Poses Kreatif Saya Mengarang Novel (1)

Setelah menghasilkan novel perdana, saya rasa mengarang makin jadi mudah. Ide terus saja mengalir. Saya menulis novel kedua, Tetes Cinta yang Tercecer. Juga dimuat di Jawa Pos.

Selasa, 29 Juni 2021 | 20:05 WIB
0
231
Poses Kreatif Saya Mengarang Novel (1)
Flamboyan Kembali Berbunga, novel saya perdana. Setelah pecah telor, segalanya jadi serba-mudah.

Flamboyan Kembali Berbunga. Juluk novel saya perdana. Setelah pecah telor, segalanya jadi serba-mudah. Memang, seperti pengalaman kita besama. Yang pertama itu senantiasa: susah.

Saya menulis dan menerbitkan novel perdana 34 tahun silam, ketika duduk di semester IV sebuah PTS di Malang. Sebelumnya, saya sudah biasa menulis untuk majalah kampus.

Selain itu, saya pun menulis untuk koran lokal. Sesekali, cerpen dan novelet saya menghiasi halaman surat kabar daerah. Sebelumnya, ketika SMA, saya suka mengisi majalah dinding. Waktu itu, saya belum sanggup menulis panjang. Mengungkapkan pikiran melalui karya tulis yang panjang, saya tak bisa. Maka puisi pendek menjadi pilihan utama. Ketika SMA, saya hobi korespondensi. Pen pal menjadi kegemaran. Dan saya mulai senang menulis dari sini.

Jadi, apa yang memampukan saya menulis?

Oke! Jawabannya sederhana: saya gemar membaca. Dari membaca cerita silat, kisah klasik, sci-fi (science fiction), novel petualangan, dan terutama novel-novel percintaan. Mulai dari novel karya La Rose hingga Abdullah Harahap, semuanya saya lahap.

Benar, kisah cinta dan kasih asmara tak pernah lekang dari hidup manusia. Tema cinta tidak pernah basi untuk digali. Mulai dari syair panjang Homeros di tanah Yunani ribuan tahun silam, hingga zaman prakemerdekaan seperti Sitti Nurbaya. Dan kini, di zaman digital dan multimedia; tema cinta senantiasa menarik diangkat dan dijalin dalam kisahan novel.

Flamboyan Kembali Berbunga, novel perdana saya. Berawal. Dan dikembangkan dari sebuah cerpen. Dimuat bersambung di Jawa Pos. Setelah telor pecah, segalanya terasa serba mudah. Setelah novel perdana, terbit  novel yang berikutnya.

Saya punya imaginasi luar biasa yang terasa sebagai sebuah dorongan hebat untuk segera ditulis. Masalahnya, I had no idea where to begin. Tak tahu menulis harus mulai dari mana? Membaca teori menulis novel tidak pernah. Benar-benar bakat alam. Padahal, ide di otak ini begitu banyak, mbludak, hingga kepala terasa mau pecah. Tapi, saya harus mulai sesuatu. Saya yakin, menguraikan seribu satu soal, harus dimulai dari alif.

Lalu saya menulis cerita pendek. Seingat saya, tahun 1984. Judulnya, Kembang-Kembang Desember. Setting-nya di Puncak, walau tempat itu sekali pun belum pernah saya tapaki. Saya hanya tahu Puncak dari kata orang. Selebihnya, dari membaca. Dari serba sedikit pengetahuan itulah, saya coba melukis suasana dan menjalin cerita. Setting sangat diperlukan untuk masuk ke karakter. Status sosial tokoh, harus serasi dengan suasana. Tidak mungkin sejoli anak pemulung bercumbu rayu di kawasan elit seperti Puncak.

Tahun 1987, dalam kesempatan liburan, saya ke Bandung dan melewati Puncak. Saya tebar pandang ke segala arah mengarah ke lekukan dan tanjakan Puncak.

Sepenuh hati, saya nikmati pemandangan itu. Saya membandingkan suasana yang saya lihat dengan gambaran dalam cerpen yang telah saya buat. Tak beda jauh: hamparan kebun teh menghijau permai, jalan setapak berliku penuh batu, lambaian lembut daun pakis dibelai angin.

Di bawah lembah itu mengucur sealir sungai kecil. Bunyinya gemericik jatuh menimpa bebatuan, lalu mengumpul membentuk lubuk di sebuah kolam buatan. Di sinilah dua insan menjulurkan dua pasang kaki, menyentuh permukaan air, menggerakkannya, hingga air bekas rendaman mengalir jatuh ke bawah lagi menjadi buih.   

