Ketika Air Tak Masuk ke Bumi

Tak perlu takut bertemu dengan warganya untuk kemaslahatan karena banjir tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menciderai hak warga memperoleh kehidupan yang layak dan manusiawi.

Selasa, 23 Februari 2021 | 17:21 WIB
0
611
Ketika Air Tak Masuk ke Bumi
Banjir Jakarta 2021 (FotoL tempo.co)

Sejak Jumat hingga Minggu lalu (19-21/02/2021) Jakarta banjir lagi, hingga membuat 83 RW (193 RT) di wilayah Jakarta Selatan, Timur, dan Barat tergenang. Banjir bukan kali ini terjadi. Banjir merupakan masalah kronis bagi Jakarta. Sejarah mencatat bahwa bencana banjir besar di Jakarta sudah sering terjadi sejak tahun 1600an (Sitompul dan Sihotang, 1997).

Lagi dan lagi, curah hujan yang ekstrem, luapan air dari kali-kali yang melewati Jakarta, dituduh sebagai penyebabnya. Hastag (#)Ahok pun kembali menjadi trending topik teratas di akun Twitter (21/2/2021).

Berita banjir di Jakarta kali ini, mengingatkan saya pada pernyataan Gubernur Anies yang pernah disampaikan tahun 2018 lalu.

"...untuk menyelamatkannya (penurunan permukaan tanah di Jakarta), kita mengembalikan pada sunatullah-nya, sunatullah-nya air hujan masuk ke dalam bumi...air itu turun dari langit ke bumi bukan ke laut. Harusnya dimasukkan ke dalam bumi, masukkan ke tanah. Di seluruh dunia, air jatuh dimasukkan ke tanah. Bukan dialirkan pakai gorong-gorong raksasa ke laut." (20/11/2018).

Untuk memasukkan kembali air hujan ke dalam tanah, Anies memprogramkan pembuatan "Lubang Resapan Biopori (LRB)” atau “lubang hidroponik," setelah setahun menjabat sebagai Gubernur (2018).

"Mulai tahun ini, kita memulai gerakan untuk mengembalikan air hujan ke dalam bumi," kata Anies di Monas, Jakarta (Selasa, 20/11/2018). Jakarta Selatan, Timur, Barat, dan Jakarta Pusat, masing-masing menargetkan sejuta LBR.

Bagaimana realisasinya sekarang...??? Sulit untuk memperoleh data yang pasti. Portal Data Terpadu Pemprov DKI Jakarta juga hanya berisi data jumlah LBR di 8(delapan) kecamatan se-wilayah DKI sebanyak 448.371 LBR. Sangat tidak memadai untuk menampung luapan air di Jakarta.

Program LBR: Memasukkan Air Hujan ke Tanah

Jadilah LBR sebagai program andalan Anies, disamping program “Taman Maju Bersama” yang sejatinya merupakan pengganti “Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)” era Ahok.

Program LBR sebagai ikhtiar untuk “memasukkan kembali air hujan ke dalam tanah,” memang harus dilakukan, sebagai teknik rekayasa teknologi akibat terjadi disrupsi tanah di kawasan Jakarta yang tak lagi terbuka menangkap air hujan, dan tidak cepat masuk meresap ke dalam tanah, karena tertutup oleh aspal, bangunan rumah, dan gedung.

Sejatinya, program LBR ini bukan hal baru. Sejak masa Gubernur Fauzi Bowo program ini sudah dilakukan, dan sudah terealisasi lebih dari 3 juta LRB. Idealnya, menurut Fauzi adalah 76 juta LRB. Jika jumlah LBR ini ditambahkan selama masa Gubernur Anies, setidaknya masih dibutuhkan 73 juta LBR lagi. Masih jauh panggang dari api.

Program LBR ini kemudian dilanjutkan pada masa Jokowi, BTP & Djarot melalui Instruksi Gubernur DKI Jakarta no. 63/2015. Tapi, tidak diperoleh data berapa jumlah LBR yang dibuat, karena tampaknya lebih fokus pada normalisasi sungai, situ, dan waduk.

