Berbeda

Jangankan yang tidak seagama, sesama seagama tapi cuma beda aliran saja sudah dianggap berbeda.

Sabtu, 20 Februari 2021 | 06:49 WIB
0
157
Berbeda
Ilustrasi berbeda (Foto: Voxpop.id)

Dulu waktu saya masih kecil tahun 90-an, kami tinggal di sebuah daerah yang sangat konservatif. Bahkan daerah tersebut tidak ditemukan Orang Keturunan. Biasanya di mana-mana yang saya tahu, studio foto itu pemiliknya pasti Keturunan, tapi di daerahku beda. Semua asli pribumi saking fanatiknya. Tidak ada tempat bagi "orang luar" di sana. Bahkan pribumi yang hanya beda agamapun punya kampung terpisah dengan yang agama kebanyakan. Sungguh daerah yang sangat fanatik.

Namun ada hal yang ingin saya kisahkan tentang perbedaan pandangan soal agama. Jangankan soal agama yang beda, sedangkan beda mazhab saja terlihat sekali pandangan orang-orang pada kami.

Ibu saya adalah seorang bidan yang ditempatkan di sebuah desa. Beliau penganut mazhab Muhammadiyah. Karena kakek memang salah satu sesepuh di Muhammadiyah pada masa itu, sehingga otomatis anak-anaknya mengikuti beliau juga. Begitu juga dengan ayah saya, yang awalnya NU mengikut pada ibu.

Di desa itu, penganut Muhammadiyah hanya ada dua keluarga. Kami dan seorang guru yang mengajar di yayasan Muhammadiyah. Jadi di desa tersebut tidak ada Mesjid untuk yang khusus Muhammadiyah. Adanya jauh dari desa tersebut. Alhasil Ayah dan Ibu saya tidak pernah pergi ke Mesjid. Jika sholat jumat, Ayah saya pergi ke Mesjid Muhammadiyah yang memakan perjalanan setengah jam naik motor atau naik becak motor. Untuk sholat hari-hari, bahkan sholat tarawih kami semua melakukannya di rumah.

Di desa tersebut, teman-teman sebaya saya setiap habis maghrib pergi belajar mengaji ke rumah seorang guru. Untuk belajar juz'amma dan Al-quran. Namun saya tidak pernah ikut dengan mereka. Karena ibu saya lebih memilih mengundang guru ngaji ke rumah saya. Hingga saya dan dua saudara saya belajar di rumah. Tetapi saya pernah "memaksa" orang tua saya untuk didaftarkan sekolah di MDA(Madrasah Diniyah Awwaliyah, biasanya milik NU) sepulang sekolah, karena saya tidak tahan dengan ejekan teman-teman saya yang mengatai dan mengejek saya bukan islam karena tidak sekolah"Arab" (Padahal saya pintar membaca juz amma dan lancar baca Al-quran di SD saya). Demikian di desa tersebut mengistilahkan untuk sekolah mengaji sepulang sekolah.

Sampai saya menginjak remaja (SMP) saya tidak pernah mengikuti pengajian ke rumah guru. Padahal ada yang khusus untuk remaja dan gadis-gadis di desa tersebut. Dilakukan sehabis maghrib dan selesai pada waktu azan sholat Isya. Sama sekali saya tidak pernah ikut, karena ibu saya tidak mendukungnya. Setahu saya dalam Muhammadiyah memang tidak ada tradisi seperti itu.

Ayah saya juga tidak ikut acara kumpulan pengajian untuk kaum bapak, demikian juga dengan ibu saya tidak ikut acara rutin mingguan pengajian kaum ibu. Namun jika orang tua saya dimintai sumbangan untuk apapun di desa tersebut, mereka selalu berpartisipasi (Muhammadiyah tidak mengenal tradisi wiridan dan tahlilan).

Ayah dan Ibu saya menyadari betul tentang pandangan tetangga dan orang sekitar kami perihal tersebut. Tetapi mungkin karena ibu saya orang yang punya jabatan, mereka sungkan untuk menunjukkan di depan kami. Karena bagaimanapun mereka juga datang berobat pada ibu saya. Namun di belakang kami banyak yang mencibir karena kami beda mazhab.

Saya bahkan sering dibully teman-teman ketika bulan ramadhan, karena saya tidak ikut tarwih di mesjid. Dengan menyebut "Orang Muham nggak ikut taraweh weeekkk!

Muham...Muham!" kata mereka ketika masih jam sekolah di SD. Seakan-akan "Muham" itu bukan islam dan karena menganut itu kami seperti orang lain. Tidak dianggap segolongan.
Bahkan soal pembayaran zakat pada bulan ramadhan saja kami sering dicibir. Orang tua saya memang tidak pernah menyalurkan zakatnya melalui Mesjid di desa tersebut, tetapi lebih memilih menyalurkannya langsung ke orang yang berhak menerimanya. Saya sering ikut melakukannya dulu. Hingga saya tau betul acara rutin orang tua saya tersebut.
See?

Jangankan yang tidak seagama, sesama seagama tapi cuma beda aliran saja sudah dianggap berbeda. Apalagi saat itu ibu saya tidak memakai kerudung/jilbab. Bahkan ibu saya rambutnya selalu dipotong pendek agar lebih rapi. Karena ibu saya melayani pasien-pasiennya wajib rapi dan bersih. Melihat hal itu, selalu jadi gosip bagi tetangga dan orang sekitar. Apalagi ibu saya berasal dari suku yang berbeda.

Kami tinggal di daerah yang notabene suku Mandailing, sementara ibu saya berasal dari Angkola. Tambah minuslah nilai agama kami di mata mereka. Karena dalam pandangan mereka, Angkola itu cenderung lebih dekat pada Suku Batak yang mayoritas beragama non muslim. Apalagi marga ibu saya juga beda dengan marga orang Mandailing pada umumnya.

Jadi saya sangat tidak heran melihat jika mayoritas seringnya tidak menerima minoritas...(maaf, saya menggunakan istilah tersebut). Itu persoalan klasik yang belum tuntas sampai detik ini