Dunia kini berada di persimpangan peradaban. Kita mencari pola yang paling sesuai untuk mengelola masyarakat dunia dengan segala perbedaan nilai dan ideologi yang ada. Jika gagal, perang berkepanjangan dan berbagai bentuk bencana lingkungan akan terjadi.
Salah satu bentuk tata kelola masyarakat yang paling berhasil dalam sejarah adalah demokrasi liberal.
Di Indonesia, kata liberal memiliki makna yang jelek. Kata ini kerap disamakan begitu saja dengan peradaban Eropa yang menjadi pelaku penjajahan dan perbudakan di berbagai belahan dunia selama ratusan tahun.
Namun, demokrasi liberal haruslah dibedakan dari imperialisme Eropa yang terwujud dalam berbagai bentuk penindasan tersebut. Ada lima hal yang kiranya perlu diperhatikan.
Pilar Demokrasi Liberal
Pertama, demokrasi liberal adalah bentuk pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai keseluruhan.
Kata demokrasi disini dipadukan dengan kata liberal, yakni kebebasan pribadi orang untuk menentukan hidup pribadinya sendiri seturut dengan nurani dan nilai-nilai yang ia pegang. Otoritas tertinggi pemegang keputusan, di dalam paham liberal, bukanlah tradisi, masyarakat atau tuhan, melainkan hati nurani. Kebebasan hati nurani ini dianggap sangat sakral di dalam tradisi liberalisme.
Dua, demokrasi liberal juga merupakan paham demokrasi yang amat menekankan kebebasan pribadi individu. Orang diberikan ruang untuk memilih agama dan kepercayaannya masing-masing.
Mereka juga diberi ruang untuk berpikir dan berpendapat, sesuai dengan nilai yang mereka junjung tinggi. Di alam demokrasi liberal, kreativitas dan inovasi berkembang begitu pesat, karena suasana kebebasan yang ada.
Tiga, demokrasi liberal mengandung paradoks mendasar. Di satu sisi, kebebasan pribadi begitu dijunjung tinggi. Di sisi lain, kepastian hukum dijamin untuk semua warga negara, tanpa kecuali.
Hukum yang ada pun tidak dibuat oleh para penguasa dengan semena-mena, melainkan melalui jalan demokratis dalam diskusi dengan rakyat sebagai keseluruhan. Masyarakat demokratis liberal berkembang dalam tegangan antara kebebasan dan kepastian hukum tersebut.
Empat, dalam perjalanannya, demokrasi liberal kerap melahirkan individualisme yang berujung pada egoisme. Kedua paham ini adalah cacat dari demokrasi liberal yang mengancam keutuhan masyarakat itu sendiri.
Beberapa negara telah mencoba menambal cacat ini dengan memperkenalkan konsep solidaritas sosial. Pajak progresif, dan kemungkinan pendapatan minimal universal, adalah beberapa kemungkinan untuk menyuntikan semangat solidaritas ke dalam demokrasi liberal.
Lima, beberapa pemikir juga memperhatikan lemahnya pemahaman ekologis dalam demokrasi liberal klasik. Di dalam sejarah, demokrasi liberal selalu bergandengan dengan kapitalisme yang memusatkan dirinya pada pengembangan modal terus menerus.
Ini memang menghasilkan kemakmuran besar, walaupun dengan dampak sampingan kesenjangan ekonomi sekaligus kerusakan lingkungan yang besar. Konsep ekonomi pasar sosial ekologis (ökosoziale Marktwirtschaft) yang berkembang di Jerman persis dikembangkan untuk menambal kelemahan demokrasi liberal klasik tersebut.
Walaupun lahir di Eropa, paham demokrasi liberal kiranya bisa diterapkan di berbagai negara. Budaya lokal tentu perlu menjadi pertimbangan, tanpa mengurangi isi sekaligus kedalaman dari penerapan demokrasi liberal itu sendiri.
Dengan Pancasila, beberapa nilai utama demokrasi liberal sudah tertampung. Namun, fokus pada sila pertama semata, sambil melupakan sila-sila lainnya, kini menjadi penyakit akut yang menggiring Indonesia ke dalam radikalisme agama dan keterbelakangan budaya.
Beberapa Tantangan
Memang, demokrasi liberal adalah bentuk tata kelola masyarakat paling berhasil di dalam sejarah manusia. Ia menghasilkan kemakmuran dan perdamaian di antara bangsa-bangsa. Kebebasan pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak terpisahkan, dengan beberapa kelemahan yang sudah disebutkan sebelumnya.
Walaupun begitu, di abad 21 ini, ada empat hal yang kiranya menjadi tantangan besar bagi penerapan demokrasi liberal.
Pertama, bangkitnya ideologi komunisme di abad 20 dan kerinduan untuk kembali ke teokrasi (pemerintahan dengan satu agama tertentu) di abad 21 menjadi tantangan bagi demokrasi liberal.
Komunisme memang memiliki cita-cita luhur, walaupun kerap terjatuh ke dalam totalitarisme, seperti yang kiranya terjadi di Uni Soviet. Paham teokrasi sendiri sudah tidak lagi cocok di abad 21 ini dengan kehidupan bermasyarakat yang semakin kompleks dan plural, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mendorong proses globalisasi secara intensif di seluruh dunia.
Dua, ilmu sosial dan budaya sekarang ini begitu mengagumi wacana tentang kearifan lokal. Nilai-nilai lama ditengok kembali, guna menghadapi tantangan-tantangan baru.
Ini melupakan fakta sejarah, bahwa nilai-nilai tradisional kerap menyembunyikan penindasan terhadap satu kelompok tertentu, sehingga memang lenyap tertelan sejarah. Tanpa sikap kritis, wacana kearifan lokal akan menjadi nostalgia tanpa isi yang justru menciptakan banyak kejahatan.
Tiga, perkembangan teknologi juga banyak terjadi di bidang persenjataan.
Berkembangnya teknologi nuklir membuat konflik antar dua negara bisa menghancurkan seluruh dunia. Dialog untuk mewujudkan perdamaian menjadi satu-satunya jalan yang mungkin di abad 21 ini, ketika konflik terjadi.
Bahaya perang nuklir juga ditambah dengan gesekan-gesekan kecil, seperti perang siber dan perang dagang, yang memperbesar terjadinya konflik dalam tingkatan yang lebih besar.
Empat, berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat mengalami banjir informasi. Begitu banyak data dan informasi yang begitu mudah didapatkan. Namun, waktu dan energi untuk mengolah semua itu menjadi pengetahuan dan kebijaksanaan justru tak ditemukan.
Gejala ini bermuara pada dua hal, yakni ketidakpedulian masyarakat serta kebingungan yang justru menciptakan kesempitan berpikir baru.
Di dunia yang terus mencari bentuk, demokrasi liberal adalah tawaran terbaik yang mungkin ada. Beberapa kelemahan bisa ditambal dengan penerapan konsep-konsep baru, seperti solidaritas sosial maupun kesadaran lingkungan.
Demokrasi liberal memberikan ruang besar untuk kebebasan pribadi, sekaligus membangun kepastian hukum untuk seluruh warga. Di hadapan tantangan radikalisme agama dan kapitalisme ekstrem yang melindas harkat dan martabat manusia, demokrasi liberal bagaikan udara bersih yang menyegarkan jiwa.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews