Ini Alasan Perempuan Bersedia atau Menolak Dipoligami

Kamis, 20 Desember 2018 | 06:08 WIB
0
803
Ini Alasan Perempuan Bersedia atau Menolak Dipoligami
Ilustrasi poligami (Foto: Kumparan.com)

Baiklah kita mulai bahas dari sisi biologisnya. Perempuan itu dibuahi dan laki-laki membuahi atau laki-laki itu memasuki dan perempuan dimasuki, kemudian secara fertilitas sel telur yang dimiliki perempuan jumlahnya terbatas.
 
Setiap bulan dilepaskan ke dalam rahim sekitar seribu sel dan umumnya habis pada rentang usia 40-45 tahun, sedangkan laki-laki memproduksi sel sperma sepanjang hayatnya, ya kecuali memang ada faktor yang mengganggu produktivitasnya.
 
Laki-laki bisa membuahi perempuan sebanyak yang ia mau, sebanyak yang ia mampu. Sedangkan perempuan, satu juta satu laki-lakipun yang memasukinya, toh cuma satu atau beberapa sel telurnya yang bisa dibuahi oleh hanya satu laki-laki.
 
Jadi, secara alamiah, dari sononya laki-laki memang diciptakan memiliki potensi berpoligami. Ini adalah fakta alamiah yang tidak bisa dibantah. Kalo lo gak terima, bisa kubayangkan betapa menderitanya dirimu. Senyum.
 
Sedangkan dari sisi budaya dan atau sosiopsikologisnya, secara statistik laki-laki memang lebih berkuasa daripada perempuan, terutama dari segi kekuatan fisik dan tingkat kecerdasan akalnya (hal ini juga disebabkan oleh faktor biologis), sehingga laki-laki otomatis jadi kepala keluarga. Sila cek sendiri sejarah peradaban manusia purba hingga manusia millenium.
 
Saking banyaknya, mustahil menghitung banyaknya laki-laki berkuasa (raja-raja) yang berpoligami dalam sejarah kebudayaan manusia, kemungkinan besar aktivitas sosial ini ada diseluruh kebudayaan di dunia ini.
 
Oke, cukup segitu pengantarnya.
 
Lantas, mengapa ada perempuan yang bersedia dipoligami? Perempuan yang memang bersedia dipoligami berdasarkan kemauannya sendiri. Lain cerita ya kalo karena terpaksa atau dipaksa. Mengapa pula ada yang tidak bersedia, bahkan sangat menentangnya?
 
Tingkat persaingan untuk mendapatkan pasangan. Tidak ada pilihan lain. Menguntungkan secara faktor perekonomian, kekuasaan dan atau status sosial. Sengaja gak kuuraikan, terlalu panjang nanti kalau dibahas satu persatu. Lagian, aku yakin pembaca ini tulisan didominasi oleh orang-orang yang sudah dewasa. Jadi, ya te es te ajalah. Hehe.
 
Nah, alasan yang keempat ini yang ngeri-ngeri sedap, cinta. Lha, kalau udah namanya cinta, mau bilang apa cobak? Apalagi sikonnya memang memungkinkan. Tuh, Mbak Astrid kan udah bilang terang-terangan, “Jadikan aku yang kedua…” Ngakak.
 
Sedangkan yang menolak atau yang menentang umumnya memberikan alasan yang sifatnya sentimentil, berupa kecemburuan dan atau ketakutan akan tiadanya keadilan, adanya penzaliman, terutama pada pihak perempuan.
 
Ok. Gini loh ya. Aku disini dalam posisi yang tidak menentang, tidak pula mengkampanyekan poligami. Aku pernah bikin tulisan di Kompasiana sekian tahun yang lalu bahwa aku tidak mau berpoligami. Istriku malah menyarankan kepadaku untuk tidak berikrar bahwa aku tidak akan berpoligami, karena jalannya kehidupan itu sifatnya sangat dinamis.
 
Hanya saja, agak gerah juga dengan para penentang poligami, khususnya yang sangat merendahkan poligami. Apalagi dengan alasan-alasan yang sangat absurd, menunjukkan secara jelas ketidakpahamannya tentang poligami itu sendiri.
 
Berpoligami dan gak berpoligami itu kan pilihan hidup personal. Sifatnya sangat privasi. Ada yang sukses berpoligami dan ada juga yang jadi amburadul kehidupan keluarganya. Kembali kepada individunya masing-masing.
 
Jadi, bodoh aja klo ada yang sibuk ngurusin kehidupan pribadi orang, kan? Lagian, berapa persen sih dari populasi manusia yang berpoligami hingga ada yang sangat menkhawatirkan kebudayaan ini? Eh iya, topik ini memang sangat seksi dijadikan sebagai alat politik atau sarana nyari sensasi ya. Hihi.
 
Udah, gitu aja. Sebenarnya pembahasannya bisa jadi panjang sekali, apalagi klo menyinggung sisi keagamaannya.
 
@ajuskoto
 
***