Dunia yang Terus Mencari Bentuk, Benarkah Demokrasi Liberal Paling Ideal?

Kamis, 6 Desember 2018 | 07:39 WIB
0
579
Dunia yang Terus Mencari Bentuk, Benarkah Demokrasi Liberal Paling Ideal?
Ilustrasi dunia (Foto: Rumahfilsafat.com)

Dunia kini berada di persimpangan peradaban. Kita mencari pola yang paling sesuai untuk mengelola masyarakat dunia dengan segala perbedaan nilai dan ideologi yang ada. Jika gagal, perang berkepanjangan dan berbagai bentuk bencana lingkungan akan terjadi.

Salah satu bentuk tata kelola masyarakat yang paling berhasil dalam sejarah adalah demokrasi liberal.

Di Indonesia, kata liberal memiliki makna yang jelek. Kata ini kerap disamakan begitu saja dengan peradaban Eropa yang menjadi pelaku penjajahan dan perbudakan di berbagai belahan dunia selama ratusan tahun.

Namun, demokrasi liberal haruslah dibedakan dari imperialisme Eropa yang terwujud dalam berbagai bentuk penindasan tersebut. Ada lima hal yang kiranya perlu diperhatikan.

Pilar Demokrasi Liberal

Pertama, demokrasi liberal adalah bentuk pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai keseluruhan.

Kata demokrasi disini dipadukan dengan kata liberal, yakni kebebasan pribadi orang untuk menentukan hidup pribadinya sendiri seturut dengan nurani dan nilai-nilai yang ia pegang. Otoritas tertinggi pemegang keputusan, di dalam paham liberal, bukanlah tradisi, masyarakat atau tuhan, melainkan hati nurani. Kebebasan hati nurani ini dianggap sangat sakral di dalam tradisi liberalisme.

Dua, demokrasi liberal juga merupakan paham demokrasi yang amat menekankan kebebasan pribadi individu. Orang diberikan ruang untuk memilih agama dan kepercayaannya masing-masing.

Mereka juga diberi ruang untuk berpikir dan berpendapat, sesuai dengan nilai yang mereka junjung tinggi. Di alam demokrasi liberal, kreativitas dan inovasi berkembang begitu pesat, karena suasana kebebasan yang ada.

Tiga, demokrasi liberal mengandung paradoks mendasar. Di satu sisi, kebebasan pribadi begitu dijunjung tinggi. Di sisi lain, kepastian hukum dijamin untuk semua warga negara, tanpa kecuali.

Hukum yang ada pun tidak dibuat oleh para penguasa dengan semena-mena, melainkan melalui jalan demokratis dalam diskusi dengan rakyat sebagai keseluruhan. Masyarakat demokratis liberal berkembang dalam tegangan antara kebebasan dan kepastian hukum tersebut.

Empat, dalam perjalanannya, demokrasi liberal kerap melahirkan individualisme yang berujung pada egoisme. Kedua paham ini adalah cacat dari demokrasi liberal yang mengancam keutuhan masyarakat itu sendiri.

Beberapa negara telah mencoba menambal cacat ini dengan memperkenalkan konsep solidaritas sosial. Pajak progresif, dan kemungkinan pendapatan minimal universal, adalah beberapa kemungkinan untuk menyuntikan semangat solidaritas ke dalam demokrasi liberal.

Lima, beberapa pemikir juga memperhatikan lemahnya pemahaman ekologis dalam demokrasi liberal klasik. Di dalam sejarah, demokrasi liberal selalu bergandengan dengan kapitalisme yang memusatkan dirinya pada pengembangan modal terus menerus.

Ini memang menghasilkan kemakmuran besar, walaupun dengan dampak sampingan kesenjangan ekonomi sekaligus kerusakan lingkungan yang besar. Konsep ekonomi pasar sosial ekologis (ökosoziale Marktwirtschaft) yang berkembang di Jerman persis dikembangkan untuk menambal kelemahan demokrasi liberal klasik tersebut.

