinjaman dipake apa? Beli Properti!
 
Maksudnya properti kecil-kecilan sesuai besarnya utangan. Saya tidak pernah tergiur untuk beli mobil baru, misalnya, atau menyimpannya sebagai deposito. No! Saya beli properti.
 
Di parkiran khusus wartawan, saya mengibaratkan "show room" mobil terbuka di mana mobil-mobil baru berbagai merek milik wartawan terparkir di sana. Saya mendapat dua kali jatah mobil dan saya belikan mobil sesuai jatah yang saya terima, tidak tergiur untuk meng "upgrade" dengan membeli mobil lebih keren di mana kekurangannya dari hasil pinjam bank. Itu paling saya tabukan, karena kendaraan nilainya susut beberapa tahun kemudian. Sebaliknya properti, ia akan terus naik!
 
Dengan cara demikian itulah saya berani menyatakan diri untuk pensiun dini, berpisah secara baik-baik dengan perusahaan yang telah menghidupi saya dan keluarga selama 26 tahun.
 
Secara naluri, karena masih produktif dalam bekerja, saya menyalurkan hobi saya mengurus media online yang saya bikin sendiri, PepNews.com di samping ada sedikit saham tersisa di Selasar.com (cc Miftah N Sabri dan Achmad Zaky) dan Arkademi.com (cc Hilman Fajrian). Sesekali mengajar, menjadi pemateri dan trainer di dunia yang saya geluti; menulis dan jurnalistik.
 
Moral dari cerita ini; pensiun jangan disesali, ia akan datang pada waktunya seperti kematian itu sendiri. Jangan memulai usaha saat sudah pensiun full tiba, saat tenaga sudah habis. Jika percaya diri, matang dari sisi persiapan, dan tahu persis apa yang akan dilakukan, jangan ragu untuk mandiri atau pensiun diri.
 
"Roller-coaster" kehidupan itu mengasyikkan, Bro!
 
PEPIH NUGRAHA
 
***