Mental Koruptor Milenial

Kalau mental kita seperti lele dumbo yang biasa hidup dalam keruhnya air, bahkan dalam coberan pun masih bisa hidup, jangan sok berantas korupsi atau ganyang korupsi.

Minggu, 23 Januari 2022 | 20:12 WIB
0
256
Mental Koruptor Milenial
Nur Afifah Balqis (Foto: viva.co.id)

Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur terkena Operasi Tangakap Tangan (OTT) oleh Komisi Penegak Hukum (KPK) dan Bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan yaitu Nur Afifah Balqis juga ikut terjaring dalam OTT tersebut.

Selain menjabat sebagai bupati di Penajam Paser Utara,Abdul Gafur juga menjabat sebagai ketua DPC Partai Demokrat Balikpapan dan sebagai bendahara yaitu Nur Afifah Balqis.

Mereka berdua terbilang masih anak-anak muda, Abdul Gafur dengan jabatan sebagai bupati dengan umur 31 tahun dan Nur Afifah 24 tahun.

Di media sosial atau medsos ramai dengan unggahan berita tekait bendahara Partai Demokrat ini yang terbilang masih muda dan cantik. Nada celaan atau cemoohan sebagai koruptor termuda yang pernah ditangkap KPK tertuju padanya.

Opini ini bukan untuk membela atau menaruh simpati pada pelaku korupsi, namun ingin beropini dari sudut pandang yang lainya.

Seperti kita ketahui, kita sering menjadi seorang idealis yang anti korupsi dan berantas korupsi dan hukum mati korortor.Kurang lebih begitu jargon seorang idealis ketika berada di luar sistem.

Tetapi, ketika berada dalam sistem lingkaran kekuasaan atau lingkaran dalam dunia bisnis, idealime itu akan diuji oleh keadaan-keadaan atau fakta-fakta dimana kita susah untuk mengindarinya dan cenderung malah larut dalam lingkaran sistem yang sudah terbentuk tadi.

Sama dengan mahasiswa ketika demo, meneriakkan pekik berantas korupsi, berantas KKN dan hukum mati koruptor. Tapi ketika mereka lulus kuliah dan memasuki dunia kerja dan menghadapi dunia nyata, di situlah idealisme akan diuji. Apalagi ketika sudah berkeluarga dan banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Sebagai bendahara partai, tentu tugas bendahara mengelola keuangan partai, mulai arus kas atau penerimaan dan juga pengeluaran kas. Yang namanya bendahara, biasanya hanya menerima perintah dari pimpinannya dalam hal ini pimpinan partai ketua DPC yang notabene juga sebagai bupati.

Posisi Nur Afifah ini serba sulit, ia sebagai bawahan sang bupati yang juga sebagai ketua DPC Partai Demokrat. Yang belum tentu ia tahu bahwa uang yang diterima ternyata dari sumber para pengusaha yang ingin mendapatkan proyek pemerintah di Penajam Pusar Utara. Kecuali yang bersangkutan tahu kalau sumber uang tersebut berasal dari transaksi fee terkait proyek.

Dalam banyak kasus yang pernah tertangkap tangan oleh KPK, sering melibatkan staf atau sekretaris atau benadara dari para pejabat atau pimpinan perusahaan. Mereka menjadi bagian perantara suap atau penerima suap atas perintah atasanya. Karena ia hanya seorang pegawai yang menjalankan perintah dari atasannya atau bosnya. Menolak berintah berarti hilang pekerjaan. Dan tidak mungkin bertanya, ini uang halal atau tidak.

Bahkan seorang sekuriti pun terkadang juga ikut terlibat sebagai perantara karena atas perintah atasanya. Inilah yang dinamakan lingkaran sistem yang susah untuk menghindar atau dihindari.

Bisa saja seorang pembantu rumah tangga yang lugu dan tak tahu menahu apa-apa, bisa dituduh terlibat menerima hasil korupsi atau gratifikasi dari majikannya yang seorang pejabat atau pengusaha.

Bahkan seorang mantan menteri agama Lukman Hakim Saifuddin yang pernah mendapat penghargaan dari KPK, sebagai pejabat dalam mengembalikan gratifikasi paling besar ke KPK. Nyaris menjadi pesakitan oleh komisi anti rusah tersebut ketika Ketum PPP yaitu Romahurmuziy tertangkap tangan oleh KPK. Karena di meja kerja menteri agama tersebut ditemukan sejumlah uang tunai yang cukup besar.

Begitu juga gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah yang waktu menjadi bupati terkenal bersih dan menyabet gelar sebagai kepala daerah yang bersih, ternyata waktu jadi gubernur juga tertangkap KPK. Banyak masyarakat atau publik yang nyaris tidak percaya.

Ambil contoh yang lain, terkait bantuan bansos pandemi, banyak pihak dari RT atau kepala desa juga banyak yang menyunat bantuan itu. Insentif untuk nakes pun juga begitu, dipotong oleh pihak-pihak tertentu. Dana desa juga banyak menyeret seorang kepala daerah.

Artinya orang-orang yang dulu berantas korupsi atau ganyang korupsi kalau ada kesempatan juga sama saja.

Untuk itu marilah kita bisa mengukur diri sendiri,seandainya menjadi pejabat, apakah benar tidak akan melakukan tindakan korupsi. Jangan-jangan ketika menjadi pejabat juga akan melakukan hal yang sama. Bedanya ada yang ketangkap KPK dan tidak.

Kalau mental kita seperti lele dumbo yang biasa hidup dalam keruhnya air, bahkan dalam coberan pun masih bisa hidup, jangan sok berantas korupsi atau ganyang korupsi. Kecuali mentalnya seperti ikan salmon yang biasa melawan arus dan di air yang jernih atau bersih.

***