Ketika Islam Bertemu dengan Budaya Sunda

Acara malam shalawat di Mesjid Nurul Al Falah beberapa minggu lalu, membuka mata saya tentang kekuatan nilai budaya dan spiritual yang luar biasa dari komunitas kabuyutan suku asli Sunda.

Minggu, 6 Oktober 2019 | 06:40 WIB
0
1601
Ketika Islam Bertemu dengan Budaya Sunda
Saya bersama tokoh Sunda (Foto: DOk. pribadi)

Pada satu Senin malam di Bandung bulan September 2019 lalu, saya berkesempatan menyambangi salah satu mesjid di Bandung, Jawa Barat. Saya bertandang ke Mesjid Nurul Al Falah, di kawasan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari atas undangan Bapak Yusuf Bachtiar (57). Pupuhu Abah Yusuf, demikian namanya sering disebut, sebenarnya sudah sering mengundang saya untuk hadir dalam acara-acara yang diadakan komunitas Kabuyutan Gegerkalong yang dipimpinnya. Tetapi baru kali ini saya sempat hadir. Abah bilang, Senin malam itu akan digelar acara ibadah mingguan: Shalawatan. Saya dengan senang hati menghadirinya.

Saya berjalan kaki bersama Abah Yusuf, dari kediamannya yang tak jauh dari tempat itu. Menyusuri gang-gang sempit, dan juga jalan besar. Sepanjang perjalanan ia bercerita tentang sejarah Kabuyutan Gegerkalong tempat dia dan keluarga besarnya bermukim lima generasi hingga kini. Dengan bangganya ia bercerita bagaimana leluhurnya merawat nilai-nilai spiritual dan budaya Sunda. Ia pun bertutur tentang kebanggaannya menjadi bagian dari Kabuyutan Gegerkalong yang dicintainya.

Sampai kami akhirnya tiba di pelataran mesjid Nurul Al Falah. Mesjid yang dibangun sejak tahun 1967 oleh leluhurnya. Mesjid yang sudah direnovasi berkali-kali, diperluas, diperbesar, dibuat bertingkat, oleh almarhum ayahnya Haji Didi Sutarna Hasbiadi yang wafat pada tahun 2005. Juga yang akhirnya dilanjutkan oleh Abah Yusuf dan anggota Kabuyutan Gegerkalong lainnya.

Saya melihat beberapa pria setengah baya, yang berpakaian seperti Abah Yusuf, pakaian hitam dan ikat kepala hitam, menyambut kami di pelataran mesjid. Sebagaimana saya pernah memasuki area mesjid lain, saya melepaskan alas kaki saya, dan menutup kepala saya ketika memasuki tempat itu.

Saya melihat karpet merah tergelar di seluruh lantai mesjid Nurul Al Falah. Cahaya temaram membawa suasana syahdu ke seluruh ruangan mesjid. Ruangan belum ramai. Kami memang tiba lebih awal. Lalu Abah Yusuf membimbing saya ke bagian belakang, daerah kaum perempuan untuk duduk di lantai selama ibadah berlangsung. Saya mengikuti arahannya untuk duduk di situ sampai acara usai.

Tapi selama menunggu jemaah berdatangan, ada yang menarik perhatian saya. Saya melihat kesibukan beberapa pria berpakaian hitam-hitam itu di bagian depan ruangan dalam mesjid. Saya beranjak dari tempat duduk saya untuk memperhatikan lebih dekat aktivitas mereka.

Mereka mengatur sekitar 15 lilin-lilin berdiameter sedang berwarna merah dalam gelas-gelas kaca bening, dan menghidupkan apinya. Saya pun melihat sekitar 30 buah kelapa muda yang masih utuh diatur di sisi kanannya. Beberapa tampah bambu di atur berbaris-baris. Masing-masing tampah berbeda-beda isinya. Ada yang berisi bunga mawar merah dan mawar putih dan melati, dan beberapa jenis daun-daunan. Saya pun melihat ada satu tampah berisi mangkuk-mangkuk yang berisi bubur merah dan bubur putih.

Ada juga beberapa tampah berisi hasil-hasil bumi seperti singkong, kacang, ubi, jagung dan buah pisang. Ada juga tampah berisi beberapa jenis penganan khas Sunda. Ada yang dibungkus daun pisang, ada yang dikukus dan digoreng. Saya tidak tahu namanya apa saja. Ada juga air minum yang mereka atur di situ, diletakkan dalam tampah semua. Mereka mengerjakan semua itu dengan cepat dalam hening. Semua seperti dihidangkan dalam altar mesjid untuk Tuhan. Dalam sebuah acara Shalawat Nabi.