Kisahan itu, lalu dibingkai waktu. Timing-nya bulan Desember, ketika kembang mulai bermekaran. Dari sini saya belajar, bahwa dalam menulis fiksi pun, logika harus lurus dan benar. Setelah belajar creative writing dengan saksama, saya jadi mafhum di kemudian hari bahwa logika cerita dan "kebenaran" dalam fiksi itu disebut plausibility.

Pas akhir tahun, piknik sekolah. Mengisahkan seorang siswi yang menaruh hati pada guru pembimbingnya. Ganteng. Masih muda. Namun, bisakah cinta keduanya bertaut? Di situ konflik mulai muncul. Cerpen itu hanya lima halaman, tapi saya telah mulai sesuatu. Ketika itu, saya masih memerlukan opening, sebuah storyline, dan bagaimana menutupnya. Namun, dengan jalan itu, saya lalu menemukan kiat sederhana dan jitu bagaimana membuat outline sebuah novel.

Novel perdana saya, Flamboyan Kembali Berbunga, sekali lagi, sebagian tentang saya. (Dalam pada itu, di beranda Fb saya katakan: Setiap orang pada galibnya punya satu novel yang belum ditulis. Yakni kisah hidupnya sendiri. Inspirasi ini dari pemenang sastra Nobel Amerika, Toni Morison). Saya menggunakan kotaku, Malang, sebagai lokasi kejadian. Saya mencintai kota indah dan sejuk ini (tahun 1980-an, Malang berjuluk “Kota Dingin”, dan ini benar). 

Saya menulis sangat menghayati dan menikmati karakter dan alur novel ini. Kadang, saya merasa, apa yang saya tulis seakan sebuah kenyataan khayal. Belakangan, baru saya tahu bahwa cara seperti ini adalah tahap paling awal manusia memperoleh pengetahuan yang menurut Plato disebut eikasia. Yakni khayalan tentang apa saja. Namun, seakan-akan khayalan itu realistis. Tapi begitu masuk kembali alam kenyataan, kita sadar, bahwa khalayan tidak sama dengan kenyataan. Jika keduannya bertemu, namanya dream comes true!

Maka segera saya membuat karakter. Cerpen Kembang-Kembang Desember coba saya kembangkan jadi panjang. Namun, kali ini terbalik. Herman, mahasiswa sebuah univeritas di Malang, bertemu Vonny, seorang dosen cantik dan kaya di suatu sore gerimis di Jalan Mgr. Soegiyapranata, Malang. Honda Civic bu dosen mogok dan Herman membantu. Inilah noktah awal kedua insan bertemu. Hingga nasib dan kesewenang-wenangan hereditas memisahkan keduanya. 

Jalan Mgr. Soegijapranata sepenggal adzan magrib.

Sekawanan burung terbang mengitari pohon mahoni. Sebentar kemudian, berloncatan di dahan-dahan. Sebab, saatnyalah mereka kembali ke sarang sesenja begini. Di atas, langit berwarna kelam. Awan hitam bergerak ke selatan searah hembusan angin bulan Mei. Ketika Herman perlahan memacu hondanya di jalan yang basah dan licin itu.

Ia merasa sangat kecapaian, sebab seharian mengawasi para pegawai bekerja. Tugas rutin, membosankan, dan tanpa variasi. Maka malam ini, malam panjang kata anak-anak muda, toh baginya sama saja dengan malam-malam kemarin. Bahkan, sebagaimana kebiasaannya, begitu tiba di tempat kost, ia langsung mengambil posisi horizontal. Tidur. Dalam arti yang sebenar-benarnya.

Berjejalnya lamunan yang berseliweran bagai dedaunan mahoni yang gugur melayang-layang ditiup angin sore itu mendadak buyar. Sialan, seseorang tiba-tiba menyetopnya. Wanita, masih muda. Dan pemuda itu pun buru-buru meminggirkan motornya.

“Ada yang harus saya bantu, tante?” tanya Herman, heran. Remang-remang begini, mengapa ada wanita cantik keluyuran di jantung kota? Wanita tuna susilakah dia? Istri pejabat yang kesepian? Ataukah jin gentayangan yang mencari mangsa?

Herman masih ingin meneruskan pertanyaan yang berkecamuk di otaknya. Tapi wanita muda itu segera memotong.