Walaupun lahir di Eropa, paham demokrasi liberal kiranya bisa diterapkan di berbagai negara. Budaya lokal tentu perlu menjadi pertimbangan, tanpa mengurangi isi sekaligus kedalaman dari penerapan demokrasi liberal itu sendiri.

Dengan Pancasila, beberapa nilai utama demokrasi liberal sudah tertampung. Namun, fokus pada sila pertama semata, sambil melupakan sila-sila lainnya, kini menjadi penyakit akut yang menggiring Indonesia ke dalam radikalisme agama dan keterbelakangan budaya.

Beberapa Tantangan

Memang, demokrasi liberal adalah bentuk tata kelola masyarakat paling berhasil di dalam sejarah manusia. Ia menghasilkan kemakmuran dan perdamaian di antara bangsa-bangsa. Kebebasan pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak terpisahkan, dengan beberapa kelemahan yang sudah disebutkan sebelumnya.

Walaupun begitu, di abad 21 ini, ada empat hal yang kiranya menjadi tantangan besar bagi penerapan demokrasi liberal.

Pertama, bangkitnya ideologi komunisme di abad 20 dan kerinduan untuk kembali ke teokrasi (pemerintahan dengan satu agama tertentu) di abad 21 menjadi tantangan bagi demokrasi liberal.

Komunisme memang memiliki cita-cita luhur, walaupun kerap terjatuh ke dalam totalitarisme, seperti yang kiranya terjadi di Uni Soviet. Paham teokrasi sendiri sudah tidak lagi cocok di abad 21 ini dengan kehidupan bermasyarakat yang semakin kompleks dan plural, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mendorong proses globalisasi secara intensif di seluruh dunia.

Dua, ilmu sosial dan budaya sekarang ini begitu mengagumi wacana tentang kearifan lokal. Nilai-nilai lama ditengok kembali, guna menghadapi tantangan-tantangan baru.

Ini melupakan fakta sejarah, bahwa nilai-nilai tradisional kerap menyembunyikan penindasan terhadap satu kelompok tertentu, sehingga memang lenyap tertelan sejarah. Tanpa sikap kritis, wacana kearifan lokal akan menjadi nostalgia tanpa isi yang justru menciptakan banyak kejahatan.

Tiga, perkembangan teknologi juga banyak terjadi di bidang persenjataan.

Berkembangnya teknologi nuklir membuat konflik antar dua negara bisa menghancurkan seluruh dunia. Dialog untuk mewujudkan perdamaian menjadi satu-satunya jalan yang mungkin di abad 21 ini, ketika konflik terjadi.

Bahaya perang nuklir juga ditambah dengan gesekan-gesekan kecil, seperti perang siber dan perang dagang, yang memperbesar terjadinya konflik dalam tingkatan yang lebih besar.

Empat, berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat mengalami banjir informasi. Begitu banyak data dan informasi yang begitu mudah didapatkan. Namun, waktu dan energi untuk mengolah semua itu menjadi pengetahuan dan kebijaksanaan justru tak ditemukan.

Gejala ini bermuara pada dua hal, yakni ketidakpedulian masyarakat serta kebingungan yang justru menciptakan kesempitan berpikir baru.

Di dunia yang terus mencari bentuk, demokrasi liberal adalah tawaran terbaik yang mungkin ada. Beberapa kelemahan bisa ditambal dengan penerapan konsep-konsep baru, seperti solidaritas sosial maupun kesadaran lingkungan.

Demokrasi liberal memberikan ruang besar untuk kebebasan pribadi, sekaligus membangun kepastian hukum untuk seluruh warga. Di hadapan tantangan radikalisme agama dan kapitalisme ekstrem yang melindas harkat dan martabat manusia, demokrasi liberal bagaikan udara bersih yang menyegarkan jiwa.

***