Ibadah Islam dalam mesjid seperti ini tidak pernah saya hadiri. Tidak pernah juga saya lihat. Acara yang baru untuk saya. Saya kembali duduk bersila di lantai khusus untuk perempuan di bagian belakang mesjid. Bergabung dengan jemaah-jemaah perempuan lain di mesjid itu. Sambil menunggu acara untuk dimulai, saya berkenalan dengan banyak jemaah perempuan yang duduk di sekitar saya. Bersalaman dan bertukar nama. Tak lama kemudian, seorang pria memegang mic dan mengajak jemaah yang hadir untuk memulai acara Shalawat Nabi. Semua masuk dalam hening mempersiapkan hati dan pikiran menghadap Tuhan.

Tak lama kemudian Abah Yusuf, tampil ke depan, sambil memegang mic. Ia memberikan semacam renungan singkat pada semua yang hadir di ruangan itu. Ia berbicara tentang sejarah dan keagungan agama Islam, tentang pribadi mengagumkan Nabi Muhammad SAW, tentang arti dan pentingnya ibadah shalawat, manfaatnya, dan bagaimana mengimaninya.

Lalu Abah Yusuf menyanyikan lagu dalam bahasa Sunda yang arti syairnya mengagungkan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Lagu tradisional bahasa Sunda lawas yang berisi pemujaan pada Tuhan Allah SWT dan pada kecintaan umat pada nabi Muhammad SAW. Lagu tradisional relijius yang juga akhirnya dinyanyikan bersama seluruh jemaah Kabuyutan yang hadir.

Dan setelah itu, ibadah shalawat itu dimulai. Dimulai dari dirinya yang melantunkan itu dengan mic di depan, didengar dan diikuti oleh semua yang hadir. Dilantunkan berulang-ulang dengan sepenuh hati. Dengan penghayatan. Dengan irama dan kalimat yang sama, dengan kekuatan yang konstan, dengan khusuk dan lembut. Semua yang ada di ruangan itu melagukan shalawat dengan tempo yang sama. Suara pria dan wanita berpadu indah.

Tak henti-henti, dengan mengulang-ulang kalimat yang sama. Tanpa lelah dan dengan semangat yang sama. Terus menerus doa shalawat ini dinaikkan tanpa henti ke hadirat Tuhan oleh semua jemaah Kabuyutan yang hadir. Keindahan doa yang dilafalkan dengan penghayatan penuh, bukan hanya sekedar hafalan. Dengan kalimat dan irama yang jelas. Dengan penjiwaan penuh. Dengan keyakinan iman. Inilah yang disebut Shalawat. Yang diyakini membawa banyak manfaat. Dan semua jemaah Kabuyutan Gegerkalong masuk dalam ritual agung tanpa henti yang khusuk.

Sampai akhirnya ibadah shalawat itu berakhir. Dan dilanjutkan dengan doa bersama seluruh jemaah Kabuyutan yang hadir. Suasana khusuk tetap terasa. Abah Yusuf kembali memimpin doa permohonan bersama jemaah kabuyutan kepada Tuhan. Dimulai dari pengakuan dosa dan permohonan pengampunan pada Tuhan. Sampai masuk pada doa-doa permohonan.

Abah Yusuf menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Arab, juga bahasa Indonesia berganti-ganti. Beliau juga menyebut banyak nama-nama orang untuk didoakan. Nama-nama banyak orang yang harus didoakan, meminta didoakan, dan dengan sukarela mereka doakan bersama. Abah Yusuf dan semua jemaah Kabuyutan juga berdoa untuk seluruh anggota jemaah mereka yang hadir atau tidak hadir. Saya jadi terharu.

Sungguh besar cinta dan kepedulian semua jemaah pada sesamanya. Dengan tulus mereka membawa nama-nama pada Tuhan untuk dilindungi, dijaga, dikaruniai kesehatan dan kedamaian. Juga mendoakan Indonesia, pemerintah dan rakyatnya dan semua aparatur negaranya.