”Maaf, kalau saya merepotkan.”

”Oh..., tidak!” sahut Herman, seperti orang salah tingkah.

”Ban mobil saya meletus. Adakah bengkel sekitar sini?” tanya sang wanita.

”Ada, tante. Di sana!” tunjuk Herman mengarah ke sudut jauh. ”Tapi hanya tambal ban.”

”Wah!”

Hanya sepatah saja kata yang sanggup terucap. Selebihnya, wanita muda itu hanya menunduk. Herman melihatnya. Muncul niatan di hati untuk segera membantunya.

Dalam pada itu, di beranda Fb saya katakan: Setiap orang pada galibnya punya satu novel yang belum ditulis. Yakni kisah hidupnya sendiri.

Inilah kali pertama saya menuntaskan menulis sebuah novel. Yang terasa menantang ialah, bagian opening dan ending. Berkali-kali bagian itu saya ganti. Berkali-kali pula plotnya harus menyesuaikan. Sampai saya berkesimpulan, tidak sembarang orang sanggup menulis novel. Mengapa? Karena harus bisa mengingat banyak hal. Harus sanggup mengabstraksi. Mesti bisa mereka peristiwa. Dan itu semua tidak sederhana!

Novel itu saya ketik sendiri, namun kurang rapi. Banyak kalimat yang sudah saya tulis, tapi disapu lagi menggunakan xxxxx. Lalu sebagian lagi blepotan dengan Tipp-Ex. Maklum, tahun 1980-an, komputer masihlah sarana menulis yang langka. Buram pertama, saya minta kakak kelas untuk mengetiknya. Untung, Teguh Poerwono, si pengetik itu, sudi. Ia memang terampil mengetik. Dosen-dosen sering minta bantuannya. Seingat saya, Teguh saya traktir makan dan kasih contoh novel.

Setelah dijilid rapi, novel itu saya tawarkan ke Jawa Pos. Beruntung, langsung bersambut. Pas cerber di harian itu akan habis muat. Saya tujukan kepada redaktur fiksinya, disertai pengantar seperlunya. Tiga minggu setelah dikirim, dimuat bersambung di Harian Jawa Pos selama lebih sebulan.

Pada akhir pemuatan, saya terkejut menerima dua wesel pos sekaligus. Masing-masing nilainya Rp175.000,00. Jadi, total cerber dihargai Rp350.000,00. Potongan wesel pos itu, kini masih saya simpan.         

Redaktur fiksi Jawa Pos waktu itu, Basuki Soejatmiko.Dahlan Iskan masihlah redaktur yang kemudian perlahan naik jadi direktur. Saya sering main2 ke kantor redaksi, Jl. Kembang Jepun, Surabaya.

Tahun 1987, uang sebesar itu lumayan besar. Sebagai perbandingan, sepiring nasi dengan lauk sepotong daging ayam dan sayur Rp600,00. Mungkin setara Rp 3.500.000 saat ini.

Pada tahun 1987, nilai tukar rupiah atas AS$ 1.110,0.Pas waktu itu, saya hendak pulang kampung ke Kalbar. Jadi, saya senang sekali, serasa mendapat durian runtuh. Saya naik bus Lorena dari Malang ke Jakarta. Saya menyimpan uang di dua tempat, satu di saku celana belakang dan satunya lagi di saku baju depan. Di terminal Pulogadung, uang yang ditaruh di saku celana dicopet. Saya masygul sekali!

Usai dimuat bersambung, potongan koran saya kumpulkan jadi klipping. Saya merapikan naskah dan sedikit melakukan revisi. Saya kirim ke penerbit Nusa Indah, yang bermarkas di Ende, Flores. Penerbit ini salah satu yang tertua di nusantara. Sudah eksis sejak zaman prakemerdekaan.

Setelah menghasilkan novel perdana, saya rasa mengarang makin jadi mudah. Ide terus saja mengalir. Saya menulis novel kedua, Tetes Cinta yang Tercecer. Juga dimuat di Jawa Pos. Tahun 1990, saya nulis novel lagi, Ujung Sebuah Kerinduan. Kali ini dimuat bersambung di Harian Surya.

Sejak itu. Saya merasa. Bahwa dunia karang-mengarang bisa bikin hidup layak. Bahkan, kelak kemudian hari, bisa kaya.

(bersambung..., kayak Cerita juga, ada sambungannya).