Kegagalan Awal dari Revolusi Moral

Jumat, 18 Januari 2019 | 16:16 WIB
0
414
Kegagalan Awal dari Revolusi Moral
Ilustrasi revolusi mental (Foto: Wordpress)

Bulan ini merupakan bulan yang sudah ditunggu-tunggu oleh para kontestan politik. Hal ini disebabkan pada timeline yang sudah ditetapkan oleh KPU sejak jauh-jauh hari sebagai bulan awal untuk berkampanye secara resmi.

Efeknya dapat kita lihat bersama, dipinggir jalan, tiang listrik, serta beberapa tempat strategi yang mudah dilihat terpampang foto salah satu calon, entah legislatif pada tingkat daerah atau nasional bahkan calon presiden.

Selain media konvensional, metode yang digunakan oleh para calon untuk berkampanye melalui media digital. Dampaknya, tentu dapat ditebak,  beranda di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan yang lainnya dipenuhi oleh foto calon, itu pun kalau kita berteman atau memfollow akunnya. Kalau tidak, ya tentunya beranda kita mungkin tidak ada yang berkampanye, terkecuali ada teman kita yang menjadi tim pendukung dari calon legislatif atau presiden.

Kalau ngomongin masalah kampanye, saya jadi teringat beberapa hari yang lalu di twitter. Pada saat itu, tengah ramai diperbicangkan mengenai kampanye dari tim Prabowo di Jogja dengan menggunakan lagu beraliran rap yang saat itu tengah booming, yaitu Jogja Istimewa.

Awal-awalnya sih saya juga kagum dengan kreativitas dari tim kampanyenya Pak Prabowo, karena dia menggunakan instrumen lagu tersebut namun liriknya mereka ganti. Meskipun sebenarnya kalau berbicara Jogja, tidak heran. Soalnya saya pernah kesana sebanyak dua kali dan saya melihat sendiri kreativitas dari para seniman yang ada disana.

Namun kekaguman saya justru hanya sebentar, karena setelah saya melihat percakapan dari twit tersebut, salah seorang dari akun tersebut mengomentari mengenai konsep kampanyenya dan merasa hak cipta dan intelektualnya terenggut.

Akun tersebut bernama Marzuki Mohamad atau biasa dikenal dengan nama Kill The DJ yang bernama asli Marzuki Mohamad. Pembaca tentu sudah menduga dia itu siapa, dia adalah pencipta serta yang mempopulerkan lagu Jogja Istimewa.

Pada akun pribadinya, Marzuki Mohamad merasa gusar karena lagu yang sudah diciptakannya dengan semudah itu digunakan, namun mengalami perubahan pada lirik lagunya. Ah, betapa menjengkelkannya ketika saya melihat percakapan itu. Penyebabnya sih sederhana, karena ternyata ketika para pendukung dari Prabowo ini tidak berkomunikasi untuk meminta izin terlebih dahulu guna menggunakan lagu tersebut dalam berkampanye.

Lebih menjengkelkannya lagi, setelah saya membaca berita di detik.com, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo sudah menyatakan bahwa dia enggan meminta maaf atas perbuatan dari relawannya.

Belum Meminta Izin

Bagi sebagian pembaca mungkin sikap saya yang kesal menganggapnya berlebihan. Namun saya memiliki alasan yang cukup dipikirkan oleh para pembaca yang budiman. Pertama, menurut saya apa yang dilakukan oleh relawan ataupun Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sangat tidak etis. Karena lagu yang digunakan tidak berkomunikasi terlebih dahulu.

Tentunya pembaca masih ingat saat lagu Akad yang diciptakan oleh Is dari grup band Payung Teduh banyak direcycle oleh banyak orang. Kemudian dipublikasikan kembali melalui akun yang bersangkutan sehingga menghasilkan pundi-pundi uang kepada yang bersangkutan, namun pihak yang sudah merecycle tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Payung Teduh. Apa dampaknya? Ia selaku pencipta lagu tersebut, menyampaikan kekesalannya melalui sindiran yang begitu halus melalui akun pribadinya di sosial media.