Ups, saya hampir lupa. Nama saya juga didoakan Abah Yusuf. Abah Yusuf menyebut nama saya yang diaminkan oleh semua hadirin yang ada. Sesuatu sekali ini untuk saya. Acara doa ini memang cukup lama, tapi semua jemaah Kabuyutan tetap bertahan duduk dan mengikutinya dengan tekun dan khusuk. Sampai akhirnya, doa-doa permohonan usai dilantunkan seluruh jemaah kepada Tuhan.

Setelah doa selesai, Abah Yusuf meminta semua jemaah yang hadir untuk tetap duduk. Ia memberi pengumuman tentang kegiatan Mesjid Nurul Al Falah yang sudah dan akan dilaksanakan.

Dan akhirnya, Abah Yusuf mulai memanggil nama jemaah Kabuyutan yang hadir satu per satu. Setelah namanya dipanggil, ia meminta yang dipanggil untuk datang ke depan untuk menerima hidangan yang disampaikannya dengan tangannya sendiri. Semua maju per satu dan menerima pemberiannya dengan syukur dan senang hati.

Sekali lagi, nama saya disebut di depan umum oleh Abah. Yusuf. Saya juga dipanggil ke depan, untuk menerima satu butir kelapa muda dari tangan Abah. Secara terbuka saya mengucapkan terimakasih pada Abah Yusuf dan semua jemaah kabuyutan yang hadir malam itu di mesjid Nurul Al Falah. Lalu saya kembali duduk di barisan jemaah perempuan di belakang.

Tak lama kemudian, tampah-tampah itu diedarkan ke semua yang hadir yang ada di seluruh ruangan dalam mesjid. Semua yang duduk dipersilakan menikmati semua hidangan yang ada di tampah-tampah itu. Seorang pria setengah baya memberikan setiap jemaah satu kuntum mawar merah, satu kuntum mawar putih, dan satu kuntum melati dalam sebuah piringan daun lebar berbentuk hati bewarna hijau tua. Ia juga memberikan itu ke tangan saya. Saya menerimanya dengan senang hati. Wanginya masih terasa sedap, harum mawar bercampur melati.

Tak lama kemudian bubur merah dan putih diedarkan. Rasa gula aren dan gurih santan kental di lidah saya membuat saya melahapnya sampai habis. Makanan-makanan lain dalam tampah pun diletakkan tak jauh dari kami. Saya sangat menikmati penganan-penganan khas Sunda ini, yang menurut saya memang sudah cukup lama saya tidak nikmati. Rasa déjà vue saya rasakan.

Sayang, saya lupa menanyakan nama-namanya apa saja. Sepertinya, hidangan-hidangan yang ada dalam tampah lebih dari cukup untuk memberikan konsumsi pada semua jemaah yang hadir malam itu di Mesjid Nurul Al Falah.

Acara ramah tamah berlangsung dengan khidmat dan penuh kekeluargaan. Ada kehangatan dan kasih persaudaraan yang saya temui di sana. Ada kerukunan dan kebersamaan. Ada wajah bahagia dan damai yang saya temukan di setiap jemaah yang usai bershalawat. Ini mungkin salah satu manfaat ibadah Shalawat yang langsung dirasakan jemaah, termasuk saya, sebagaimana disampaikan Abah Yusuf.

Setelah itu, saya menyempatkan diri berkenalan lagi dengan semua jemaah yang hadir, yang saya belum sempat kenal ketika ibadah akan dimulai. Saya melihat banyak mahasiswa datang dan ikut ibadah shalawat tadi, dan kini berdiskusi serius dengan Abah Yusuf tentang ibadah Shalawat ini. Saya bergabung dengan diskusi itu, dengan lebih banyak mendengar, sambil menikmati jagung dan kacang rebus. Saya belajar tentang sejarah Kabuyutan Gegerkalong dengan cepat malam itu. Juga tentang keindahan nilai-nilai tradisi agama Sunda yang menerima masuknya agama Islam dalam Kabuyutan.

Saya pun belajar tentang seni dan budaya Sunda yang dilestarikan Kabuyutan Gegerkalong, yang berhasil memasukkan nilai-nilai Islami ke dalamnya. Sepertinya, waktu semalam itu tidak cukup. Tapi, saya bingung juga, mengapa saya dapat mencernanya juga malam itu dengan cepat. Mungkin karena rasa ingin tahu dan kekaguman saya pada sebuah komunitas Kabuyutan Gegerkalong.

