Akhirnya, Iwak Sungai Brantas Gugat Gubernur dan Dua Kementerian

Sabtu, 5 Januari 2019 | 18:28 WIB
0
564
Akhirnya, Iwak Sungai Brantas Gugat Gubernur dan Dua Kementerian
Dampak pencemaran industri di Sungai Brantas. (Foto: Ecoton).

Pencemaran di Sungai atau Kali Brantas Jawa Timur memasuki babak baru. Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) pun menempuh jalur hukum.

Hal itu menyusul, makin tingginya fenomena ikan mati massal. Dalam kurun waktu setahun terkahir saja, Ecoton mencatat setidaknya sebanyak 6 kali peristiwa itu terulang. Seluruhnya bahkan terjadi di Kali Brantas dan anak sungainya.

Belum lagi, dalam kurun waktu 3 tahun terkahir yaitu dari 2015 hingga 2018, peristiwa ikan mati massal atau yang popular disebut ikan munggut di Kali Brantas berulang kali terjadi.

Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi menyebut, peristiwa ini juga hampir setiap tahun terjadi dalam 10 tahun terakhir tanpa adanya penanganan yang serius dari pemerintah untuk melakukan investigasi sumber pencemaran.

“Sumber pencemaran itu apakah dari limbah cair industri di sepanjang Brantas atau limbah domestik atau dari sumber-sumber pencemaran yang lain, pemerintah lah yang mempunyai wewenang,” kata Prigi Arisandi kepada Pepnews.com.

Begitu pula upaya pemantuan lingkungan atau membuat sistem tanggap darurat ketika terjadi ikan mati massal yang sebagaimana mestinya menjadi pedoman penanganan sampai gugatan akan diajukan.Pemerintah juga belum malakukan tindakan apapun untuk upaya tersebut.

“Acuhnya pemerintah itulah yang menjadi dasar utama Ecoton mengajukan gugatan ini ke Pengadilan Negeri Surabaya,” katanya, Jum’at (4/1/2019). Gugatan tercatat dengan nomor Perkara 08/Pdt.G/2019/PN Sby pada Jum’at, 4 Januari 2019.

Pihaknya pun akhirnya menggugat dua lembaga kementerian dan satu pemerintah daerah. Yakni, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

“Ketiga instansi pemerintahan tersebut, adalah instansi negara yang paling berwenang terkait perlindungan, pengelolaan dan pelestarian sungai, khususnya yang menyangkut pencemaran dan kualitas air,” ungkap Prigi Arisandi.

Hal itu, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurutnya, UU tersebut secara jelas mengatur setiap tanggung jawab mutlak yang harus dilaksanakan oleh instansi-instansi tersebut.

“Bahwa dengan pembiaran yang dilakukan oleh mereka, maka hal ini merupakan perbuatan melawan hukum. Maka, dengan ini kami menuntut kepada para calon Tergugat ini dengan sejumlah gugatan,” lanjutnya.

Yakni, Ecoton mendesak pemerintah untuk menindak dan menghukum industri yang terbukti melakukan pembunuhan ikan massal di Kali Brantas, melalui limbahnya.

Kemudian, pemerintah diminta segera membentuk dan melaksanakan patroli Sungai Brantas yang melibatkan seluruh pihak yang berkontribusi dan bertanggung jawab terhadap lestarinya Sungai Brantas yang merupakan Sungai Strategis Nasional.

Prigi Arisandi juga mendesak, pemerintah untuk meminta maaf kepada Kali Brantas karena telah gagal memberikan pengawasan dan penanganan melalui media cetak dan online serta elektronik nasional sedikitnya 5 media.

Dalam pengawasan, pemerintah juga diminta memasang CCTV di setiap titik yang menjadi outlet perusahaan sepanjang Sungai Brantas. “Kemudian, pemerintah mami imbau untuk menganggarkan dalam APBN 2020 untuk program pemulihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas,” kata Prigi Arisandi.

