Protokol Kesadaran versus Protokol Kesehatan

Di tengah frustrasi ini, yang paling penting menumbuhkan kesadaran diri-sendiri. Menjaga kesehatan tubuh dengan perilaku dan makanan bermutu.

Kamis, 10 September 2020 | 06:18 WIB
0
154
Protokol Kesadaran versus Protokol Kesehatan
Mengenakan masker (Foto: liputan6.com)

Mana lebih penting, protokol kesehatan atau protokol kesadaran? Sudah 6 bulan lebih, perkembangan virus Corona seolah baru dimulai. Tapi ujungnya, tidak memakai masker didenda ratusanribu. Duite mbahmu?

Banyak mendenda pertanda sukses atau gagal? Gagal membaca persoalan dari sebab hingga akibat. Bagaimana kalau tak memakai masker, tak patuh protokol kesehatan, bukan karena ketidaktahuan, tapi bagian dari perlawanan, atau penolakan?

Tak sedikit yang frustrasi. Lebih karena meyakini protokol kesehatan justru berdampak negatif. Karena pemerintah, juga dokter, tak bisa dipercaya? Kenapa bisa begitu, apa buktinya? Bisa panjang lebar menjelaskan. Capek membacanya (juga nulisnya ding).

Pemerintah tak memposisikan masyarakat sebagai subjek. Padal, dari perjalanan setengah tahun lebih, semua kesimpulan medis di dunia, perlawanan paling afdol terhadap virus, terletak pada jiwa dan raga kita. Di situ protokol kesehatan, PSBB, dan sejenisnya, bisa kontra-produktif, jika pendekatan kesadaran (antropologis, sosiologis), sama sekali tak tersentuh.

Senyatanya, kini fase penyebaran Corona lebih meluas. Sampai ke desa-desa, yang mobilitasnya rendah dan semula kalis. Hanya karena para kurir khusus (orang kota mudik atau piknik). Protokol kesehatan menjadi pembatasan ruang gerak, yang justeru berpotensi melemahkan daya tahan manusia, bukannya penguatan.

Alih-alih melakukan strategi penguatan, pemerintah (apalagi IDI), lebih menggantungkan pada ketersediaan vaksin, yang belum tersedia. Vaksin Merah Putih baru akan diproduksi massal pertengahan 2021. Rakyat harus beli atau gratis? Test-swab saja bertarif ratusan ribu.

Kita kehilangan imajinasi. Mengapa Jokowi yang suka minum jamu tak mengajak kembali ke alam, di mana flora dan herba kita tumbuh subur? Murah dan mudah, serta telah banyak mengalami uji klinis modern. Takut pada ancaman IDI? Presiden kok takut.

Penanganan bencana nasional, semestinya tanggungjawab pemerintah. Yang belum dilakukan, bagaimana cara melakukan penguatan daya tahan tubuh, dari dalam jiwa-raga per-individu. Di situ protokol kesadaran berkait strategi gerakan perlawanan bersama-sama. Lupakan pendekatan influenzer, karena bisa jadi bumerang.

Maka di tengah frustrasi ini, yang paling penting menumbuhkan kesadaran diri-sendiri. Menjaga kesehatan tubuh dengan perilaku dan makanan bermutu. Tak harus mahal, malah jauh lebih murah dan mudah. Menjaga produktivitas daya imun, berolahraga, bersosialisasi, bergotong-royong, berkesenian, bergembira, jangan lupa bahagia.

Jangan sampai protokol kesehatan jadi protokol kejahatan. Karena membatasi pergerakan manusia, jika negara tak mampu melakukan penjaminan, bisa lebih celaka. Bukan karena tak ada anggaran, melainkan karena salah urus, salah data, salah masuk kantong. Ketilep KKN, atau tega nyuri untuk Pilkada 2020, serta tabungan Pemilu 2024.

@sunardianwirodono

***