Sungguh, malam itu saya menikmati keindahan bertemunya budaya tanah Pasudan dan agama Islam dalam ibadah Sholawat Mesjid Nurul Falah di Kabuyutan Gegerkalong. Saya melihat keagungan Islam dalam ibadah yang kaya dengan makna spiritual dan budaya. Sebuah ibadah yang tampil tanpa harus menghilangkan masing-masing identitas: agama dan budaya. Semua dapat tampil bersama. Keindahan yang saling mendukung dalam ibadah yang khusuk dan penuh penghayatan. Sangat Islami dan sangat Sunda. Itu luar biasa untuk saya.

Malam itu, saya belajar bahwa ada ibadah umat muslim yang berbeda dari ibadah Islam pada umumnya. Ibadah khas dan unik. Ibadah yang kaya dengan makna, terbingkai apik dalam budaya Sunda. Seluruh yang hadir sepertinya sudah bertemu Tuhan dalam kepenuhan hati dan penghayatan pribadi. Apa yang anda harapkan dalam sebuah ibadah kecuali melihat wajah-wajah bahagia orang yang menemukan Tuhan usai melantunkan doa?

Saya melihat wajah-wajah seperti itu di sana. Nilai budaya yang mengakar kuat di dalam hati anggota komunitas Kabuyutan Gegerkalong, menjadi identitas khusus mereka. Mereka menemui Tuhan dalam dimensi Islami yang kental dengan tradisi suku bangsa Sunda. Walaupun saya bukan seorang muslim, berada bersama mereka membuat saya merasa jadi bagian mereka. Saya turut merasakan itu ada dalam ibadah Sholawat mereka. Ada kekuatan spiritual yang terpancar di sana yang merayap memasuki hati saya.

Seberapa banyak komunitas seperti ini ada di tengah-tengah bangsa Indonesia? Kalau menurut Abah Yusuf, komunitas kabuyutan cukup banyak dan tersebar di seluruh nusantara. Kalau itu benar, maka komunitas masyarakat adat Sunda seperti Kabuyutan Gegerkalong, bahkan kabuyutan-kabuyutan lain di seluruh nusantara adalah bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.

Dari Abah Yusuf, saya diberitahu, bahwa beliau adalah generasi kelima dari pendiri Kabuyutan Gegerkalong dua abad lalu yang bernama Mama Muhammad Hasan Nur Ali. Beliau dikenal sebagai Maung Bandung, Singa dari Bandung, yang membuat takut Belanda di masa penjajahan dahulu. Dan menurutnya, sejarah kabuyutan-kabuyutan lain di Jawa Barat ataupun seluruh Indonesia memiliki kesamaan. Kabuyutan yang menerima Islam masuk dan mempengaruhi budaya asli tradisi mereka, tanpa konflik dan damai, bahkan berhasil membuktikan nasionalisme dan patriotismenya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Ia menuturkan bagaimana komunitas kabuyutan senusantara tetap memelihara kebersamaan mereka dengan menggelar acara Kawin Cai hampir setiap tahun di Jawa Barat. Acara budaya yang sakral yang dihadiri dari seluruh raja-raja nusantara dengan mengumpulkan air senusantara sebagai lambang kebersamaan dan komitmen teguh berbangsa dan bernegara Indonesia dalam bingkai NKRI

Menurut Abah Yusuf, banyak tokoh-tokoh kabuyutan nusantara yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Menurut Doktor Philosophy Distance Learning dari Singapore University ini, Kabuyutan adalah salah satu benteng negara yang sudah teruji lewat waktu kesetiaannya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Pupuhu (pemimpin) Kabuyutan Gegerkalong ini, kabuyutan adalah salah satu bukti adanya keluhuran budi dan nilai spiritual bangsa Indonesia yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sesuatu yang sudah dan harus terus dipelihara, dirangkul dan dirawat negara kelangsungannya. Kabuyutan yang berhasil tampil dengan semangat ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang sekaligus juga sudah mengokohkan Piagam Madinah.

Acara malam shalawat di Mesjid Nurul Al Falah, di kota Bandung beberapa minggu lalu, membuka mata saya tentang kekuatan nilai budaya dan spiritual yang luar biasa dari komunitas kabuyutan suku asli Sunda. Kabuyutan yang menurut saya sanggup bertahan melintas abad dan zaman, dan berhasil melestarikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, tanpa kehilangan nilai sejati Islam yang agung: Islam rahmatan lil Al Amin.

***