Ini juga yang terjadi ketika Marzuki Mohamad merasa kesal karena salah satu karyanya diubah tanpa adanya izin kepadanya. Bedanya, jika lagu Akad pengubahan itu pada nada bahkan ada juga yang menambahkan atau mengubah liriknya, sedangkan untuk lagu Jogja Istimewa mengalami perubahan pada liriknya.

\Menurut pembaca yang budiman, perbuatan tersebut bisa dikatakan plagiat atau bukan? Silahkan pembaca yang menentukan sendiri perbuatan yang dilakukan oleh relawan atau pendukung dari Pak Prabowo yang terhormat itu.

Selain itu, saya membaca pada Kompas edisi (15/01), pada bagian program yang disiapkan oleh paslon 02 di bagian hukum juga menyertakan program yang berbunyi "Perlindungan hukum dan hak cipta atas karya seni budaya para seniman nasional."

Alangkah tidak bertanggungjawabnya jika belum terpilih saja, sudah seperti ini. Mungkin bagi BPN, karena redaksi yang digunakan adalah nasional maka mereka tidak perlu meminta maaf. Karena pencipta lagu Jogja Istimewa hanya seniman yang ada di daerah. Mungkin lho ini, mungkin. Kalau ada yang tidak sependapat, silahkan saja.

Revolusi Moral BPN Terlebih Dahulu

Alasan yang kedua, perilaku yang dilakukan oleh relawan maupun pendukung dari Prabowo bagi saya sungguh tidak pantas. Karena, bagi saya, pendukung Prabowo sudah tidak menghargai karya dari seseorang. Padahal, pencipta lagu tersebut sudah berusaha agar lagunya bisa dikenang dan juga menghasilkan pundi-pundi pendapatan bagi si pencipta. Namun para pendukung dari Prabowo justru langsung nyomot begitu saja.

Bahkan BPN, selaku tim yang berwenang untuk mengatur irama dari kampanye pasangan tersebut menyatakan keengganannya untuk meminta maaf. Bagi saya, cukup disayangkan bila sikap dari BPN seperti itu. Padahal, calon yang diusung berasal dari mantan angkatan bersenjata yang memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi. Artinya dalam sikap rasa tanggungjawab itu terdapat juga tanggung jawab moral.

Berbicara mengenai moral, saya jadi ingat beberapa hari yang lalu, salah seorang politisi nasional yang menerbitkan buku dengan judul Revolusi Moral. Menurut beberapa media daring, buku tersebut berisikan kritik dari penulisnya dan juga salah satu tokoh reformasi, Pak Amin Rais, atas kinerja dari Pak Jokowi dari Revolusi Mental yang dikembangkannya. Kalau bahasa akademisnya sih, anti-tesis nya.

Tapi menurut saya, sebelum mengkritik Revolusi Mental yang diterapkan oleh Pak Joko Widodo, alangkah lebih baiknya buku tersebut dibaca dahulu oleh tim dari Pak Prabowo. Alasannya sederhana, perbuatan dari BPN yang tidak mau menyampaikan maaf kepada pencipta lagu dari Jogja Istimewa.

Meskipun mereka berdalih bahwa yang melakukan adalah relawan yang spontanitas, tapi bagi saya, itu sama menggambarkan kondisi internal dari BPN sendiri, mungkin juga sosok dari pasangan yang diusung, mungkin lho.

Bentuk apapun kampanye yang dilakukan oleh kedua belah pihak, bagi saya, sama seperti mencitrakan kondisi dari internal tim pemenangan, bahkan mungkin calon yang diusungnya. Jika bentuk kampanye yang digunakan dengan pendekatan yang tidak bermoral, maka ada kemungkinan kondisi dari internalnya pun sama.

Sedangkan, jika bentuk kampanye yang digunakan dengan pendekatan yang bermoral, maka ada kemungkinan yang sama dari kondisi internalnya, bahkan calon yang diusungnya.

***