Tesis “memasukkan kembali air hujan ke dalam tanah” ini tetap dipegang teguh oleh Anies dan Pemprov DKI Jakarta hingga sekarang. Program normalisasi yang gencar dijalankan Gubernur sebelumnya (Jokowi, BTP & Djarot) mandeg pada 2017.

Anies lupa, bahwa ketika tanah/bumi sudah terdisrupsi, semakin keras dan padat, pori-pori dan lubang-lubang tanapun pun tak cukup kuasa menyerap air hujan dan banjir yang meluap. Jika kemampuan tanah untuk menyerap air menjadi berkurang, maka akan menimbulkan air larian permukaan (surface run-off). Pada titik ini, drainase atau sungai menjadi penting untuk mengalirkan air hujan yang berlebih ke laut agar tidak terjadi banjir.

Anies juga lupa, bahwa "sungai itu juga sunnatullah, untuk mengalirkan air ke laut". Apalagi, sekitar 50% kawasan DKI Jakarta tumbuh dan berkembang di dataran banjir 13 sungai, yaitu sungai Cakung, Jatikramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Angke dan Mookervart, yang akibat luapannya telah menimbulkan masalah sejak dahulu (Prihatin, 2013).

Rata-rata curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu 2000 - 3000 mm dan daerah pengaruh pasang surut laut mencapai 40% (24.000 ha) dari luas keseluruhan 64.000 ha, juga menyebabkan masalah banjir di Jakarta tambah parah (Nugroho, 2002).

Bedanya, pori-pori tanah, sungai, danau, dan semacamnya adalah “rekayasa alam”. Sementara, bendungan, drainase, empung, kanal banjir, terowongan multifungsi (deep tunnel reservoir), dll. adalah “rekayasa manusia”. Tetapi kedua bentuk rekayasa tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memasukkan air ke dalam tanah, menampung air, dan/atau mengalirkan air ke laut.

Program Normalisasi/Naturalisasi: Mengalirkan Air Hujan ke Laut

Program normalisasi/naturalisasi sungai Ciliwung telah ada dan dilakukan sejak 2012, dan ditargetkan sepanjang 33,69 kilometer. Namun, hingga tahun 2017, normalisasi baru dilakukan sepanjang 16 kilometer (atau 48%), karena terkendala proses pembebasan lahan. Masih tersisa 17 kilometer lagi yang masih belum dilakukan.

Program normalisasi sungai didasarkan pada Perda Nomor 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, Perda Nomor 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, dan Perda Nomor 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.

Perda-perda tersebut mengamanatkan pengembangan prasarana pengendalian banjir dan drainase. Salah satunya melalui normalisasi aliran 13 sungai. Di dalam Perda-Perda tersebut, istilah normalisasi didefinisikan sebagai program pelebaran sungai dengan pemasangan turap beton yang bertujuan untuk mengatasi persoalan banjir Ibu Kota.

Program normalisasi sungai dikerjakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemprov DKI Jakarta. Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta bertugas untuk pembebasan lahan. Sementara, BBWSCC membangun infrastrukturnya.

Sejak awal kampanye, Anies memang menolak dan tidak memiliki rencana normalisasi sungai sebagai bagian dari program pengendalian banjir. Bahkan, sejak Februari 2018, semua kegiatan proyek normalisasi sungai dihentikan sementara.

Tetapi, akhirnya Anies pun bergeming. Tahun 2019, ia mengeluarkan program "tandingan" yang disebut “naturalisasi”. Program tersebut ditetapkan dalam Pergub Nomor 31/2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.

Di dalam Pergub tersebut, konsep naturalisasi dimaknai sebagai cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan Ruang Terbuka Hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir serta konservasi. Dengan konsep baru ini, peningkatan kapasitas sungai dilakukan secara "alami dan manusiawi".