Dan poin yang terpenting, kata Prigi Arisandi, Ecoton meminta pemerintah untuk menyusun SOP penanganan ikan mati di Kali Brantas atas pencemaran dan perusakan yang terjadi dan memberikan sanksi hukum yang berlaku baik sanksi administrasi, perdata, dan pidana LH.

Brantas Tercemar

Dari catatan yang dimiliki Ecoton, dalam riset pada 5 tahun terakhir ditemukan bahwa Sungai Brantas merupakan satu dari tujuh sungai di Jatim yang terus tercemar di tahun 2018, dimana indeks kualitas air yang sudah sangat kurang (52.51) masih turun lagi (50.75).

Laporan Indeks Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup (IKPLH) tahun 2016 menunjukkan
kualitas air Kali Brantas dalam kategori waspada dan dalam bakumutu kelas 32. Padahal Kali Brantas merupakan bahan baku bagi 5 PDAM guna memenuhi kebutuhan air bersih di Jatim.

Berdasarkan PP Nomor 82/2001 pasal 8, mutu air kelas 1 yang peruntukannya untuk bahan baku air minum3. Sedangkan mutu air kelas 3 dipergunakan untuk budidaya ikan, irigasi, dan
kegiatan lainnya yang peruntukannya sesuai dengan kelas air tersebut.

“Berdasarkan regulasi tersebut, maka pemanfaatan Kali Brantas sebagai bahan baku PDAM tidak layak,” ungkap Riska Darmawanti, S.Pi, MSi dari Ecoton kepada Pepnews.com.

Menurut Ali Masduqi, anggota tim peneliti ITS untuk Kali Surabaya menyatakan bahwa daya tampung beban pencemaran (DTBP) Kali Surabaya hanya 29.86 ton BOD/hari dan 40.45 ton COD/hari.

Penghitungan beban pencemaran yang berasal dari industry (36 unit), domestik (saluran septik penduduk bantaran dan domestik, dan hotel), dan pertanian menyebutkan beban pencemaran BOD (55.49 ton/hari) dan COD 132.58 ton/hari) telah melebih daya tampung pencemaran Kali Surabaya.

“Pembagian beban pencemaran terdiri atas limbah domestic 59.77% BOD dan 54.11% COD, sementara limbah industri 40.05 BOD dan 45.75% COD,” ungkap Ali Masduqi. 

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jatim telah melakukan perhitungan jumlah industri yang berpotensi menyebabkan pencemaran Kali Brantas dan 1,004 industri diketahui memiliki potensi tersebut dan 483 diantaranya terletak di wilayah sungai.

DLH juga menghitung beban pencemaran hanya untuk 85 dari 483 industri yang mana hasil penghitungannya tidak menggambarkan kondisi sebenarnya dari beban pencemaran. Sebagai tambahan, ada 85 industri yang dihitung bebannya adalah industri yang mengikuti program Proper.

Pengelolaan Sumberdaya Air (POLA) Sungai Brantas mengkategorikan 3 industri besar pengguna air dan penghasil limbah di Brantas adalah industri kertas, gula, dan lainnya (besi baja, rokok, pewarnaan kain, dan makanan).

Untuk wilayah sungai (WS) Brantas terdapat kurang lebih 60 industri gula 8 dan 12 industri kertas 9 yang berpotensi mencemari.

Besarnya jumlah industri yang berpotensi menyebabkan pencemaran di Kali Brantas tidak dibarengi dengan jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD).

Berdasarkan diskusi pribadi yang dilakukan dengan salah seorang staf Wasdal (pengawasan dampak lingkungan) DLH Kabupaten Malang, mereka tidak memiliki PPNS atau PPLHD, sehingga mereka sangat bergantung pada UPT Penegakan Hukum KLHK yang berada di Surabaya.

“Tugas pokok PPLHD/PPNS adalah melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha sesuai dengan izin lingkungan dan UU LH,” ungkap Riska Darmawanti.

***