Pemindahan Ibu Kota Sebaiknya Dipikirkan Lagi

Emil ketika Diskusi Publik pada hari Jumat, 23 Agustus 2019 itu mengatakan, usalan Bappenas yang menjadi langkah pengambilan kebijakan Presiden RI Joko Widodo, keliru.

Rabu, 4 September 2019 | 06:24 WIB
0
651
Pemindahan Ibu Kota Sebaiknya Dipikirkan Lagi
Emil Salim (Foto: Tempo.co)

Memang tidak mudah mengelola negara ini. Segala sesuatu harus dikaji dengan hati-hati. Kesalahan mengambil sebuah keputusan, bukan saja berdampak negatif buat diri kita, tetapi juga terhadap generasi mendatang.

Itulah sebenarnya pemikiran para pendiri negara ini, sehingga buat negara yang sudah berdiri selama 74 tahun,  tidak akan mungkin muncul kalimat penyesalan dan penderitaan untuk generasi penerus di belakang hari.

Rencana pemindahan ibu kota RI ke Pulau Kalimantan juga perlu didiskusikan sebaik mungkin. Saya baca di Kompas.com, bahwa INDEF sudah melakukan sebuah diskusi, dimana menghadirkan Prof. Dr. Emil Salim.

Emil Salim sekarang sudah berusia 89 tahun, lahir di Lahat, Sumatra Selatan, 8 Juni 1930. Ia adalah seorang ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar, dan politisi Indonesia. 

Emil juga merupakan salah seorang di antara sedikit tokoh Indonesia yang berperan internasional. Ia adalah tokoh lingkungan hidup internasional yang pernah menerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia.

Pada tahun 2006, Emil Salim menerima anugerah Blue Planet Prize.  Pada tahun 2006 dari The Asahi Glass Foundation. Sebelumnya, pada tahun 1994, setelah menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan, Emil beserta koleganya seperti Koesnadi Hardjasoemantri, Ismid Hadad, Erna Witoelar, M.S. Kismadi, dan Nono Anwar Makarim mendirikan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI), sebuah organisasi non-pemerintah (bahasa Inggris: Non-Government Organisation) yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan.

Sedangkan INDEF, tempat ia mengemukakan pandangannya, adalah Institute for Development of Economics and Finance/INDEF, sebuah lembaga riset independen dan otonom yang berdiri pada Agustus 1995 di Jakarta. 

Aktivitas INDEF di antaranya melakukan riset dan kajian kebijakan publik, utamanya dalam bidang ekonomi dan keuangan. 

Kajian INDEF diharapkan menciptakan debat kebijakan, meningkatkan partisipasi dan kepekaan publik pada proses pembuatan kebijakan publik. INDEF turut berkontribusi mencari solusi terbaik dari permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia.

Emil ketika Diskusi Publik pada hari Jumat, 23 Agustus 2019 itu mengatakan, usalan Bappenas yang menjadi langkah pengambilan kebijakan Presiden RI Joko Widodo, keliru.

"Di sini kita ingin bilang kepada teman-teman kita di Bappenas, keliru cara berpikirnya itu. Yang kasihan,  ya presiden, yang memikul dampaknya. Kenapa Bappenas tega berbuat seperti itu? Saya sedih sekali mendengarnya," kata Emil Salim.

Emil Salim memaparkan, kondisi Jakarta dan beberapa wilayah di utara pulau Jawa yang terkikis air laut terancam banjir. Maka 167 juta penduduk pulau Jawa harus diselamatkan.

"167 juta jiwa terancam bencana banjir karena bagian utara Pulau Jawa sinking, jadinya banjir. Tapi mana tanggung jawab Bappenas yang menyatakan ini harus pindah? Astagfirullah, saya bukan orang Jawa tapi saya menangis membaca ini," ucap Emil yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan di era 70-an tersebut.

Untuk itu, ia meminta Bappenas maupun lembaga pemerintahanterkait untuk mempertimbangkan pendapat dari publik dan juga akademisi. Ia bahkan mengajak Bappenas adu logika soal wacana pemindahan ibu kota ini.

"Saya tidak anti Bappenas, tapi mari adu logika dengan logika, demi selamatnya Presiden Jokowi," tandasnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi bersemangat sekali untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Adalah Tjilik Riwut yang pertama memunculkan ide pemindahan ibukota. Idenya ini didengar oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno.  

Lalu menugaskan timnya untuk berangkat ke Kalimantan. Laporan ini sudah tentu tersimpan rapi di file Kesekretariatan Negara.

Kemudian Presiden Jokowi tentu sangat mengenal siapa Tjilik Riwut, meski melalui nama, karena pada tanggal 8 April 2019, presiden meresmikan terminal baru Bandar Udara Tjilik Riwut.

Sebelumnya Bandar Udara Tjilik Riwut mempunyai nama Pelabuhan Udara Panarung berdiri pada tanggal 1 Mei 1958 yang peresmiannya dilaksanakan oleh Residen Kalimantan Tengah yaitu Tjilik Riwut sendiri. Pada saat itu dapat difungsikan dan didarati Pesawat Terbang jenis Twin Otter (dari TNI-AU).

Pada tanggal 24 September 1973 Pelabuhan Udara Panarung oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah diserah terimakan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI. 

Sejak itu tanggung jawab Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah beralih sepenuhnya kepada pemerintah pusat, sebagai tindak lanjut dari serah terima tersebut oleh Menteri Perhubungan Prof. Dr. Emil Salim dinyatakan Pelabuhan Udara Panarung Palangka Raya sebagai Pelabuhan Udara untuk lalu lintas udara dalam negeri (Domestik) dengan menggunakan pesawat jenis Fokker 27. 

Tjilik Riwut, lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918, dan meninggal di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun. Ia adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah pertama.

Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak dari suku Dayak Ngaju yang menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Perjalanan dan perjuangannya kemudian melampaui batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa.  

Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998 pada tanggal 6 November 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan pada masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah).

Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak, ia telah mewakili 185.000 rakyat terdiri dari 142 suku Dayak, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 3 panglima, 10 patih, dan 2 tumenggung dari pedalaman Kalimantan yang bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapan Presiden Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.

***

Keterangan: Tulisan telah dimuat sebelumnya di Kompasiana dengan judul yang sama.