Cerita Tiro dan Ratu Shima

Ratu Shima paham betul bahwa hukum harus menunjang tujuan negara: mengusahakan kesejahteraan umum dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok tertentu.

Minggu, 14 Februari 2021 | 11:07 WIB
0
147
Cerita Tiro dan Ratu Shima
Ilustrasi tentara Romawi (Foto: Istimewa)

I

Kalau tidak salah, yang pertama kali menulis kalimat bijak ini adalah Tiro. Ia adalah sekretaris kepercayaan negarawan Romawi, Cicero yang nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero.

Cicero lahir pada tahun 106 SM di Arpinum, sebuah wilayah yang sekarang bernama Arpino, Italia. Tokoh yang meninggal pada tahun 43 SM di Formiae atau sekarang disebut Formia ini tidak hanya seorang negarawan, tetapi juga ahli hukum, cerdik-cendikia, dan penulis.

Tiro, adalah budak di rumah Cicero, yang kemudian dijadikan sekretaris pada saat usianya 24 tahun. Pada waktu itu, Cicero berusia 27 tahun. Bersama Tiro, Cicero pergi ke Athena untuk belajar filsafat. Di Athena, setiap hari, Tiro bertugas membawakan tas milik Cicero masuk ke ruang kuliah.

Suatu hari Cicero mengatakan, “Aku ingin kau masuk ke sini bersamaku dan belajar sedikit filsafat, supaya aku punya teman bicara dalam perjalanan kita yang panjang.”

Barangkali, karena mendampingi Cicero, maka Tiro pun menemukan kalimat bijak ini: “Kekuasaan memberikan banyak kemewahan bagi manusia, tetapi dua tangan yang bersih jarang termasuk di dalamnya.”

II

Karena itulah, mereka yang mempunyai kekuasaan—entah itu besar atau kecil; entah di tingkat pusat atau daerah; entah laki atau perempuan—ada yang tergoda untuk semakin mengotori tangannya dengan tindakan yang tidak hanya melanggar hukum melainkan juga melanggar etika, menghancurkan integritas moral yakni korupsi.

Korupsi (B Herry Priyono: 2018), pertama, menunjukkan kemerosotan watak etis orang/pelaku, tiadanya integritas moral, atau bahkan kebejatan hidup orang/pelaku. Di sini, perbuatan korup dipicu oleh motif dan watak yang korup.

Kedua, korupsi secara generik menggambarkan rumpun praktik sosial, apa pun motifnya, yang muncul dari atau menyebabkan kondisi kemerosotan kinerja institusi. Ketiga, korupsi menunjuk “beberapa jenis praktik seperti suap atau imbalan bagi persekongkolan”.

Korupsi itu sesuai dengan makna asal kata, corrumpere (dalam Kamus Latin-Indonesia, 1969) menghancurkan, membinasakan, memusnahkan, merusak, merusak bentuk, melemahkan, memalsukan, membusukkan, memerosotkan, mencemarkan, melanggar, menggodai, memperdayakan, dan juga memutar-balikkan. Karena itu, koruptor adalah pembusuk (pembuat busuk), perusak, dan juga tentu penghancur.

Yang dihancurkan oleh para koruptor bukan hanya diri mereka sendiri—hancur sudah integritasnya (integritas berasal dari bahasa Latin, integer yang berarti “utuh, seluruhnya, lengkap, genap, komplit, bulat, tidak cedera,  tidak rusak, murni—melainkan juga cita-cita mendirikan negara-bangsa yakni mengusahakan kemaslahatan bersama.

Kata orang Romawi, korupsi itu bermula dari keserakahan. Radix omnium malorum avaritias, keserakahan adalah akar dari semua kejahatan. Ibn Khaldūn (1332-1406) sejarawan dan filsuf besar dari Tunisia pernah mengatakan, nafsu kuat penguasa untuk hidup mewah menyebabkan korupsi.

Kehidupan mewah mengharuskan mereka untuk korup, untuk menjadi koruptor. Mereka menghalalkan semua jalan dan segala cara untuk mendapatkan kemewahan itu.

Kisah semacam ini banyak kita temui di negeri ini. Kisah hidup Pinangki Sirna Malasari yang sudah divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, sekadar salah satu contohnya.

Dari sidang pengadilan kasus Joko Tjandra yang antara lain melibatkan Pinangki, memperjelas, bahkan mempertegas, bahwa korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar tindakan oknum per oknum, melainkan sudah menjadi sistem sendiri, yang hidup dalam pengelolaan negara. Jadi persis sel kanker yang berkembang terus dan menggerogoti kesehatan tubuh. Masyarakat menyebutnya sekarang, “mafia” (A Sudiarja: 2018).

