Menjadi Artis

Orientasi duit lebih kuat daripada panggilan seni. Bukan hanya artis sinetron, artis di bidang mana pun juga tak sedikit yang orientasinya lebih ke duit daripada proses dan kualitas karya.

Senin, 12 Agustus 2019 | 07:51 WIB
0
355
Menjadi Artis
Ilustrasi artis (Foto: Opsi.id)

Belum lama lalu, di Kediri, 25 perempuan muda jadi korban penipuan dalam casting sinetron 'Sajadah Cinta'. Kasus jadul bermodus casting berulang kembali. Dan masih ada juga yang ketipu. Untuk menjadi artis sinetron, atau bintang film, mau-maunya disuruh mbayar jutaan rupiah.

Sebutan artis, agaknya menjadi daya tarik. Di Indonesia, yang disebut artis itu 'hanya' mereka yang bekerja di industri film, televisi atau dunyia nyanyi, utamanya pop. Kalau keroncong, alih-alih disebut artis. Biasanya seniman keroncong, atau kalau tidak; buaya.

Dalam dunia kesenian yang mulia, paling-paling yang disebut artis mereka yang bergerak di seni rupa. Itu pun mungkin mesti dengan dua huruf t; Artist, untuk membedakan dengan 'artis' yang barangkali dianggap kastanya lebih rendah. Di situ bisa dijelaskan, mungkin huruf t terakhir itu kode untuk kasta 'tinggi'. Sementara nggak ada sastrawan, penyair, cerpenis disebut artis, apalagi dengan t.

Kalau dalam seni tradisional, lebih parah lagi, kayaknya nggak ada yang jadi seniman, apalagi artist. Yang pinter ngendang disebut tukang kendang. Yang pinter ndemung disebut tukang ndemung. Kayak tukang tambal ban, tukang patri, tukang pijet. Belum satu dekade ada istilah empu tari, empu gending, yang tarafnya dalam dunia akademis setingkat profesor, yang sebenarnya lebih mudah didapat daripada gelar doktor (asal yang bukan honoris causa).

Untuk 25 perempuan muda yang ketipu jadi artis itu? Saya tidak tahu apakah mereka bercita-cita jadi artis atau ngiler honornya. Wong katanya, fresh graduate lulusan UI saja, merasa terhina dengan gaji perbulan Rp8 juta.

Bisa jadi, orientasi duit lebih kuat daripada panggilan seni. Kalau yang begini, bukan hanya artis sinetron, artis di bidang mana pun juga tak sedikit yang orientasinya lebih ke duit daripada proses dan kualitas karya. Tapi, saya nggak akan nulis ini, karena bagian dari ngeri-ngeri sedap itu.

Dunia memang berubah. Sementara seni kadang menolak berubah, dalam soal kasta dan penilaian atas yang disebut kualitas. Apalagi jika sang seniman kemudian ngomong; Ini karya seni, nggak boleh diganggu-gugat, yang arti sebenarnya adalah anti kritik.

Betapa pentingnya status, kedudukan, sebagai bagian dari kemuliaan. Sedikit orang mau berlajar pada apa yang disebut management by process. Maunya ujug-ujug artis, ujug-ujug seniman, ujug-ujug di atas Rp 8 juta, ujug-ujug politikus.

Karena Orde Baru sampai kini masih menjajah kita dengan filosofi pragmatisme, yang inti ajarannya management by product. Yang intinya inti, suhunya suhu, mengajari pada tindak kriminal berupa 'jalan pintas'.

Dengan iming-iming kemudahan, para calon artis mau-maunya menyogok, menyuap. Padahal, modus kayak gitu persis kayak dongeng Ndhe-andhe Lumut yang sampai lumuten di kerak kepala kita.

Di jaman Prabu Inu Kertapati (konon personifikasi Prabu Sri Kamesywara pada abad 11-12, dan gemblungnya di Kediri pula), ada saja para perempuan yang rela di-ihik tukang satang (sampan). Agar bisa diseberangkan untuk menjadi isteri Andhe-andhe Lumut yang cakep.

***