Setelah sempat terhenti, berdasarkan Pergub tersebut proyek naturalisasi sungai kembali dilanjutkan. Area yang ditata berkisar antara 1,2 sd 1,5 kilometer, atau jauh lebih rendah dari rata-rata 3,2 kilometer per tahun pada medio 2013-2017.

Serapan anggaran untuk penanggulangan banjir tahun 2018-2019 pun sangat rendah. Bahkan tahun 2019 dan 2020 prioritas Pemprov DKI sudah tak lagi fokus pada naturalisasi sungai dan waduk, tetapi beralih ke pemeliharaan pengendalian banjir. Seperti pemeliharaan sistem drainase seperti saluran, sungai, waduk, situ, dan pompa.

Inilah yang kemudian dikritik keras oleh politisi PAN Faldo Maldini, “tidak banyak yang dikerjakan beberapa tahun belakangan. Mau ngeles kayak apapun, ujung-ujungnya orang akan pertanyakan itu. Jangan sampai sejarawan mencatat sebagai pemimpin yang buruk mengurus rakyat" tegasnya (22/02/2021).

Sementara pada tahun 2020 tidak ada laporan tentang kegiatan normalisasi maupun pelebaran sungai. Bahkan, belakangan sempat diisukan program normalisasi sungai di DKI Jakarta dikabarkan "hilang" dari draf perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022. Alih-alih, Anies malah tampak lebih fokus ke arah penyelamatan daya dukung lingkungan lewat pembuatan sumur resapan (LBR, hidroponik) atau drainase vertikal secara masif.

Keengganan Anies untuk melakukan normalisasi atau apapun istilahnya (naturalisasi) bisa dipahami, karena terkait dengan nasib warga yang berada di bantaran atau daerah aliran sungai (DAS). Anies menolak penggusuran demi pembenahan sungai.

Persoalan ini memang sangat dilematis di Indonesia, dan sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari keengganan pemerintah untuk mengambil tindakan sejak awal ketika ada masyarakat yang berdiam di bantaran sungai.

Kasus seperti ini, juga terjadi pada upaya penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) yang hampir memenuhi pinggiran jalan. Tidak hanya di Ibu Kota Jakarta, tetapi di seluruh kota di Indonesia.

Sikap permissif pemerintah, dengan membiarkan mereka di pinggiran sungai dan/atau jalan ketika masih berjumlah satu-dua orang/keluarga merupakan causa prima persoalan ini. Ketika mereka sudah banyak dan membangun pemukiman, warung, kos, dan semacamnya yang bersifat semi permanen, bahkan permanen, tentu akan menjadi sangat sulit untuk menertibkan, merelokasi, dan/atau menggusur mereka.

Baca Juga: "Kutukan" Banjir Jakarta dan Solidaritas Kemanusiaan

Di sisi lain, kalaupun ada perbedaan konsep antara Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) yang menginginkan normalisasi, dan Anies yang menginginkan naturalisasi, toh tidak harus dihentikan sama sekali. Pasti ada titik-titik temu yang bisa disepakati. Karena pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban dari “ego-sektoral” seperti itu. Jangankan harus menunggu banjir surut hingga 6 jam, 1 jam pun banjir melanda, menyisakan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.

Tak perlu pula merasa malu atau kalah pamor, dan harus tampil beda, jika memang program pemerintahan sebelumnya bisa digunakan dengan penyesuaian atau perbaikan. Mengapa tidak? Memang, semua yang terjadi atas izin Allah. Tetapi ikhtiar tetap harus diupayakan.

Kita juga harus menyadari, bahwa "sungai itu juga sunnatullah, untuk mengalirkan air ke laut". Normalisasi atau naturalisasi, karenanya tidak menyalahi sunnatullah, dan merupakan keniscayaan mengingat kondisi Jakarta yang dikepung oleh 13 sungai.

Tak perlu takut bertemu dan berdiskusi dengan warganya untuk kemaslahatan yang lebih besar. Karena banjir tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menciderai hak warga untuk memperoleh kehidupan yang layak dan manusiawi.

Salam

***