Korupsi bagaikan sel kanker, karena  pertama, secara tersembunyi destrukrif dan infektif bagi organisasi dan hidup berkelompok. Kedua, menyebar dan beranak-pinak (B Herry Priyono: 2018). “Anda bisa mengambil satu bagian kecilnya, tetapi hal itu akan tetap berada di sistem dan akan bisa tumbuh kembali sewaktu-waktu,” kata PM Singapura Lee Hsien Loong beberapa waktu lalu.

III

Tidak mengherankan, karenanya, kalau menurut laporan Transparancy Internasional Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 bila dibandingkan tahun 2019, melorot. Pada tahun 2019, Indonesia masih berada di peringkat 85 dari 180 negara dengan skor 40; tetapi pada tahun 2020 berada pada peringkat 102 dengan skor 37, dengan skala 0-100. Skor 0 berarti sangat korup, dan 100 sangat bersih.

Sekadar perbandingan. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura memiliki skor paling tinggi (85), Brunei Darussalem (60), Malaysia (51), Timor Leste (40), Vietnam (36), Thailand (36), Filipina (34), Laos (29), Myanmar (28), dan Kamboja (21).

Padahal, pemerintah terus dan terus melakukan penindakan, media tak henti-henti berteriak-teriak, masyarakat madani pun tak kenal lelah melawan. Tetapi, mereka, para koruptor seperti tidak punya telinga dan tak punya hati. Kalaupun punya, sudah tuli dan mati.  Kasus korupsi seperti patah tumbuh hilang berganti.

Yang mereka korupsi pun tak tanggung-tanggung. Sekadar sebagai contoh tujuh kasus korupsi terbesar (Kompas.com, 18/01/2020, 09.05WIB): Jiwasraya (perkiraan kerugian negara Rp 13,7 triliun), Bank Century (Rp 7 triliun), Pelindo II (Rp 6 triliun), Kota Waringin Timur (Rp 5,8 triliun), BLBI (Rp 4,58 triliun), E-KTP (Rp 2,3 triliun), dan Hambalang (Rp 706 miliar).

Apakah korupsi merupakan watak bangsa atau sudah menjadi habitus orang-orang yang memegang kekuasaan, entah itu di pusat atau di daerah, entah itu eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif? Tentu, tidak bisa secara terbata-bata segera menjawab pertanyaan itu.

Memang, Indonesia tidak termasuk dalam lima besar negara terkorup di dunia (Fox News, Kamis 6/2/2020): (1) Somalia, (2) Sudan Selatan, (3) Suriah, (4) Yaman, dan (5) Venezuela, Sudan, Afganistan, dan Guinea Ekuatorial. Akan tetapi, merosotnya skor nilai indeks persepsi, sungguh memrihatinkan.

Tentu, tidak cukup hanya “prihatin”, melainkan perlu tindakan keras, tegas, tanpa pandang bulu, dan hukuman yang berat bagi para koruptor. Ibarat kata seperti ujar-ujaran yang berbunyi fiat iustitia, pereat licet integer orbis! keadilan harus ditegakkan walaupun seluruh isi dunia punah!

Baca Juga: Tentang Nasib Buruk Djoko Tjandra

Kalau, menurut cerita, Ratu Shima, pemeluk Hindu Syiwa, yang memerintah di Kerajaan Kalingga (674-695) bisa menegakkan hukum dan keadilan, tentu sekarang pun mestinya bisa. Sang Ratu menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur.

Ratu Shima telah meruntuhkan apa yang dikatakan oleh Tiro, “Kekuasaan memberikan banyak kemewahan bagi manusia, tetapi dua tangan yang bersih jarang termasuk di dalamnya.” Kedua tangannya bersih sama dengan kekuasaannya, maka terciptalah keadilan dan hukum pun tegak.

Mengapa bisa demikian? Ratu Shima paham betul bahwa hukum harus menunjang tujuan negara: mengusahakan kesejahteraan umum dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok-kelompok tertentu.

Maka benar yang dikatakan oleh Blaise Pascal (1623-1662) seorang matematikawan, ahli fisika, dan filsuf agama dari Perancis: ”Berhentilah dengan nafsumu (termasuk nafsu korupsi), dan kamu menjadi beriman.” Dan, iman tanpa perbuatan baik adalah omong kosong.

Tindakan para koruptor adalah melawan semua keyakinan religius yang sehat. Tuhan, Sang Sumber Kebaikan, mustahil memerintahkan manusia melakukan penghancuran, perusakan, pembusukan, penggoda, pemberdaya, penyuap, dan pelanggar sebagaimana arti kata corruptor. Bukankah tidak mungkin, Tuhan memerintah manusia untuk melakukan kejahatan?

***