Intoleran Itu

Dua kilometer sebelum masuk Parapat sepanjang jalan terbangun rumah makan bertuliskan RM Muslim, walau seharusnya cukup ditandai dengan tulisan "halal".

Jumat, 28 Januari 2022 | 21:43 WIB
0
220
Intoleran Itu
Masjid di Danau Toba (Foto: dok. Pribadi)

Kami memasuki malam kedua di Parapat Danau Toba. Selain sudah beberapa tahun gak pulang dan mampir ke Parapat, pulang kali ini dan menginap di Parapat ada suasanya yang harus saya perhatikan yaitu bagaimana penganut agama ini berdampingan bersama tanpa saling memberi beban satu sama lain.

Saya kelahiran Sumut, sejak kecil tidak pernah merasa bahwa agama menjadi penghalang bagi kehidupan bersama. Makanya saat di Surabaya anak-anak sekolah SD di sekolah Katholik, baru SMP pindah ke alfalah. Semua fine saja.

Tapi sejak terjadi proses perkadrunan di Jawa yang mulai massif di tahun 90an, suasana beragama kok jadi seperti saling menjatuhkan, khususnya kaum mayoritas yang selalu "usil" dan ternyata kondisi itu terbawa ke beberapa wilayah di seantero Indonesia. Tidak terkecuali Sumut yang pernah menggegerkan atas kasus Meliana di Tanjung Balai gegara minta volume azan di kecilkan, malah vihara dibakar, Meliana kena pasal karet penistaan, dan mendekam di penjara 18 bulan.

Tanjung Balai adalah daerah mayoritas, di sana terjadi tragedi itu, di beberapa wilayah di Jawa sudah kerap terjadi gangguan bagi kaum minoritas dari mulai kuburan, IMB, sampai terakhir sesajen yang ditendang. Dan seperti biasanya akhirnya materai yang membungkam urusan hukumnya.

Di Sumut, kabupaten Simalungun dan Tapanuli khususnya yang masyarakatnya memeluk agama Kristen dan Khatolik, justru di situ masyarakat menyatu tanpa pernah menggerutu atas keyakinan orang lain.

Memasuki gerbang kota Parapat anda akan disambut menara masjid yang menjulang, jangan ditanya tingginya, menara itu lebih tinggi dari puncak gereja. Suara azan berkumandang pada setiap waktu shalat, saat subuh gemanya seolah menyelimuti permukaan danau Toba di depannya. Indah dan mententramkan.

Siapa yang membuat suasana itu, tentu masyarakat setempat yang mayoritas Kristen. Karena mereka tidak terusik oleh suara azan yang puluhan tahun berdampingan dengan telinga mereka.

Begitu juga kalau anda lihat di Balige, Porsea, bahkan Tana Toraja. Mesjid raya yang besar itu ada di tengah kota. Terjaga di tengah masyarakat Kristen yang luar biasa itu.

Dua kilometer sebelum masuk Parapat sepanjang jalan terbangun rumah makan bertuliskan RM Muslim, walau seharusnya cukup ditandai dengan tulisan "halal". 

Tapi sekali lagi, di tanah di mana masyarakat mayoritas Kristen itu ada telah tercipta toleransi yang luar biasa. Di sana saya merasa orang beragamanya lebih dahulu menjadi manusia sebelum mengaku beragama. Makanya mereka tenteram berdampingan.

Jadi ingat kata Rabindranath Tagore:

"Kalau beragama hanya mengharapkan surga, sebaiknya hapuskan saja surga itu, karena hal itu akan menimbulkan pertikaian".

You can't cross the sea merely by standing and staring at the water

Ah tak terasa azan Isa berkumandang. I love Parapat, l love you my brothers you are the good Kristian. GBU.

***